SUATU hari di tahun 1970, Gubernur Jawa Timur (waktu itu)
Mohamad Noer menemukan air terjun di tepi Desa Bajang, di
pelosok Kabupaten Blitar. Tinggi air terjun itu hanya 3,5 meter.
Tapi begitu ir. Mohamad Sumaryo Bc TT, Dekan Fakultas Teknik
Elektro ITS, menyatakan air terjun itu dapat dimanfaatkan untuk
pembangkit listrik, kerja pun segera dimulai.
Dua tahun kemudian Desa Bajang telah dimasuki listrik. Air
terjun tadi telah menjelma menjadi daya pembangkit listrik
mikrohydro. Biaya yang ditelannya sekitar Rp 15 juta. Ketika
Mohamad Noer menekan tombol peresmian, desa menjadi terang
benderang. Dan penduduk desa bersorak gembira. Dari sinilah
kemudian Gubernur ini mengutip lagi kata-kata lama dari
cita-cita abadi: "wong cilik biso gumuyu" (orang kecil bisa
tersenyum).
Berhasil dengan listrik Bajang, Jawa Timur kemudian membangun
proyek-proyek serupa di berbagai desa. Di zaman Gubernur
Sunandar, sumber tenaga tak hanya berasal dari air terjun
(mikrohydro), tapi juga memanfaatkan bentangan kabel listrik
bertegangan tinggi dan menengah yang selama ini hanya jadi
tontonan penduduk desa.
Tahun 1977/1978 misalnya sebanyak 24 desa di daerah-daerah
Kediri, Malang, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Sampang,
Sumenep, Situbondo, Bondowoso, Ngawi dan Magetan telah
berlistrik. Sehingga, sampai saat ini, dari 8.339 buah desa yang
ada di propinsi ini, 950 di antaranya telah berlistrik.
Tapi bagaimana nasib PLTM yang mula-mula dinikmati warga Desa
Bajang itu Sayang bahwa nyala listrik yang berkekuatan 25 KVA
di desa ini tak panjang ceritanya. "Ada saja yang rusak," tutur
Poedjohartono Kepala Desa dan sehari-harinya bertanggungjawab
terhadap PLTM Bajang. Entah sambungan bannya atau dinamo-isi
ataupun tetek-bengek lainnya. Kalau dinamo-isinya dapat giliran
ngambek, berarti harus berurusan ke ITS di Surabaya. Dan ini
memerlukan waktu seminggu lebih. Desa itu terpaksa gelap sambil
menunggu.
Kerusakan-kerusakan kecil ini sebenarnya dapat segera diatasi,
jika sekiranya Sunarto tidak sering di-booking ITS ke
proyek-proyek lain. Sunarto adalah warga Bajang yang punya
pengalaman di bidang listrik karena pernah lama bertugas di PLN
Palu (Sulawesi Tengah). Karena kecakapannya ini ia sering
dipinjam ITS untuk bertugas ke luar desa.
Sebagai gantinya Poedjohartono menugasi pemuda-pemuda desa
lulusan STM atau SMP secara bergilir untuk merawat PLTM itu.
Tapi karena gajinya hanya Rp 3.000 sebulan, anak-anak ini tak
betah. Apalagi karena setelah berpengalaman merawat mesin itu,
dengan mudah mereka mendapat pekerjaan lain dengan penghasilan
jauh lebih baik.
Kerusakan kecil-kecil itu mengakibatkan PLTM ini selalu rugi.
Dan karena pengurusannya sudah diserahkan kepada desa, maka
Kepala Desa Bajang yang harus menutupi kerugian. "Uang dari
langganan hanya masuk Rp 28.000 sebulan, sedang pengeluaran
rata-rata sebulan Rp 40.000," tutur Poedjohartono.
Jumlah langganan memang belum banyak, hanya 46 orang dari warga
desa yang berjumlah 1.017 kk. Padahal kapasitas PLTM mampu untuk
150 rumah masing-masing 100 VA. Jumlah langganan yang sedikit
ini menurut Poedjohartono, juga disebabkan kerusakan-kerusakan
tadi. Apalagi mesin hanya dinyalakan antara jam 17.00 sampai jam
0600 Untuk menjaga kondisi mesin, siang hari tak pernah
dihidupkan.
Akhirnya PLTM itupun macet total sejak kerusakannya mulai
menyeluruh akhir tahun lalu. Mula-mula penggandeng bannya macet,
lalu dinamo dan kemudian menular ke turbinnya. Hampir punahlah
harapan warga desa untuk mengharapkan nyala listrik dari PLTM
ini.
Bagi warga desa yang sudah terbiasa dengan listrik, kemacetan
itu terasa sebagai kehilangan besar. "Cahaya lampu minyak terasa
panas dan sumpek," kata Hadisuseno, seorang penduduk Bajang.
Katanya pula, anak-anaknya jadi malas belajar sejak tak ada
listrik. Karena itu Hadisuseno yang tergolong berada di desanya
memutuskan untuk membeli diesel berkekuatan 3.000 VA.
Usaha Hadi ini diikuti oleh 2 orang penduduk desa lainnya.
Mereka yang terakhir ini tak hanya dipakai sendiri, juga
dikomersilkan dengan tetangga sekitar dengan memanfaatkan bekas
instalasi PLTM. Dan habis terjual. Taripnya Rp 3.000 per 100 VA
setiap bulan. Sedangkan sebelumnya PLTM hanya memasang tarip Rp
600 untuk jumlah yang sama.
Mengkomersilkan diesel pribadi ini sudah banyak terjadi di
berbagai desa Jawa Timur. Bahkan karena jumlahnya sudah cukup
banyak, Bupati Blitar menurunkan peraturan untuk memungut pajak
Rp 1000 per-PK setahun dari tiap pemilik diesel. Tapi lebih dari
itu masyarakat Bajang sendiri masih berpengharapan besar bahwa
suatu ketika PLTM di desa itu akan hidup kembali. Tentu karena
tarip PLTM lebih murah.
Namun Poedjohartono sendiri berharap, jika suatu ketika PLTM di
desanya dapat dinyalakan lagi, hendaklah dilengkapi dengan suku
cadang yang cukup. "Kami harus ke Surabaya dulu, paling sedikit
menghabiskan waktu 4 hari," ungkap Poedjohartono tentang
kesulitannya mencari suku cadang itu. Belum lagi kebutuhan akan
adanya seorang petugas khusus untuk menaganya.
Desa Bajang memang terkenal subur. Pendapatan per kapita
penduduknya Rp 80.000. Karena itu PLTM di pandang mampu berdiri
di desa ini. Sebab seperti dikatakan ir. Sumaryono, Ketua Proyek
Perlistrikan Ja-Tim, walaupun di desa itu ada ai terjun, tapi
kalau pendapatan perka pita penduduknya masih di bawah Rp 30.000
per-tahun, masih belum mampu menghidupi PLTM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini