BAYANGKAN jika di tahun 2.000 nanti seluruh desa di Indonesia
sudah terang benderang berlistrik. Mungkin jangkrik-jangkrik
akan takut dan membisu. Tapi para manusia mungkin akan lebih
senang --bisa lebih banyak menikmati malam di luar waktu tidur.
Apa itu bukan mimpi? Usaha pemerintah untuk memasukkan listrik
ke desa-desa memang tak begitu terasa menggebu. Ketika Menteri
PUTL mengeluarkan surat keputusan akhir oklober 1976, pada
mulanya diduga dengan cepat listrik akan menjelajahi
pelosok-pelosok desa Indonesia. Tapi dugaan ini tak mudah
menjadi benar.
Surat Keputusan Menteri PUTL itu menentukan terbentuknya Sub
Direktorat Perlistrikan Desa di lingkungan PLN (Perusahaan
Listrik Negara). Ini berarti bahwa menerangi desa dengan cahaya
listrik mulai ditangani secara khusus. Dalam program ini
disebutkan bahwa yang lebih diutamakan adalah ibukota-ibukota
kecamatan dan desa-desa yang dari segi ekonomi dipandang
potensil. Pada pelaksanaannya rencana ini selalu dikaitkan
dengan pembangunan prasarana dan sarana-sarana lainnya di desa
bersangkutan.
Ada lebih dari 58.000 buah desa di Indonesia ini. Tak mungkin
untuk meneranginya tanpa urutan prioritas, mengingat kemampuan
masing-masing desa itu, maupun kesanggupan pemerintah.
Disebutkan misalnya urutan pilihan itu didahulukan bagi
desa-desa yang penduduknya mempunyai aktifitas tinggi, mempunyai
potensi ekonomi relatip tinggi, mempunyai peranan dalam
meningkatkan ketahanan nasional, urgen dalam pengembangan
wilayah dan di samping ada perhatian dari pihak pemda setempat
akan soal listrik ini, juga harus mendapat sambutan baik dari
masyarakat setempat. Juga dari segi teknis desa itu dekat dengan
jaringan PLN, ada air terjun alamiah untuk pembangkit
mikro-hydro (PLTM) dan mudah mengadakan bahan bakar untuk
pembangkit diesel (PLTD).
Tak semua syarat prioritas itu mudah difahami warga desa. Tapi
lebih penting dari itu agaknya, mampukah PLN menjangkau
desa-desa itu sebab di tengah kluh-kesah masyarakat kota
tentang kelemahan-kelemahan dalam tubuh perusahaan milik negara
itu, sementara pejabat PLN sendiri kerap mengungkapkan masih
terbatasnya kemampuannya mengurusi kepentingan konsumen yang ada
sekarang.
Beberapa waktu lalu misalnya masih banyak timbul kekusutan
administrasi, lalu kesulitan manajemen dalam tubuh PLN.
Belakangan warga kota-kota besar maupun kota kecil menyaksikan
kelambatan PLN memenuhi sebagian besar kebutuhan mereka. Bahkan
pada gilirannya, mereka yang sudah menikmati aliranpun kerap
mencela nyala listrik di rumah atau perusahaan mereka tak
seluruhnya dapat dinikmati.
Juga di Jakarta. Bahkan di Condet dan kampung-kampung di tengah
maupun pinggiran Jakarta, nyala listrik belum seluruhnya tampak.
Tapi bukan hanya Condet. Juga ibukota-ibukota kabupaten,
terutama di luar Jawa pada umumnya masih mengandalkan penerangan
dari mesin pembangkit milik pemerintah daerah (PLD) atau swasta.
Dalam hubungan ini Dir-Ut PLN sendiri, Prof. ir. Suryono, pernah
mengungkapkan bahwa kemampuan daya listrik non-PLN lebih besar
dibanding daya yang dimiliki PLN. Disebutkannya, non-PLN sebesar
1837 MW, sedangkan PLN hanya 1376 MW.
Harus diakui tak sedikit konsumen PLN yang masih lalai memenuhi
pembayaran langganannya. Tapi kelemahan-kelemahan di atas untuk
sebagian besar memang bersumber dari pihak PLN sendiri. Menteri
Pertambangan dan Energi, Prof. Dr. Subroto, menyebut misalnya
karena faktor biaya. Ini tentu bukan hal baru. Tapi dengan uang
yang serba terbatas, rupanya pihak PLN dipaksa menarik jumlah
pembayaran tak kecil dari langganan-langganannya. Satu hal saja,
biaya sambung yang ratusan ribu rupiah ongkosnya di beberapa
kota, banyak menjadi sumber celaan calon pemakai listrik PLN.
Jika negara sekecil Singapura dengan penduduk sekitar 2 juta
memiliki daya bangkit listrik 2.000 MW, sedang PLN hanya
mempunyai 1.376 MW, tak sulit dibayangkan betapa masih kerdilnya
listrik di sini. Tahun lalu tercatat konsumsi perkapita listrik
di Indonesia 22,35 kwh. Dari seluruh daya yang ada 70% di
antaranya bersifat konsumtif, sisanya yang 30% dipakai secara
produkti.
Seluruh rumah tangga di Indonesia baru 7% saja yang memakai
listrik. Dan sekarang aliran itu harus disalurkan pula ke
desa-desa. Mampukah?
Pertanyaan itu tak perlu dijawab. Sebab seperti dikatakan
Menteri Subroto, "yang penting keinginan kita untuk menyebarkan
hasil pembangunan secara menyeluruh, sampai ke desa-desa."
Dengan listrik, kata Subroto, tingkat hidup warga pedesaan dapat
ditingkatkan. Sebab diharapkan, listrik itu kelak tak hanya
menerangai rumah-rumah, tapi juga akan mempercepat meningkatkan
kecerdasan, kreatifitas budaya dan industri-industri kecil.
"Pokoknya akan bermanfaat dari segi sosial, budaya dan
ekonomis," tambah Subroto.
MENYADARI kelemahan-kelemahan dalam tubuh PLN itulah, rencana
melistriki seluruh desa di Indonesia baru akan terwujud tahun
2.000 nanti. Tak ada lonjakan-lonjakan dalam kerja PLN untuk
mengejar waktu itu, "sebab semuanya sudah direncanakan secara
sistimatis" seperti dikatakan Menteri Subroto. Tapi yang penting
juga agaknya disesuaikan dengan kemampuan biaya, di antaranya
berupa bantuan-bantuan luar negeri.
Memang sampai sekarang sudah cukup banyak negara menjanjikan
bantuan berupa pinjaman bagi listrik pedesaan Indonesia. Di
antaranya Kanada, Perancis, Inggeris, Australia, Belanda dan
Amerika Serikat. Belanda misalnya telah menyanggupi bantuan
untuk listrik di desa-desa Aceh dan Maluku. Tapi selain Amerika
Serikat, sampai sekarang bantuan-bantuan itu belum terwujud.
Ketika berkunjung ke Indonesia Mei lalu, Wakil Presiden AS,
Walter Mondale, telah menandatangani bantuan sebesar US$ 48 juta
yang disalurkan US-AID (badan bantuan Amerika) melalui Ditjen
Koperasi.
Menyangkut-pautkan koperasi dalam pengurusan listrik pedesaan
ini, tampaknya mengambil pengalaman dari Pilipina, negara
tetangga kita yang dipandang telah berhasil memasukkan listrik
ke desa melalui koperasi. Bahkan Prof. Dr. Subroto, ketika masih
menjadi Menteri Nakertranskop, memperkenalkan ide agar koperasi
juga mengambil peranan dalam mengurus penerangan desa itu
(lihat: Bagaimana, Menteri Subroto?).
Mampukah koperasi itu nanti? Keraguan ini tentu muncul karena
cukup ruwetnya baik administrasi maupun pengurusan teknis
listrik itu nanti. Sebab PLN sendiri yang sudah berpengalaman
dan punya banyak tenaga ahli, masih merasa kewalahan mengurus
listrik ini. "PLN yang sudah ada sejak tahun 30-an masih
kewalahan mengurus listrik apalagi koperasi yang masih baru sama
sekali," ungkap seorang pejabat tinggi PLN.
Pejabat itu menggambarkan kesulitan tadi dengan melihat ke
berbagai PLD (Perusahaan Listrik Daerah) milik pemerintah
daerah. Begitu ruwetnya mengurus listrik ini sehingga beberapa
waktu lalu berbagai PLD di Sulawesi dan Kalimantan menyerahkan
pengelolaannya kepada PLN. Walaupun penyerahan itu bulat-bulat
dan tanpa syarat, namun PLN menerimanya tidak dengan hati
senang. Tapi Menteri Subroto tak meragukan kemampuan koperasi
itu, sepanjang memang di suatu desa pengurusan listrik memenuhi
syarat untuk diurus oleh badan usaha itu. Sebab bagi Subroto
masih harus diteliti sebelumnya, apakah koperasi di desa itu
memang mampu mengurus listrik atau tidak.
Dan yang penting bukan hanya soal koperasi atau langsung diurusi
PLN. Tapi juga bagaimana mengejar waktu agar dengan biaya
terbatas listrik secara bertahap menjangkau desa-desa yang
memerlukannya. Sepanjang dua tahun belakangan ini saja, baru
sekitar 350 buah desa yang sudah dan akan dijangkau listrik.
Sedangkan untuk Pelita III nanti, menurut Menteri Pertambangan
dan Energi, rata-rata aliran listrik akan dimasukkan ke 700 buah
desa setiap tahunnya. Dari pihak lain usaha ke arah itu ditempuh
PLN dengan mengadakan lokakarya, khusus mengenai listrik
pedesaan. Sampai sekarang tak kurang dari 4 kali telah diadakan
lokakarya tentang itu, terakhir di Medan akhir Juli hingga awal
Agustus tadi.
Di samping itu agaknya sekarang PLN sudah mulai memperhatikan
sumber-sumber daya pembangkit listrik. Misalnya dengan lebih
banyak melihat ke sumber-sumber tenaga air, gas alam dan
batubara, panas bumi bahkan tenaga nuklir Tapi rupanya tak kalah
penting pula, mencari upaya agar PLN mampu mendorong makin
banyaknya perusahaan-perusahaan listrik swasta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini