Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kisah Guru Honorer di Perbatasan, Antara Pengabdian dan Penghidupan

Ini sebagian kisah perjuangan guru-guru honorer di wilayah perbatasan dan daerah terpencil.

30 Maret 2021 | 17.18 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi guru sedang berdiskusi dengan siswa sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Jadi, seorang tenaga didik butuh perjuangan yang hebat. Apalagi mereka yang mengajar di wilayah perbatasan. Fasilitas dan jumlah gurunya belum memadai, sebagian statusnya guru honorer. Ada banyak kisah perjuangan guru-guru honorer yang berjuang di wilayah perbatasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satunya Farida, Ia mengajar di Sekolah Dasar Negeri 10 Nanga Sambus, Kalimantan. Untuk sampai ke lokasi sekolah, Ia harus menempuh jarak sepanjang 20 kilometer. Jika malamnya hujan, Farida harus melewati jalan yang licin karena becek. Namun Ia tak patah arang, Farida tetap semangat mengajar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begitupun cerita perjuangan Kornalius. Seorang guru honorer di Kalimantan Utara. Ia mengajar di SDN Panas, Kecamatan Lumbis Pansiangan, Kabupaten Nunukan. Kondisi hidupnya jauh dari kata mapan. Ia sudah mengajar sejak tamat SMA tahun 2005. Kepala sekolah sendiri yang membuatkan SK mengajarnya. Gaji pertamanya hanya Rp 150 ribu.

Masyarakat perbatasan di Lumbis Pansiangan intens berinteraksi dengan warga Malaysia. Sehingga bahasanya pakai dialek melayu. Selain itu bahasa daerah Dayak Okolod dan Agabag. Selama mengajar Kornalius kadang pakai tiga bahasa tersebut. Hingga kini Ia masih kesulitan mengajar pakai bahasa Indonesia, karena anak didiknya cenderung kesulitan memahami bahasa nasional.

Kesulitan Kornalius bertambah, apalagi di masa pagebluk Covid-19. Kegiatan belajar mengajar diimbau lewat jaringan internet. Padahal hanya segelintir muridnya yang punya ponsel berbasis android. Jalan keluarnya, Ia harus mengajar ke rumah-rumah muridnya.

Sudah lima belas tahun  Ia mengabdi, namun balasan jasa yang diterimanya belum berimbang. Jadwal gajian pun tak jelas. Kadang lima bulan sekali, bahkan ia pernah terima gaji hanya satu juta dalam setahun.

Pejuang tenaga didik selanjutnya adalah Elly Mekawati. Ia guru honorer asal Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Jika hendak mengajar, Elly harus menempuh jarak sejauh 8 kilometer di Situgede. Ia harus melewati perbukitan dan kawasan hutan.

Kisah Warkina berbeda. Guru honorer asal Kabupaten Kuningan, Jawa Barat ini buka pustaka keliling. Motivasinya untuk meningkatkan minat baca warga. Pustakanya sudah ada sejak tahun 2011. Ia berkeliling pakai tiga kendaraan roda tiga dan satu roda empat yang dipinjmnya ke pemerintah. Hingga kini, Warkina sudah peroleh banyak penghargaan untuk inovasinya ini.

Juga, kisah Elin guru honor SMP Budi Luhur Sebakis Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara. Kisahnya diceritakan suaminya di postingan facebook. Elin sudah mengajar selama lima tahun, namun belum pernah menerima gaji layaknya tenaga didik lainnya.Yudha Adjie, suami Elin kerap memintanya berhenti mengajar, tapi Elin tetap mengajar. Katanya kasihan pada murid-muridnya.

RAUDATUL ADAWIYAH NASUTION

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus