IMAM Hanafie bukannya sebal melihat perempuan bunting. Tapi, sebagai bupati Pacitan, Jawa Timur, dia mendongkol melihat praktek Djaiman, 75, dukun urut yang mencopot spiral penangkal hamil, dari rahim 81 wanita akseptor KB. "Brengsek! Rasanya, saya mau banting itu dukun," kata Hanafie kepada TEMPO pekan silam. Djaiman memang tersohor sebagai juru pijat dan tukang urut orang terkilir di Kecamatan Tulakan, 40 kilometer di sebelah timur Pacitan. Rumahnya di pingang bukit di Desa Losari - yang hanya dapat dicapai dengan sembilan jam berjalan kaki dari Tulakan - pernah ramai dikunjungi akseptor KB pemakai spiral. Wanita-wanita ini konon mengatakan bahwa mereka terganggu dan bahkan sakit karena memakai alat tadi. Lantas orang-orang itu minta diurut, sekaligus dicabut alat kontrasepsinya. Dengan niat untuk menolong, sembari mengutip bayaran Rp 500 per pasien Djaiman melayani permintaan kaum ibu yang datang itu. Bupati Imam Hanafie memandang praktek "copot spiral" yang dilakukan sang dukun ini dapat merugikan program KB yang dilancarkan pemerintah. "Dia telah melakukan tindakan subversif," ujarnya. Hanya saja, setelah tiga kali diperiksa polisi, Djaiman tetap tak bisa ditahan. Kapolres Pacitan, Mayor Polisi Drs. Hasan Latief, mengatakan bahwa polisi tak melihat adanya perbuatan Djaiman yang dapat digolongkan tindak pidana. "Tak cukup alasan untuk menggiringnya ke pengadilan. Salah-salah, polisi bisa kena praperadilan," kata Hasan Latief. Polisi sulit membuktikan kesalahan Djaiman karena dia hanya melayani orang-orang yang datang minta tolong dan mengaku sakit. Ada kesimpangsiuran tentang jumlah akseptor yang mencabut spiralnya dengan bantuan dukun itu. Kepala BKKBN Pacitan, Harry Soebandi, berkata. "Cuma 14." Padahal, Polres Pacitan pernah memeriksa 23 wanita yang semuanya berasal dari Desa Padi, tetangga Desa Losari, yang mengaku pernah mencabut spiral yang dipakainya dengan bantuan Djaiman. Praktek mencabut spiral berlangsung sejak Maret hingga November 1983. Yang juga tak jelas hingga kini ialah apakah semua wanimta yang meminta spiralnya dicabut ini betul-betul kesakitan oleh alat kontrasepsi itu atau hanya berpura-pura. Hanya beberapa orang di antara mereka yang mau menceritakan penderitaannya gara-gara memakai alat pencegah kehamilan itu. "Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Perutku mual sepanjang hari," kata Suwarti, 24. Supadmi, 25, ibu satu anak, mengaku punya penderitaan yang sama dengan Suwarti. Tapi wanita lain, Purwati, 30, mencabut alat kontrasepsi yang dipakainya itu barangkali bukan karena alasan sakit. "Spiral itu sial. Saya selalu cekcok dengan suami," katanya. Agaknya, keluhan bahwa spiral mendatangkan rasa sakit tergolong berlebihan di daerah itu. "Pusing, sakit perut, lagi-lagi spiral yang jadi alasan. Saya bosan mendengar tuduhan itu di Pacitan," kata Harry Soebandi. Dan bagi Bupati Imam Hanafie boleh jadi target KB yang jadi soal. Di Kabupaten Pacitan kini ada 65.895 akseptor dan 63.178 orang di antaranya memakai spiral. Pasangan usia subur di situ tercatat 76.000 lebih. Praktek copot spiral oleh Djaiman - kini sudah dilarang - baru diketahui Kepala Desa Padi, November lalu, setelah mendapat cerita dari warganya. Dia lantas melaporkan kejadian itu ke atasannya, sehingga sampai ke telinga Imam Hanafie. Tapi, sebegitu jauh, di Tulakan baru ditemukan seorang wanita hamil setelah mencabut spiralnya pada Djaiman. Wanita itu, penduduk Desa Padi, bernama Sismiah, 34, kini mengandung bayi, yang jika lahir kelak akan menjadi anaknya yang kelima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini