SUASANA sidang di Pengadilan Negeri Sabang sedikit gaduh ketika Ketua Majelis Hakim Asmar Ismail, S.H. mengetukkan palu: 7 tahun penjara untuk bekas wali kota Sabang, Jusuf Walad. "Kejam, kejam," pekik Siti Muntarsih, 18, putri kelima Jusuf Walad. Gadis itu sangat terpukul, karena keputusan itu dua tahun lebih berat dari tuntutan Jaksa Suharto, S.H. Tapi Jusuf sendiri tampak tabah. "Bersabarlah. Ini semua belum berakhir," katanya sambil memapah putrinya. Usai sidang Rabu pekan lalu, Jusuf sempat menyalami para pengunjung. "Jaksa tidak berhasil membuktikan tindakpidana korupsi pada terdakwa, baik untuk memperkaya diri maupun orang lain," kata Adnan Hasibuan, S.H., salah seorang pembela Jusuf. "Kalau memang terbukti, lantas siapa saja yang telah diperkaya itu?" tantang pengacara lepasan FH USU pada 1967 itu. Ramli Sarong, S.H., jaksa pengganti Suharto, S.H., mengakui hal itu. "Tapi KUHAP juga melarang kami memaksa terdakwa menjelaskannya," katanya. Lagi pula, menurut Majelis Hakim, bukan merupakan kewajiban jaksa untuk membuktikannya, sementara terdakwa sendiri hanya menerangkan penggunaan "pos dana taktis" sebesar Rp 485 juta lebih itu secara umum saja. Tapi, menurut Ramli, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana eks pajak negara. Hal itu pula yang diyakini Majelis Hakim dalam vonisnya. Majelis menyatakan, penggunaan dana itu belum diatur Pusat bagaimana pembagiannya antara Pemda Sabang dan Otorita Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang. Dengan demikian, penggunaannya dinilai tidak mengindahkan peraturan yang memang belum ada. Majelis mengakui, dana itu sudah dicantumkan dalam APBD Kotamadya Sabang (198-1983), tapi belum dijelaskan bagaimana pos pengeluarannya. Disebutkan antara lain penggunaan uang Rp 330 juta lebih untuk "hadiah para pejabat tingkat pusat dan provinsi, memenangkan Orde Baru dalam Pemilu 1982, membantu golongan ekonomi lemah, penyertaan modal Pemda dalam PT Sabang Line." Jusuf Walad, barangkali, menjadi korban cara kerja yang kurang rapi. Tragisnya, pada 1978 ia diangkat sebagai wali kota Sabang hanya dengan satu setel meja kursi, barang pecah-belah, kopor, dan kompor, kini ia kembali seperti semula. Ternyata, tak cuma terhukum dan pembela yang naik banding. Jaksa, yang mcrasa tuntutannya diperberat, melakukan hal yang serupa pekan lalu. "Putusan yang pantas mestinya 5 tahun saja," kata Ramli Sarong, tanpa menJelaskan alasannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini