Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Pertaruhan Independensi Komisioner KPK Baru

Komposisi pimpinan dan Dewas KPK didominasi aparat penegak hukum. Rawan loyalitas ganda yang menyebabkan tidak independen.

22 November 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • DPR mengulangi kesalahan DPR periode sebelumnya dengan memilih polisi memimpin KPK.

  • Komisioner terpilih rekam jejak bermasalah, salah satunya ingin meniadakan operasi tangkap tangan.

  • DPR mengklaim para komisioner dan anggota Dewas KPK dipilih tanpa intervensi.

RIUH tepuk tangan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menyambut rampungnya proses pemilihan calon komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi dan anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Pemungutan suara dengan mekanisme voting itu berlangsung tanpa diwarnai pertentangan dari 47 anggota Komisi Bidang Hukum DPR itu. Hasilnya, Setyo Budiyanto terpilih sebagai Ketua KPK dengan 45 suara. Adapun Benny Jozua Mamoto memperoleh 46 suara sebagai anggota Dewas KPK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, mengatakan nama Setyo Budiyanto menjadi figur yang paling banyak dipilih karena dinilai memiliki rekam jejak yang baik, kematangan, serta jaringan dan pengalaman sebagai mantan Direktur Penyidikan KPK. Saat ini Setyo menjabat inspektur jenderal di Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian. “Itu menjadi catatan bagi semua fraksi di komisi sehingga menjatuhkan pilihan kepadanya,” ujar Nasir di kompleks DPR/MPR Senayan pada Kamis, 21 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua KPK terpilih, Setyo Budiyanto, saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 18 November 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Komisi III DPR sepakat menggunakan voting dalam pemilihan komisioner KPK dan anggota Dewas KPK masa jabatan 2024-2029 setelah selesai melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan yang gelar sejak Senin, 18 November 2024. Nasir melanjutkan, Setyo juga dinilai berpengalaman di bidang reserse kepolisian.

Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera itu, Setyo pernah menjabat Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur, sehingga dinilai kenyang pengalaman dan memiliki kematangan yang lebih baik dibanding kandidat lain. “Ini yang membuat mayoritas anggota Komisi III memilihnya menjadi Ketua KPK untuk lima tahun mendatang,” kata Nasir.

Komisi Bidang Hukum DPR rampung melaksanakan fit and proper test terhadap 10 nama calon pemimpin KPK dan 10 nama calon Anggota Dewas KPK. Uji kelayakan dan kepatutan berlangsung sejak Senin, 18 November 2024. Dari hasil voting yang dilakukan Komisi III DPR, lima nama, dari Setyo Budiyanto, Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, Johanis Tanak, dan Agus Joko Pramono, menjadi pemimpin KPK terpilih. Adapun untuk anggota Dewas KPK, nama Benny Jozua Mamoto, Chisca Mirawati, Wisnu Baroto, Gusrizal, dan Sumpeno menjadi lima nama yang terpilih.

Sejumlah peneliti dan pegiat antikorupsi menanggapinya dengan memberikan catatan serta kritik terhadap proses pemilihan yang dilakukan DPR. Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Yuris Rezha, mengatakan DPR saat ini tak ubahnya mengulangi kesalahan DPR periode sebelumnya. Alih-alih belajar dari kesalahan masa lalu, DPR kembali jatuh di lubang kesalahan yang sama, yaitu memilih figur pimpinan dan anggota Dewas KPK dengan rekam jejak yang bermasalah.

Yuris menyebutkan, dari lima nama calon pemimpin KPK terpilih, hampir semuanya memiliki rekam jejak bermasalah, termasuk pernyataan mereka saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Johanis Tanak, misalnya, menyatakan ingin meniadakan operasi tangkap tangan (OTT) yang kerap dilakukan KPK. Menurut Yuris, pernyataan tersebut merupakan sesat pikir dan tak lebih dari sekadar upaya untuk menyenangkan anggota DPR yang akan memilihnya.

Peneliti dari Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, juga mengatakan hal yang sama. Alvin menyebutkan Johanis Tanak memiliki rekam jejak yang bermasalah, misalnya diduga melanggar kode etik karena berkomunikasi dan mengirim pesan singkat dengan pihak beperkara di KPK, yaitu pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun Dewas KPK menyatakan Johanis Tanak tidak melanggar kode etik.

Alvin menuturkan nama Agus Joko Pramono juga diduga sempat terseret dalam transaksi mencurigakan sebesar Rp 115 miliar. Agus saat uji kelayakan dan kepatutan memberi klarifikasi dan membantah adanya transaksi tersebut. Pun dengan Ibnu Basuki Widodo, yang menjabat hakim, sempat memvonis bebas terdakwa kasus korupsi pengadaan alat laboratorium IPA MTs di Kementerian Agama. Kemudian, Alvin melanjutkan, nama Setyo Budiyanto dan Fitroh Rohcahyanto juga disebut berpotensi terlibat konflik kepentingan dengan institusi induk, mengingat keduanya berasal dari institusi kepolisian dan kejaksaan.

Anggota Dewan Pengawas KPK terpilih, Benny Mamoto, saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 20 November 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Alvin menilai proses seleksi yang dilakukan panitia seleksi calon pimpinan KPK, yang kemudian diserahkan ke DPR melalui presiden, tak lebih dari sekadar formalitas. Alasannya, proses seleksi tersebut malah menjaring figur-figur dengan rekam jejak bermasalah ketimbang figur yang berintegritas dan berkomitmen dalam pemberantasan korupsi. “Hal yang tak kalah penting, mayoritas pimpinan KPK dan anggota Dewas KPK berisi aparat penegak hukum yang berpotensi memiliki loyalitas ganda,” ujar Alvin.

Yuris Rezha menguatkan pendapat Alvin itu. Menurut dia, dominasi aparat penegak hukum dalam komposisi pimpinan KPK dan anggota Dewas KPK berpotensi menghambat kerja KPK karena bisa menimbulkan besarnya loyalitas ganda. DPR, kata dia, tak semestinya melanjutkan kesalahan panitia seleksi dan presiden yang tetap memberikan slot bagi aparat penegak hukum di kursi pimpinan KPK. Sebab, kata dia, persoalan utama dalam korupsi adalah justru korupsi di peradilan.

Sebagai lembaga yang acapkali mengklaim independen, kata Yuris, KPK seharusnya diisi figur masyarakat sipil yang menggeluti isu antikorupsi. Dominannya unsur masyarakat sipil, menurut dia, tentunya bakal meminimalkan terjadinya konflik kepentingan dan loyalitas ganda, serta menjadikan upaya pemberantasan korupsi peradilan lebih efektif. “Tapi kami melihat hal yang dilakukan presiden, panitia seleksi, dan DPR adalah ingin membunuh KPK secara perlahan,” ucap Yuris.

Ketua Indonesia Memanggil 57+ Institute Lakso Anindito mengatakan tidak adanya perwakilan masyarakat sipil dalam komposisi pimpinan KPK dan anggota Dewas KPK menunjukkan pemerintahan yang baru tidak punya komitmen kuat dalam mendorong reformasi KPK. Apalagi, menurut Lakso, reformasi KPK sejatinya menjadi kunci penting pemberantasan korupsi.

Mantan pemimpin KPK, Abraham Samad dan Saut Situmorang; mantan Wamenkumham, Denny Indrayana; Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid; serta mantan pegawai KPK yang tergabung dalam IM 57+ Institute bersama Koalisi Masyarakat Sipil melakukan aksi di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 10 April 2023. TEMPO/Imam Sukamto

Organisasi gerakan antikorupsi yang didirikan mantan pegawai KPK itu menilai pimpinan dari unsur lembaga penegak hukum bisa jadi akan terbatas ruang geraknya di KPK. “Bagaimana bisa semangat reform dibawa ketika pimpinan yang terpilih berasal dari berbagai instansi yang menjadi salah satu obyek pengawasan KPK,” ujar Lakso.

Terpilihnya Johanis Tanak dalam kepemimpinan KPK periode mendatang juga dinilai menunjukkan tidak adanya komitmen DPR untuk melakukan reformasi terhadap KPK. Alasannya, kata Lakso, DPR masih memberikan kepercayaan kepada figur yang dinilai memiliki rekam jejak bermasalah.

Antiklimaks DPR

Staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Diky Anandya, mengatakan pemilihan pimpinan KPK oleh DPR menjadi antiklimaks. “Bukannya menjadi harapan bagi perbaikan tata kelola kelembagaan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, pimpinan terpilih justru diyakini sebaliknya, bahkan berpotensi kian berdampak buruk,” ujar Diky dalam keterangan tertulis, kemarin.

Pegiat antikorupsi ini menilai pemilihan figur komisioner KPK oleh DPR tidak didasari aspek kompetensi dan rekam jejak, melainkan sekadar penilaian dan selera subyektif. Menurut Diky, sinyal tersebut sudah diprediksi saat proses uji kelayakan dan kepatutan. Menurut Diky, mayoritas pertanyaan ditujukan untuk melihat pandangan kandidat mengenai revisi Undang-Undang KPK pada 2019 dan mekanisme penindakan melalui metode OTT. “Pimpinan KPK terpilih merupakan kandidat yang jawabannya sangat kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi,” ujar Diky.

Diky menyebutkan pernyataan Setyo hingga Agus yang mengatakan KPK masih perlu menerapkan OTT secara terbatas dan selektif. Adapun Johanis Tanak malah secara gamblang berjanji menghapus OTT. Anehnya, kata Diky, pernyataan itu malah mendapat apresiasi dari Komisi III DPR.

ICW juga mempertanyakan kompetensi kandidat terpilih. Misalnya, kata Diky, pernyataan Ibnu Basuki Widodo perihal penyadapan harus dilakukan seizin Dewas KPK. Diky menilai Ibnu tidak memahami kewenangan Dewas untuk memberikan izin penyadapan sudah dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang diputus pada 2021.

Selain itu, komposisi pimpinan KPK terpilih didominasi aparat penegak hukum. Empat dari lima pemimpin terpilih merupakan penegak hukum, baik aktif maupun purnatugas. Menurut Diky, apabila mereka hanya mundur dari jabatan seperti yang tertuang dalam Pasal 29 huruf i UU KPK, bukan tidak mungkin mereka akan punya loyalitas ganda. Karena itu, ICW mendesak pimpinan KPK terpilih dari penegak hukum tidak hanya mengundurkan diri dari jabatannya, tapi juga mengundurkan diri dari instansi asal, baik kepolisian, kejaksaan, maupun Mahkamah Agung.

Adapun Ketua Komisi III DPR Habiburokhman berkukuh proses pemilihan pimpinan KPK dan anggota Dewas KPK berlangsung secara demokratis dan transparan. Dia mengklaim nama-nama yang terpilih merupakan pilihan setiap anggota DPR tanpa adanya intervensi. “Itu pilihan pribadi orang per orang, hasilnya bisa dilihat. Kami tidak bisa memaksa masing-masing anggota menyampaikan pilihannya karena dipilih secara tertutup,” ujar Habiburokhman seusai pemilihan di Kompleks DPR/MPR, 21 November 2024.

Politikus Partai Gerindra itu enggan menanggapi soal komposisi pimpinan KPK terpilih yang didominasi aparat penegak hukum serta tidak adanya perwakilan perempuan dan masyarakat sipil. Dari lima pemimpin KPK yang dinyatakan terpilih, hanya Agus Joko Pramono yang pernah berkiprah di lembaga selain institusi penegak hukum. Agus sebelumnya adalah auditor Badan Pemeriksa Keuangan. “Itulah hasil suara dan pilihan teman-teman,” ujar Habiburokhman.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Eka Yudha Saputra, Nandito Putra dan Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus