IA tampak terakhir kali di depan khalayak Jumat malam pekan lalu, ketika peringatan ulang tahun PDI di gedung Balai Kota DKI. "Waktu itu suaranya sudah pelan," kata salah seorang anggota Pemuda Demokrat berjaket merah. "Senin pekan ini, seharusnya kami melaporkan hasil pertemuan Pemuda Demokrat di Gadog tentang Kongres Pemuda Demokrat Maret nanti." Dan memang demikianlah hidup, tak terduga. Soenawar Soekawati, 60, Ketua Umum PDI sejak 1981 itu, Minggu malam yang lalu mendapat serangan jantung di Ciawi, dalam perjalanan pulang Bandung--Jakarta. Di RS PMI, Bogor,ternyata ayah delapan anak ini tak tertolong lagi. Senin sore pekan ini jenazah Almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sudah beberapa bulan ini diberitakan ada pertentangan dalam tubuh DPP PDI. Hardjantho Sumodisastro, salah seorang Ketua DPP di satu pihak, menghendaki diselenggarakannya kongres PDI tahun ini sebelum pemilihan umum nanti. Soenawar, di pihak lain, lebih setuju diadakan Munas atau musyawarah nasional saja. Ada dugaan, perbedaan pilihan bentuk pertemuan besar PDI itu erat hubungannya dengan pemilihan ketua umum baru (TEMPO, 14 Desember 1985). Tapi setelah ada rapat DPP empat setengah jam di Depdagri,23 Desember lalu, "Kami banyak mengalami kemajuan," kata Hardjantho Senin pekan ini. Bahkan Mendagri sendiri menyimpulkan, "Setelah pertemuan akhir Desember itu, banyak perbedaan pendapat sudah mendekati persamaan." Toh, sejauh itu belum ada yang berani menyatakan bahwa DPP PDI sudah bersatu, dan kongres bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. Soalnya, Soenawar memang dikenal suka bikin kejutan. Misalnya, ia pernah membuat pernyataan tentang secular state yang menghebohkan itu. Untunglah, hal itu cepat diselesaikan. "Kami menganggap masalah itu sudah tak ada," kata Achmad Soekarmadidjaja, salah seorang Ketua DPP PDI. Dan jauh sebelumnya, orang Solo ini pernah dicap sebagai "marhaenis gadungan" - memang, itu terjadi di masa Orde Lama, ketika Soenawar menjabat Pembantu Menteri Agraria. Dan waktu itu ia langsung dipecat. Soenawar bukan cuma seorang politikus. Ia, sarjana hukum UGM angkatan 1952, pernah praktek sebagai pengacara di Bandung, dan konon sangat laris. Maklum, waktu itu sarjana hukum terhitung masih langka. Ia pun pernah jadi pengusaha yang sukses: memiliki sekitar 1.800 ha perkebunan dan sebuah pabrik tekstil. Tapi tahun-tahun terakhir ini ia mengaku hanya menerima gaji sebagai Wakil Ketua DPA, lain tidak. Itulah, ketika Soenawar membacakan sambutan pada ulang tahun PDI ke-13 di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat malam pekan lalu, orang tak kaget lagi. Masih segar inngatan orang tentang pernyataan "negara sekuler", tiba-tiba malam itu Soenawar berpidato tentang "Nasionalisme Pancasila". Menurut Sabam Sirait, Sekjen PDI, isi pidato enam halaman dengan tulisan tangan itu, antara lain, "bahwa negara ini berdasarkan Pancasila yang nilai-nilainya mampu menembus ke luar Indonesia." Sebelum orang ramai menafsirkan pidato Soenawar itu, tiba-tiba ia meninggalkan kita semua. Adakah ini berarti jalan mulus bagi lahirnya kongres PDI? "Insya Allah paling akhir April nanti kongres sudah terlaksana," kata Achmad Soekarmadidjaja. Soenawar, yang oleh banyak pihak kini disebut "seorang nasionalis sejati", dimakamkan secara militer. Pemberangkatan jenazah dari rumah duka, di kompleks perumahan pejabat tinggi di Jalan Gatot Subroto, diinspekturi oleh Naro dari PPP. Tampak melayat Presiden dan Nyonya Tien Soeharto, segenap menteri, serta pimpinan lembaga pemerintah. Sudah tentu para anggota PDI, dan Pemuda Demokrat--yang mewarnai suasana dengan jaket merah mereka. Dan sebelum kongres, presidiumlah yang memimpin PDI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini