Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Korban-korban Biskuit Maut Melacak Jejak Sang Racun

Biskuit mengandung sodium nitrit menelan banyak korban. Angket Tempo tentang konsumsi biskuit. Omzet biskuit segala merk menurun. Pabrik biskuit yang tercemar ternyata tak mempunyai laboratorium.

21 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH Sakit Umum Pekalongan, Jawa Tengah, kewalahan. Dari Senin sampai Sabtu pekan lalu, 32 orang pasien datang berbondong-bondong dan mengaku keracunan. Keracunan sodium nitrit? Senyawa kimia untuk pengawet daging dan batik itu diketahui telah mencemari beberapa pabrik biskuit dan menyebabkan jatuh korban ratusan orang di sejumlah daerah, 36 di antaranya meninggal dunia. Anehnya, mereka yang mengeluh pusing kepala, perut mual, tubuh panas-dingin, dan sebagainya itu tak seluruhnya mengaku makan biskuit. Ada yang mengalami gejala itu setelah makan tempe goreng, kerupuk, bakso, rengginang, bahkan ada yang baru menyantap ikan asin goreng. "Setelah kami periksa, ternyata cuma satu orang yang menunjukkan tanda-tanda spesifik keracunan biskuit," ujar dr. H. Marwan, Kepala Bagian Perawatan RSU Pekalongan. Sisanya, 9 orang, keracunan jenis makanan tertentu, sedang yang 22 lainnya sama sekali tak sakit, dan langsung hari itu juga dipulangkan ke rumah masing-masing. "Mereka itu cuma merasa sakit secara psikis, akibat panik mendengar bahaya keracunan biskuit," kata dokter itu. Seorang ibu, misalnya, mengaku pusing dan mual setelah makan bakso. Setelah diperiksa dokter, kata Marwan, "ternyata ibu itu sedang hamil muda." Panik? Itulah yang tampaknya terjadi pada pekan-pekan ini. Ketakutan terhadap hantu biskuit beracun menyebar ke manamana. Sebagai bukti, bisa didengar keluhan 36 produsen biskuit yang dikumpulkan di gedung Departemen Perindustrian, Jakarta, Rabu pekan lalu. Para pengusaha itu rata-rata mengeluh, penjualan biskuitnya anjlok sampai 50%. Artinya, sebagian masyarakat sudah memboikot segala jenis biskuit, meski Menteri Kesehatan Adhyatma sudah tampil di TVRI Selasa pekan lalu, menyatakan bahwa cuma lima pabrik biskuit yang produksinya tercemar bahan kimia yang mematikan itu: CV Gabisco dan PT Lonbisco di Tangerang, Jawa Barat, PT Toronto Palembang, PT National Biscuit Mcdan,dan PT Sumber Ratu Layang Indah Pontianak. Namun, ternyata pabrik biskuit terkemuka turut pula kena getah. Sebagai contoh, omset penjualan PT Khong Guan Biskuit Jakarta, salah satu pabrik biskuit terbesar di sini, melorot sampai 40% dari biasa. "Meski biskuit kami tak tercemar, rupanya masyarakat sudah ketakutan. Sejak awal bulan ini, pemasaran kami menurun 20-30%," ujar Darmadji, Kepala Bagian Umum PT Nissin Biscuit Indonesia, pabrik biskuit besar lainnya, yang berlokasi di Ungaran, Jawa Tengah. Memang, sampai pekan lalu pukulan yang diterima pabrik-pabrik biskuit ini masih belum separah badai yang menimpa sejumlah produk makanan -- antara lain, kecap, susu, dan biskuit -- akibat heboh lemak babi akhir tahun lalu. Ketika itu penjualan bahan makanan tadi melorot sampai 80%. Tapi, menurut J.A. Radjagukguk, Direktur Industri Pangan Departemen Perindustrian, kalau heboh keracunan sodium nitrit ini tak segera bisa dijernihkan, penurunan penjualan biskuit akan berlangsung terus, dan dampaknya bagi industri itu diduga akan menyamai heboh lemak babi dulu. "Makanya, soal itu harus cepat diklirkan," katanya. Sayangnya, sampai pekan ini dari berbagai daerah masih terus datang berita: jatuhnya korban-korban baru biskuit maut. Dalam keterangan pers Menteri Adhyatma Selasa pekan lalu, sampai hari itu sudah 150 korban yang jatuh akibat keracunan biskuit itu, 34 di antaranya meninggal dunia. Korban terbesar jatuh di Muara Enim, Sumatera Selatan (30 kasus, 8 meninggal) Pandeglang, Jawa Barat (30 kasus, 3 meninggal) dan Sukabumi, Jawa Barat (23 kasus, 9 meninggal). Semua korban yang meninggal terdiri dari bayi dan anak kecil, yang memang lebih rentan terhadap sodium nitrit. Tapi tampaknya sekarang jumlah korban sudah lebih besar. Dalam catatan Kanwil Depkes Jawa Barat, sampai Senin pekan ini korban di provinsi itu saja sudah mencapai 160 orang, 20 di antaranya menemui maut. Sehari setelah keterangan pers Menteri Kesehatan itu, Rabu pekan lalu, di Desa Lancok-Lancuk, Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Muhamad Fadil, bayi berumur satu tahun, menemui ajal setelah diberi biskuit produksi sebuah pabrik di Medan. Kondisinya melemah, sekujur tubuh, bibir, dan telapak kakinya, membiru. "Prosesnya cepat sekali, ia tak sempat saya bawa ke puskesmas," kata Syarifuddin, sang ayah, yang menyuapkan penganan maut itu pada Fadil. Pulau Bali juga sudah mencatat korban. Sampai hari Minggu lalu, sudah 36 penduduk Singaraja masuk RSU Singaraja. Anehnya, para korban tak cuma sakit karena biskuit. Ada yang makan kue bolu, roti tawar, dan roti manis produksi lokal. Syukur, semuanya selamat di rumah sakit. Di Jawa Timur, mulai Rabu pekan lalu terdengar berita jatuhnya korban biskuit. Mereka -- dua di Sumenep dan satu di Surabaya -- syukur bisa ditolong rumah sakit. Tapi di Banjarmasin, Jumat pekan lalu, nyawa Rosdiah, 3,5 tahun, tak terselamatkan. Putri bungsu keluarga Ramli dari Kelurahan Sugi Mufti itu meninggal setelah sehari sebelumnya menelan mari biskuit tanpa merk yang diduga produk PTToronto Palembang. "Setelah makan biskuit itu, Rosdiah muntah-muntah seharian, tubuhnya membiru, lalu meninggal," kata Letkol. Hindradjit, Kadispen Polda Kalimantan Selatan dan Tengah, kepada TEMPO. Satu toples sisa biskuit dari warung telah diamankan polisi, sedangkan mayat bocah itu diantarkan polisi ke RSU Ulin Banjarmasin untuk divisum. Anehnya, kata Wakil Direktur RSU Ulim Tantawi Djauhari, "Permintaan visum itu ditolak karena tak ada yang menjamin biayanya. Jadi, tak bisa dipastikan apakah bocah itu keracunan biskuit." Menurut Media Indonesia, Rabu dan Kamis pekan lalu, 10 korban kembali jatuh di Kabupaten Serang, Jawa Barat. Sementara itu, di Bogor, Ah Swi Oeung, karyawan pabrik kulit PT.Sinar Gunung Putri meninggal dunia setelah muntah darah bercampur roti. Di Medan dan Padangsidempuan, Sumatera Utara, sejumlah orang mulai pula dirawat rumah sakit setempat karena sakit setelah makan biskuit. Namun, benarkah mereka semua itu keracunan biskuit? Belum tentu. Kadispen Polda Sumatera Utara Letkol. Yusuf Umar, misalnya, membantah bahwa sejumlah pasien yang kini dirawat di beberapa rumah sakit di daerah itu disebabkan biskuit beracun. Yusuf mengeluarkan pernyataan itu setelah sisa biskuit yang dimakan Rosmanidar, 28 tahun, diperiksa di laboratorium POM Kanwil Depkes Sumatera Utara. Rosmanidar, Kamis pekan lalu, semaput setelah makan biskuit yang diproduksi sebuah pabrik di kota itu. "Ternyata, sisa biskuit itu sama sekali tak tercemar," kata perwira menengah polisi tadi. Setelah sejumlah korban dikabarkan jatuh di Medan, Balai POM (Pengawasan Obat dan Makanan) Medan memeriksa 118 jenis sampel biskuit dari lima pabrik biskuit yang ada di kota itu, termasuk sisa-sisa biskuit yang sempat diambil dari para korban. "Hasilnya, sampel itu bebas dari sodium nitrit," ujar Oyong Syaftriani, Kepala Balai POM itu. "Keracunan psikis" akibat kekhawatiran pada bahaya hantu biskuit beracun tampaknya memang merebak luas. Menteri Adhyatma juga mengatakan, pekan lalu bahwa setelah ramai-ramai keracunan biskuit itu, di berbagai daerah terdengar adanya korban keracunan biskuit di luar produk lima pabrik yang sudah ditutup. Kemungkinan itu memang ada. Sejak Selasa pekan lalu, empat penduduk Kulonprogo, Yogyakarta, masuk RSU dr. Sardjito Yogyakarta, setelah makan biskuit bundar bertuliskan "Marie Kelapa Special" yang belum masuk daftar terlarang Depkes. "Racun apa yang ada di biskuit itu masih dalam pemeriksaan- laboratorium," kata Sarwidji, Humas Kanwil Depkes DIY. Hal yang sama menimpa tiga penduduk Desa Palelamat, Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Sabtu siang pekan lalu, mereka makan biskuit buatan PT Marie Industries Tangerang, yang belum masuk daftar haram Depkes. Nyatanya, sejam kemudian ketiganya langsung sempoyongan dan segera diangkut ke RS Muntilan. Mereka tertolong. Polisi yang dilapori segera menyegel semua biskuit produk pabrik itu yang ada di Magelang, dan sebagian dibuat sampel untuk tes laboratorium. "Ketiganya memang keracunan, tapi oleh racun apa, belum diketahui," ujar dr. Soebiyanto, yang merawat mereka. Dari hasil pelacakan Kanwil Depkes Jawa Barat, ternyata banyak ditemukan biskuit tercemar sodium nitrit, yang tak termasuk daftar Depkes. "Ternyata, biskuit yang diduga keracunan itu banyak jenisnya. Kalau kami katakan semua biskuit jangan dimakan, itu namanya tak bijaksana," kata dr. Yayat Djatnika, staf Kanwil Depkes Jawa Barat. Senin siang yang lalu, misalnya, lima penduduk Kecamatan Andir, Bandung, dirawat di Rumah Sakit Rajawali. Polisi menyita sisa biskuit yang mereka makan, lima bungkus plastik biskuit merk Khong Guan. Hal yang sama terjadi di Bali. Sri Padmiati, 20 tahun, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surakarta, bisa jadi saksi. Jumat pekan lalu, penggemar, berat biskuit ini membeli sekalen biskuit Khong Guan di terminal bis Tirtonadi, Solo. Sehabis makan biskuit itu, ia pusing, mual, lalu jatuh pingsan. "Kawan-kawan saya juga baca. Logonya Khong Guan, juga para suster di rumah sakit ini," kata Padmiati dirumah sakit, ketika ditemui TEMPO Senin pekan ini. Direktur Reserse Mabes Polri Brigjen. Koesparmono Irsan mensinyalir, kasus itu terjadi karena kenakalan pedagang. "Biskuit merk terlarang mereka pindahkan ke kaleng lain dari merk yang tak terlarang. Ini agar bisnis mereka jangan rugi, tapi amat membahayakan," katanya. Mungkin pemeriksaan laboratorium atas sisa biskuit itu nanti bisa memberi petunjuk apa yang terjadi . Tapi, bicara soal laboratorium, ada kisah menarik dari Pontianak. Begini, setelah soal biskuit beracun mulai ramai, 26 September lalu, PT Sumber Batu Layang Indah, pabrik biskuit di sana, mengirimkan 15 gram amonium bikarbonat yang digunakan pabrik biskuit tersebut kepada Balai POM Kanwil Depkes Kalimantan Barat, untuk diteliti. Dengan cepat, esoknya, Balai POM itu mengeluarkan sertifikat nomor 70/L/IX/89, yang menyatakan bahwa bahan kimia itu murni amonium bikarbonat. Sertifikat yang ditandatangani Kepala Balai POM setempat, Drs. H.P. Siahaan, itu segera dimanfaatkan perusahaan biskuit ini. Berbekal sertifikat itu, PT SBLI segera menempelkan reklame di setiap toko biskuit di seantero kota. Sementara itu, dua stsiun radio terkemuka di kota itu Volars dan Diah Rosanti, sebentar-sebentar mengkampanyekan: biskuit Ayam Brand produksi PT SBLI tak tercemar sodium nitrit berdasarkan pemeriksaan Balai POM. Tahu-tahu, sepekan kemudian korban Ayam Brand mulai berjatuhan. Dengan cepat, Gubernur Pardjoko segera bertindak: sehari setelah korban pertama jatuh pabrik dengan sertifikat laboratorium POM Depkes itu ia perintahkan agar tutup. "Ayam Brand memang positif mengandung sodium nitrit," ujar Kapten Armond Husein, Kadispen Polda Kalimantan Barat, Kamis pekan lalu. Lalu bagaimana keandalan sertifikat POM itu? "Yang diperiksa kan amonium bikarbonat, bukan biskuit produk pabrik. Entah bagaimana sertifikat itu kok dipakai untuk promosi," jawab dr. Karneni, Kepala Kanwil Depkes Kalimantan Barat. "Permainan" seperti ini bagaimanapun memang mengesalkan. Zumrotin, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menuding bahwa dalam kasus ini pemerintah tampak lebih memperhatikan nasib perusahaan dibandingkan konsumen. Ia menunjuk contoh saat Menteri Kesehatan Adhyatma tampil di layar TVRI. "Di situ nasib konsumen yang jadi korban tak diperhatikan," katanya. Beberapa keluarga korban yang dihubungi YLKI di Tangerang mengaku telah diberi seseorang uang ganti rugi Rp 75.000. "Nah, coba pikir, nyawa orang dihargai cuma Rp 75.000," ujar Zumrotin. Padahal, perusahaan biskuit itu -- termasuk aparat pemerintah yang lalai di bidang pengawasan -- serta beberapa perusahaan lainnya menjadi penyebab langsung kematian sejumlah konsumen. Oleh karena itu, YLKI bersama LBH bertekad akan melakukan gugatan, atas nama para korban, melalui pengadilan. Sampai kini sudah tiga keluarga korban memberikan surat kuasa pada mereka. Banyaknya korban yang jatuh tampaknya karena biskuit kini telah menjadi penganan sehari-hari buat segala macam lapisan masyarakat. Harga sebungkus biskuit yang di warung-warung dijual Rp 25 rupanya memungkinkan banyak anak membeli dengan uang jajan mereka, tanpa setahu orangtua mereka. Namun, setelah heboh biskuit beracun ini, banyak orangtua yang mulai memperhatikan jajan apa yang dibeli anak mereka. Banyak yang memutuskan untuk -- mungkin untuk sementara waktu -- sama sekali tidak membeli biskuit merk apa pun. Angket TEMPO menunjukkan sikap itu (baca Mereka tak Mau Ambil Risiko). Di beberapa SD di Jakarta, belakangan ini guru-guru malahan memeriksa tas sekolah anak didik mereka, dan "mengamankan" biskuit yang dibawa sebagai bekal. Tampaknya, mereka pun tak mau ambil risiko. Betapapun, peristiwa ini agaknya merupakan sebuah kesembronoan yang memakan korban paling besar tahun ini. Dilihat dari korban yang terus berjatuhan, ini mirip kasus keracunan tempe bongkrek beberapa tahun lalu. Hanya saja, tempe bongkrek cuma menimpa daerah Banyumas, Jawa Tengah, sedang korban biskuit lebih menyebar sampai Sumatera, Bali, dan Kalimantan. Sebab, lima pabrik biskuit yang sudah ditutup itu saja daerah pemasarannya meliputi 14 provinsi. Musibah ini bermula dari merapatnya kapal MV Sun Kung 5 dari perusahaan pelayaran Hong Kong, Po Hui Sipping Co. Ltd., di Pelabuhan Tanjungpriok, 8 April 1989. Kapal itu antara lain memuat 2.000 sak (a 25 kg) amonium bikarbonat eks RRC, kiriman perusahaan Twin L. Ltd. untuk memenuhi pesanan partnernya di sini, PT Firman Jaya Abadi (FJA). Di atas kapal, malah dalam satu palka, ada pula 2.000 sak sodium nitrit, pesanan PT Panca Kusuma Aneka Kimia (PKAK), Jakarta. Tindakan Po Hui Shipping Co. meletakkan amonium bikarbonat -- biasa digunakan untuk pengembang biskuit -- berdekatan dengan sodium nitrit itu sudah merupakan kecerobohan. Karena senyawa kimia yang biasa digunakan untuk pengawet daging dan batik ini tergolong bahan berbahaya, yang kalau termakan amat mematikan. Tambahan lagi, label karung pembungkus kedua jenis bahan kimia itu banyak yang sudah terhapus. Harga amonium bikarbonat RRC, Rp 400/kg, memang lebih murah dibanding buatan Korea Selatan yang Rp 525/kg, dan Jepang, Rp 575/kg. Produk Korea Selatan dan Jepan iua biasa diimpor dan dipakai sejumlah pabrik biskuitbesar di sini. Lalu, para petugas PT Adhiguna Putera Tanjungpriok, yang membongkar bahan kimia itu, rupanya main hantam kromo pula. Akibatnya, amonium bikarbonat itu tertukar dengan sodium nitrit. Salah seorang huruh angkut yang ditemui TEMPO, Senin ini, mengaku bahwa mereka bekerja atas perintah para mandor dan atasannya, karyawan pengurai, serta kepala seksi gudang. "Kami tak tahu barang itu berbahaya atau tidak. Kalau kata mandor 'angkat', ya kami angkat saja," ujar Darma, 65 tahun, buruh angkut itu. Dari kapal, amonium bikarbonat itu disimpan di gudang pelabuhan nomor 210, dan dari sana dipindahkan ke gudang PJKA. Lalu, mulai 18 Mei 1989, disalurkan pada para pemesan. Sedang sodium nitrit itu disimpan di gudang api, khusus untuk menyimpan bahan kimia berbahaya. Dari sana dipindahkan ke gudang lain, untuk disalurkan ke pemesan. Belakangan, PT Halim, dan seorang bernama Hendra, masing-masing mengembalikan sekarung sodium nitrit pesanannya pada PT PKAK. Sebab, ternyata bahan pengawet yang dipesannya itu adalah amonium bikarbonat. "Mungkin karena langganan kami kebanyakan pengusaha batik, tak tahu kalau sodium nitrit pesanannya telah tertukar amonium bikarbonat. Karena tertukarnya bahan itu tak sampai mempengaruhi produk mereka," kata D. Robby Widjaja, pengacara PT PKAK. Maka, sodium nitrit yang "menyaru" amonium bikarbonat itu pun mulai menyebar. Sejak akhir Juli lalu, di Tangerang dan Pandeglang, terdengar kasus keracunan biskuit. Tapi setelah diteliti Balai POM Bandung, ternyata dinyatakan cuma keracunan pestisida biasa. Lalu di Jambi, 3 Austus 1989. tiga anak meninggal dunia setelah makan biskuit produk PT Toronto Palembang. Setelah melakukan pengecekan lapangan, 10 Agustus, Balai POM Jambi memerintahkan toko penjual biskuit tersebut agar tak lagi menjual barang yang dicurigai sebagai penyebab jatuhnya korban itu. Sementara itu, di beberapa daerah Jawa Barat, seperti Sukabumi mulai jatuh korban dengan ciri yang sama dengan di Jambi. Anehnya, penanganan semua kasus ini berjalan lamban. PT Toronto, misalnya, baru ditutup 4 September 1989. Artinya, sebulan setelah korban pertama ditemukan, pabrik itu masih bebas memproduksi biskuit maut itu. "Kami sebenarnya sudah bertindak cepat menutup pabrik itu," kata Dirjen Aneka Industri Susanto Sahardjo. Soalnya, menurut sang Dirjen, Departemen Perindustrian baru mendapat laporan dari Depkes tentang biskuit maut PT Toronto pada 31 Agustus 1989. Dan baru pada 19 September 1989, Dirjen POM Depkes mengirim kawat pada Kakanwil Depkes Jawa Barat, agar aparatnya itu minta bantuan Pemda untuk mengamankan biskuit produk CV Gabisco Tangerang. Padahal, 23 Agustus, hampir sebulan sebelumnya, Balai POM Bandung telah menemukan kandungan sodium nitrit pada biskuit CV Gabisco. Nyatanya, Menteri Adhyatma baru mengungkapkan Selasa pekan lalu, bahwa selain CV Gabisco dan PT Toronto, juga PT National Biscuit Medan, PT Lonbisco Tangerang, dan PT Sumber Batu Layang Indah Pontianak, ditutup karena kasus pencemaran sodium nitrit itu. Rupanya, PT FJA menyalurkan amonium bikarbonat itu pada tiga pabrik biskuit: 500 sak pada CV Gabisco, 80 sak untuk PT Lonbisco, dan 1.040 sak untuk PT Toronto. PT Toronto punya hubungan dengan PT Natisional Biscuit Medan dan PT Sumber Batu Layang Indah Pontianak. Produksi biskuit maut itu pun melebar sampai Medan dan Pontianak. Dari pengusutan yang dilakukan Mibes Polri, diduga keras ada 18 sak sodium nitrit yang sempat tertukar dengan amonium bikarbonat. Dari jumlah itu, 10 sak sudah disita polisi: 5 sak dari gudang PT Toronto 1 sak dari gudang PT FJA, 1 sak dari CV Gabisco, dan sisanya dari PT Lonbisco. Dari sini diketahui ada 8 sak (200 kg) sodium nitrit yang hilang. "Dari jumlah itu, berapa sak yang sudah tercampur jadi biskuit yang meracuni konsumen itu, apakah masih ada yang tersisa, dan di mana racun itu sekarang, masih kami selidiki," kata Brigjen. Koesparmono Irsan. Yang terjadi sekarang adalah upaya menarik biskuit beracun itu dari pasar. Maka, di Jawa Timur, misalnya, Polda setempat mengerahkan 50 pasukan buru sergap untuk memburu biskuit beracun itu. Operasi yang sama juga dilakukan di polres-polres se provinsi itu. Balai POM Jawa Tengah sudah mengamankan 7 ton lebih biskuit di gudang Cv Gabisco di Tegal Sejak Rabu pekan lalu, Wali Kota Madya Solo R. Hartomo membentuk sebuah tim monitoring untuk memantau biskuit dan berbagai makanan yang dicurigai tercemar. Tim itu disebar ke berbagai toko dan pabrik roti, dan sudah mengamankan 2 ton biskuit yang dicurigai. Ruang piket Kodim 0506 Tangerang sekarang penuh biskuit, hasil pembelian yang dilakukan aparat Kodim di desa-desa sekitarnya. Di antara tumpukan itu, terlihat biskujt merk Bala-Bala, produksi PT Migro Brothers Jakarta, yang sebenarnya tak termasuk daftar haram Depkes. Malah ada pula permen Sugus. "Semua ini kami beli dengan dana kami yang terbatas, bukan kami sita. Nanti kami serahkan ke Kodam. Ini semata-mata tindakan preventif setelah kami dengar korban mulai berjatuhan," kata Letnan Kolonel Yohanes Bambang, Komandan Kodim Tangerang. Ternyata, banyak pula para pedagang yang membandel menyerahkan biskuitnya pada aparat karena takut merugi. Seperti diceritakan dr. Yayat Djatnika dari Kanwil Depkes Jawa Barat. Di Sukabumi, ada pedagang berani menentang polisi yang akan menyita biskuitnya, dengan dalih dagangannya itu tak beracun. Untuk membuktikan ucapannya, pedagang itu menelan dua potong biskuit di depan polisi. Ternyata, tak lama berselang, sang pedagang itu semaput, dan terpaksa ditolong petugas kesehatan. "Setelah kena batunya, baru ia menyerahkan biskuit itw," kata Yayat. Tapi betulkah pengawasan Depkes selama ini lemah? "Secara jujur kami jawab 'ya'," kata Menteri Adhyatma dalam tatap muka dengan seluruh jajaran aparatnya se Jawa Tengah, di aula Rumah Sakit Orthopedi dan Prethese Dr. R. Soeharso Surakarta, Senin malam pekan ini. Hal itu, menurut Adhyatma, karena terbatasnya dana, sehingga Depkes harus memilih prioritas. Setiap tahun, Depkes harus meneliti 200 samlai 300 ribu sampel di tiap provinsi, padahal dana yang tersedia hanya cukup untuk meneliti 20 ribu sampel/provinsi/tahun. Dalam kasus ini, kelemahan juga terjadi karena ketika ditemukan kematian di Jambi, aparatnya menganggap itu cuma kasus lokal . Menurut Adhyatma, sejak kasus itu ditemukan, ia sendiri sudah melapor pada Presiden. "Kerja yang cepat tapi jangan resahkan masyarakat," kata Adhyatma, menirukan petunjuk Presiden Soeharto. "Ini memang sulit, karena terpaksa informasi besar-besaran harus diredam. Tapi akhirnya saya terpaksa muncul di televisi, menjelaskan semuanya secara terbuka. Dan timbullah berbagai kasus, termasuk keracunan minyak goreng, permen, dan sebagainya. Saya kira ini memang meresahkan," kata Adhyatma. Menteri itu mengaku, sekarang setiap minggu Presiden minta laporan tentang soal itu. "Presiden memberi perhatian yang sangat serius pada kasus keracunan ini," ujarnya. Amran Nasution, Kastoyo Ramelan, Heddy Lugito, Bambang Adji Setiady, Ardian Taufik Gesuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus