Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka Tak Mau Ambil Risiko

Kesimpulan yang diperoleh dari angket Tempo, menjaring 375 responden yang diminta pendapatnya tentang "konsumsi biskuit" setelah hebohnya biskuit beracun. Kebanyakan berhati-hati membeli biskuit.

21 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HEBOH biskuit beracun tampaknya membuat para orangtua bersikap lebih hati-hati terhadap biskuit. Pengakuan para pengusaha pabrik biskuit bahwa angka penjualan mereka anjlok sampai 50 persen menunjukkan kuatnya rasa waswas itu. Kesimpulan itu juga diperoleh dari angket TEMPO yang diedarkan pekan lalu, yang menjaring 375 responden yang diminta pendapatnya tentang "Konsumsi Biskuit". Sebagian besar responden, 64, ternyata setelah hebohnya biskuit beracun mengaku "melarang semua angota keluarga memakan biskuit merk apa pun". Maklum, hampir 99%, dari seluruh pengisi angket di Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, DKI Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, itu sudah tahu perihal beredarnya biskuit beracun. Mereka kebanyakan (53%) mengetahui kabar tentang adanya biskuit beracun sudah sebulan lalu. Sebagian lagi (23%) baru dua pekan lalu, dan 10% responden mengaku baru sepekan lalu. Mereka (94%) mengetahui soal biskuit beracun itu justru dari media (koran. majalah, radio, televisi). Tak sampai 5% yang mendengar kabar biskuit beracun dari teman atau kenalannya. Yang mengaku mendengar hal itu dari petugas (termasuk ketua RT/RW, lurah, camat, kodim) cuma 1%. Yang menarik, cukup banyak responden yang bersikap lugas menanggapi heboh biskuit beracun itu. Mereka tak mau ambil risiko dengan tak mau membeli biskuit merk apa pun. Lebih dari separuh responden yang bersikap begitu. Mungkin inilah yang menyebabkan penjualan biskuit menurun drastis. Meskipun demikian, tampak juga toleransi mereka. Sekitar separuh responden masih mau membeli biskuit dari merk terkenal, yang kira-kira kecil kemungkinannya terkontaminasi racun. Selama ini, sebagian besar responden (72%) mengaku kadang-kadang saja membeli biskuit sedangkan 25% menyatakan sering. Sudah tentu mereka punya alasan kuat untuk menentukan sikapnya itu. Dampak sikap mereka ini besar terhadap pasar biskuit sebab sebagian besar di antara mereka membeli biskuit tidak untuk dirinya sendiri. Tercatat, responden yang diminta mengisi angket ini 91% sudah menikah. Dan 53% di antaranya setidaknya sudah punya 3 anak. 28% punya 2 anak 15% punya seorang anak. Sebagian besar responden (64%) menyatakan membeli biskuit itu untuk penganan keluarga, termasuk anak-anak. Sebagian responden malahan membeli biskuit itu justru untuk anak-anak mereka termasuk sebagai makanan tambahan bayi. Ada 24% responden yang berbuat begitu. Cukup banyak yang menganggap biskuit sebagai hidangan yang tepat untuk suguhan tamu. Mereka yang membeli biskuit itu untuk dihidangkan bagi tamu-tamunya ada 11%. Mungkin biskuit yang mereka beli bukan termasuk yang terkontaminasi racun. Sebab, kebanyakan responden tak membeli biskuit sembarangan. Mereka yang mengaku membeli biskuit "merk terkenal" tercatat 60%. Namun, hampir 22% responden menyatakan tak pernah memperhatikan merknya. Di samping itu, hampir 8% mengaku membeli merk biskuit tak terkenal asalkan murah harganya. dan 7% tak peduli merknya dan membeli secara kiloan. Perlu diketahui, responden yang mengisi angket ini sebagian besar (78%) berpenghasilan kurang dari Rp 400 ribu per bulan, yang terdiri dari 43% berpenghasilan kurang dari Rp 200 ribu, dan selebihnya berpenghasilan antara Rp 200 ribu dan Rp 400 ribu. Responden laki-laki (49%) dan wanita (51%) tak berbeda banyak dalam bersikap. Tampaknya, cukup banyak orangtua yang kurang memperhatikan jajan yang dibeli anaknya. Sebagian besar responden itu (54%) menyatakan bahwa mereka tak memperhatikan biskuit macam apa yang suka dibeli anak-anaknya bila jajan. Apalagi bila anak-anak itu membeii daa memakannya sambil bermain dengan sesama temannya. Bahkan setelah meledaknya peristiwa biskuit beracun akhir-akhir ini pun, ada 42% responden yang mengaku bahwa anaknya suka membeli biskuit tanpa setahu mereka. Tapi terdapat 54% responden yang yakin anak-anaknya tak beli biskuit sembarangan yang terkontaminasi racun itu. Toh banyak orangtua yang setelah heboh biskuit beracun ini mengambil tindakan pencegahan. Ternyata, banyak responden yang makin rajin memeriksa tas/bekal anak-anak mereka sebelum berangkat ke sekolah. Sebagian responden (32%) bahkan tak segan-segan menyetop uang jajan anak-anaknya. Mereka khawatir bila duit itu bakal dibelikan biskuit yang beracun. Responden yang bersikap begitu ternyata justru cenderung berasal dari mereka yang berpenghasilan besar. Di antara 160 responden dari golongan berpenghasilan kurang dari Rp 200 ribu perbulannya, sebanyak 29% yang tidak membeli uang jajan kepada anaknya semenjak hebohnya biskuit beracun. Sedangkan responden yang berpenghasilan lebih tinggi lagi, antara Rp 400 ribu dan Rp 600 ribu per bulannya, berjumlah 36. Sebagian besar responden, yakni 56% dari seluruh responden, memang tak sampai menyetop uang jajan anak-anak mereka. Meskipun demikian, sikap responden toh tetap berhati-hati memberikan uang jajan kepada anaknya. Hal itu nampak pada jawaban atas pertanyaan. "Setelah terjadinya heboh biskuit beracun ini, apakah Anda memberi uang jajan kepaa anak, tapi memberi tahu tak boleh membeli biskuit merk apa pun dan sejenisnya'?" Responden yang menjawab "ya" 67%. Dari angket ini, terlihat pula kecenderungan perilaku para orangtua terhadap bahaya biskuit beracun. Semakin banyak anak, semakin besar kekhawatiran mereka. Dari responden yang baru punya anak satu. berjumlah 58 responden, misalnya. terdapat 58% yang tak membolehkan anaknya membeli biskuit apa pun. kendati mereka tetap memberi uang jajan. Sedangkan responden yang punya anak 3, berjumlah 85 orang, ada 68% yang bersikap begitu. Dan mereka yang anaknya lebih dari 3. berjumlah 112 orang, persentasenya makin besar, hampir 78%. Suhardjo Hs. dan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus