Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Koreksi titik koma ?

Perbaikan dalam buku pmp yang baru, dilakukan oleh tim penyempurnaan yang diketuai sekretaris kabinet moerdiono.(nas)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU Pendidikan Moral Pancasila (PMP), mungkin tidak akan mengundang protes lagi. Tim penyempurnaan buku tersebut, yang dibentuk Juni yang lalu, pekan lalu sudah menyerahkan hasil kerjanya kepada Presiden. Dan kini 17 juta buku PMP dengan perbaikan sudah siap naik cetak. Dua belas jilid buku yang dipakai dari kelas I SD sampai kelas III SMA itu, cetakan pertamanya memang mengundang banyak komentar. Mulai digunakan di sekolah-sekolah Oktober 1980, buku tersebut dipersoalkan oleh FPP -- terutama bab-bab yang menyinggung agama -- dalam sidang paripurna DPR, Juni 1981. Dan 23 Agustus yang lalu sejumlah ulama Islam menyampaikan petisi kepada DPR, agar buku PMP "ditinjau kembali secara menyeluruh." (TEMPO, 4 September). Tim penyempurnaan diketuai Sekkab Moerdiono itu agaknya memang bekerja keras. Ada 216 perbaikan yang dilakukan, setelah "mempelajari semua saran dan pandangan dari masyarakat," kata Moerdiono. Memang, menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Darji Darmodiharjo, salah seorang anggota tim, sebagian besar hanyalah perbaikan ringan. Antara lain perbaikan salah cetak, pembetulan titik dan koma, dan pelengkapan nama-nama. Diakui pasal yang menyangkut agamalah yang mendapat perhatian serius, dan "paling seru diperdebatkan," tutur Moerdiono kepada TEMPO. Toh, akhirnya muncul juga kata sepakat. Misalnya, bab yang tercantum dalam PMP untuk kelas V SD halaman 13 -- yang termasuk dijadikan persoalan pokok, baik oleh FPP maupun oleh petisi para ulama. Bab tersebut, mengatakan bila kita melayat jenazah yang berbeda agama dengan kita, "sebagai makhluk beragama wajib berdoa semoga yang meninggal diampuni dan diterima Tuhan Yang Maha Esa." Kata 'wajib' itu diganti 'sebaiknya'. Sebab "kata wajib bagi umat Islam berarti harus. Bila tidak dikerjakan hukumnya dosa," tutur Anton Djaelani, Dirjen Pembinaan Agama Islam, yang juga anggota tim. Padahal menurut ajaran Islam, dalam Surat At-Taubat ayat 113 dikatakan: "Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan (mendoakan) ampunan kepada Allah bagi orang-orang musyrik . . . " Hal yang lain, yang ada dalam buku penjelasan PMP, halaman 14 kalimatnya diperjelas. Kalimat yang dipersoalkan itu berbunyi: "Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya." Kini diperbaiki menjadi "Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya, menurut agama masing-masing." Kemudian ada pula kata-kata yang diganti sama sekali, yang oleh Moerdiono dikategorikan sebagai "masalah psikologis". Yaitu penggunaan kata "cinta kasih" -- yang oleh sementara orang dikomentari sebagai "berbau agama tertentu". Kata itu diganti dengan "kasih sayang". Tapi soal "Perayaan Idul Fitri dan Natal yang dilaksanakan secara bersama-sama merupakan salah satu cermin semangat toleransi yang besar," oleh tim dianggap sudah pas. Padahal itu juga termasuk yang dijadikan persoalan baik oleh FPP maupun oleh petisi para ulama yang lalu. "Jangan mencampuradukkan ibadat dan pesta," kata Anton. "Orang boleh ikut pestanya, tapi jangan ibadatnya." Pada pokoknya semua perbaikan dilakukan dengan pedoman, bahwa "PMP bukan pelajaran agama, karena PMP tidak boleh bertentangan dengan pelajaran agama," kata Moerdiono. Maka tentang aliran kepercayaan yang dipersoalkan masih juga disebut-sebut dalam buku yang sudah diperbaiki. "Tapi ada penjelasan bahwa aliran kepercayaan itu olah rohani, tidak termasuk sebagai agama," tutur Anton Djaelani. Masalahnya kini, adalah mereka yang pernah mempersoalkan buku PMP itu telah berlega hati karenanya, Anwar Haryono, yang Agustus lalu membacakan penjelasan petisi para ulama di DPR menilai perbaikan tim "hanyalah koreksi kecil-kecilan." Meskipun Anwar mengaku belum tahu seberapa jauh perbaikan dilakukan -- "Saya hanya tahu lewat surat kabar." Yang dipersoalkannya ialah pemikiran yang mendasari buku PMP tersebut. Anwar Haryono berpendapat: "Pelajaran civics atau Ilmu Kewarganegaraan lebih tepat, dibanding PMP, karena tidak menyinggung-nyinggung soal moral buruk dan baik menurut agama." Civics memang pernah diajarkan. Tapi evaluasi tentang hasilnya belum pernah diadakan. Mungkin ini adat Indonesia: penelitian tentang hasil pelajaran sedikit sekali dilakukan, sementara perdebatan bisa berlangsung seru sekali di sekitar manfaatnya. Dalam kasus pelajaran PMP, seperti halnya dalam kasus pelajaran agama, pandangan dan sikap politik nampak lebih kuat ketimbang penelaahan empiris. Dan suhu pun cepat naik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus