BUKU Pendidikan Moral Pancasila (PMP), mungkin tidak akan
mengundang protes lagi. Tim penyempurnaan buku tersebut, yang
dibentuk Juni yang lalu, pekan lalu sudah menyerahkan hasil
kerjanya kepada Presiden. Dan kini 17 juta buku PMP dengan
perbaikan sudah siap naik cetak.
Dua belas jilid buku yang dipakai dari kelas I SD sampai kelas
III SMA itu, cetakan pertamanya memang mengundang banyak
komentar. Mulai digunakan di sekolah-sekolah Oktober 1980, buku
tersebut dipersoalkan oleh FPP -- terutama bab-bab yang
menyinggung agama -- dalam sidang paripurna DPR, Juni 1981. Dan
23 Agustus yang lalu sejumlah ulama Islam menyampaikan petisi
kepada DPR, agar buku PMP "ditinjau kembali secara menyeluruh."
(TEMPO, 4 September).
Tim penyempurnaan diketuai Sekkab Moerdiono itu agaknya memang
bekerja keras. Ada 216 perbaikan yang dilakukan, setelah
"mempelajari semua saran dan pandangan dari masyarakat," kata
Moerdiono.
Memang, menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Darji
Darmodiharjo, salah seorang anggota tim, sebagian besar hanyalah
perbaikan ringan. Antara lain perbaikan salah cetak, pembetulan
titik dan koma, dan pelengkapan nama-nama. Diakui pasal yang
menyangkut agamalah yang mendapat perhatian serius, dan "paling
seru diperdebatkan," tutur Moerdiono kepada TEMPO.
Toh, akhirnya muncul juga kata sepakat. Misalnya, bab yang
tercantum dalam PMP untuk kelas V SD halaman 13 -- yang termasuk
dijadikan persoalan pokok, baik oleh FPP maupun oleh petisi para
ulama. Bab tersebut, mengatakan bila kita melayat jenazah yang
berbeda agama dengan kita, "sebagai makhluk beragama wajib
berdoa semoga yang meninggal diampuni dan diterima Tuhan Yang
Maha Esa." Kata 'wajib' itu diganti 'sebaiknya'. Sebab "kata
wajib bagi umat Islam berarti harus. Bila tidak dikerjakan
hukumnya dosa," tutur Anton Djaelani, Dirjen Pembinaan Agama
Islam, yang juga anggota tim. Padahal menurut ajaran Islam,
dalam Surat At-Taubat ayat 113 dikatakan: "Tidaklah sepatutnya
bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan (mendoakan)
ampunan kepada Allah bagi orang-orang musyrik . . . "
Hal yang lain, yang ada dalam buku penjelasan PMP, halaman 14
kalimatnya diperjelas. Kalimat yang dipersoalkan itu berbunyi:
"Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya." Kini
diperbaiki menjadi "Semua agama di Indonesia adalah baik dan
suci tujuannya, menurut agama masing-masing."
Kemudian ada pula kata-kata yang diganti sama sekali, yang oleh
Moerdiono dikategorikan sebagai "masalah psikologis". Yaitu
penggunaan kata "cinta kasih" -- yang oleh sementara orang
dikomentari sebagai "berbau agama tertentu". Kata itu diganti
dengan "kasih sayang".
Tapi soal "Perayaan Idul Fitri dan Natal yang dilaksanakan
secara bersama-sama merupakan salah satu cermin semangat
toleransi yang besar," oleh tim dianggap sudah pas. Padahal itu
juga termasuk yang dijadikan persoalan baik oleh FPP maupun oleh
petisi para ulama yang lalu. "Jangan mencampuradukkan ibadat dan
pesta," kata Anton. "Orang boleh ikut pestanya, tapi jangan
ibadatnya."
Pada pokoknya semua perbaikan dilakukan dengan pedoman, bahwa
"PMP bukan pelajaran agama, karena PMP tidak boleh bertentangan
dengan pelajaran agama," kata Moerdiono. Maka tentang aliran
kepercayaan yang dipersoalkan masih juga disebut-sebut dalam
buku yang sudah diperbaiki. "Tapi ada penjelasan bahwa aliran
kepercayaan itu olah rohani, tidak termasuk sebagai agama,"
tutur Anton Djaelani.
Masalahnya kini, adalah mereka yang pernah mempersoalkan buku
PMP itu telah berlega hati karenanya, Anwar Haryono, yang
Agustus lalu membacakan penjelasan petisi para ulama di DPR
menilai perbaikan tim "hanyalah koreksi kecil-kecilan." Meskipun
Anwar mengaku belum tahu seberapa jauh perbaikan dilakukan --
"Saya hanya tahu lewat surat kabar."
Yang dipersoalkannya ialah pemikiran yang mendasari buku PMP
tersebut.
Anwar Haryono berpendapat: "Pelajaran civics atau Ilmu
Kewarganegaraan lebih tepat, dibanding PMP, karena tidak
menyinggung-nyinggung soal moral buruk dan baik menurut agama."
Civics memang pernah diajarkan. Tapi evaluasi tentang hasilnya
belum pernah diadakan. Mungkin ini adat Indonesia: penelitian
tentang hasil pelajaran sedikit sekali dilakukan, sementara
perdebatan bisa berlangsung seru sekali di sekitar manfaatnya.
Dalam kasus pelajaran PMP, seperti halnya dalam kasus pelajaran
agama, pandangan dan sikap politik nampak lebih kuat ketimbang
penelaahan empiris. Dan suhu pun cepat naik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini