KURSI ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat kabupaten dan kota madya, apalagi tingkat provinsi, ternyata kursi yang empuk. Buktinya, semuafraksi, terutama wakil Golkar dan ABRI, bersaing untuk duduk sebagai ketua. Di Aceh, misalnya, dari 10 kabupaten dan kota madya, baru 5 daerah yangmerampungkan pemilihan ketua DPRD -- 2 dimenangkan Golkar dan 3 diduduki ABRI. Salah satu pemilihan ketua DPRD yang alot di Aceh adalah di Kabupaten Aceh Utara. Yang bersaing adalah Zulkifli Hanafiah (Golkar) dan Kolonel IdrusABRI). Keduanya tak ada yang mau mundur dari pencalonan. Golkar, yang baru kali ini memenangkan pemilu dengan perolehan 20 kursi (PPP memperoleh 13 kursi, PDI meraih 3 kursi, dan jatah ABRI sebanyak 9 kursi), menghendakiZulkifli, Ketua Golkar Aceh Utara, sebagai ketua DPRD. Sementara itu, Fraksi ABRI tetap bersikukuh menjagokan Idrus, bekas ketua dewan periode lalu. Akibatnya, Kamis dua pekan lalu, Gubernur Ibrahim Hasan "terpaksa" mengangkat kembali Bupati Ramli Ridwan sebagai kepala daerah sementara Kabupaten Aceh Utara. Padahal, masa jabatan Ramli seharusnya berakhir Agustuskemarin. Pelantikan Bupati (sementara) Ramli di gedung DPRD Aceh Utara dipimpin oleh Abdurrahman Puteh (Golkar) dan T. Arief Fadillah (PDI) selaku pimpinan sementara. Masa jabatan baru Ramli, kata Gubernur Ibrahim, akanberakhir begitu bupati baru terpilih. Tidak jelas sampai kapan, karena pemilihan bupati baru bisa dilaksanakan setelah ketua DPRD terpilih. Kursi ketua DPRD yang lowong itu, menurut Bupati Ramli, sebagai peraih kursi terbanyak sebaiknya memang diberikan kepada calon Golkar. "Ini sesuai denganinstruksi Menteri Dalam Negeri," kata pembina Golkar Aceh Utara itu. Sementara itu, menurut Kolonel Idrus, misi ABRI yang diembannya adalah untuk mengayomi dan menetralisir keadaan di Aceh Utara. Idrus, bekas kepala seksi intel Korem Liliwangsa, bertekad merampungkan pemilihan pimpinan dewan pekan ini. "Sekalipun harus menempuh jalan voting," katanya. Gubernur Ibrahim tampak keberatan bila pemungutan suara sampai dilakukan. "ABRI dan Golkar keluarga besar. Jadi harus kompak, tidak boleh ada voting," ujarnya. Instruksi inilah kabarnya yang membuat pemilihan ketua DPRD pada lima kabupaten dan kota madya (Aceh Utara, Kodya Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Tengah, Pidie) berlarutlarut. Mereka yang bersaing memperebutkan kursi ketua DPRD adalah Letkol Yusuf Ali (Golkar) dan Kolonel Syahbuddin (ABRI) di Banda Aceh, Teuku Raja Itam Azwar (Golkar) dan Letkol Wibowo (ABRI) di Aceh Besar,Letkol (Purn) Kadim A.R. (Golkar) dan Letkol Ahmad Hanafiah (ABRI) di Aceh Tengah, serta H.M. Yoesoef Daoed (Golkar) dan Letkol Said Hasan Yunus (ABRI) di Pidie. Perebutan kursi ketua DPRD yang cukup seru itu karena masing-masing bersikukuh dengan pendirian mereka, menurut Ibrahim, pertanda demokrasi berjalan baik."Biasanya kan diatur dari atas. Sekarang dipersilakan mengatur diri sendiri. Karena nggak biasa, jadi wajar saja kalau ada sedikit tarik ulur," katanya. Ibrahim menambahkan, soal keterlambatan pemilihan lima ketua DPRD itu sama sekali tak ada niat untuk mengadu kekuatan antara gubernur dan pangdam. "Kita bukan mau membangun empire building, tapi institutional building," katanya. Di beberapa daerah lain di Pulau Jawa, seperti di Kabupaten Pekalongan, Kabupaten dan Kota Madya Pasuruan, Golkar dan ABRI berjalan sesuai dengan konsensus: bila mayoritas kursi dewan dimenangkan oleh PPP atau PDI, kursi ketua dipercayakan kepada wakil Fraksi ABRI. Kebetulan pada tiga daerah tingkat dua itu, dominasi kursi berada di tangan wakilwakil PPP, sehinggakursi pimpinan dewan dipercayakan kepada wakil ABRI. "Kami tahu diri lah," kata Hamzah Sodiq, Ketua PPP Pekalongan kepada TEMPO. Lain lagi cerita di DPRD Kota Madya Ambon. Sekalipun anggota sidang memilih H.A.W. Rahawaris (Golkar) sebagai ketua dewan, kabarnya pimpinan Golkar tak menghendaki ketua terpilih dilantik. Santer terdengar di sana bahwa beberapa anggota Golkar minta agar pemilihan ketua DPRD Kota Madya Ambon diulang. Bila pemilihan Rahawaris sampai diulang, ini berarti mengulang peristiwa yangterjadi di Solo. Di Kota Madya Solo, pemilihan pimpinan DPRD terpaksa diulang karena ketua terpilih, Samsono, mengundurkan diri. Dalam pemilihan sebelumnya, Samsono berhasil menggulingkan koleganya sesama anggota Golkar, Marno, yang dijagokan organisasi Beringin itu sebagai ketua, melalui pemungutan suara. Namun, ketika berita kemenangan itu disampaikan kepada Gubernur Ismail, pembina Golkar Jawa Tengah ini marah dan mengancam tidak akan melantik ketua terpilih. Samsono rupanya cukup tahu diri, lalu mundur, dan pemilihan ketua DPRD Kota Madya Solo diulang. Jumat pagi pekan lalu, sekalipun ada 19 mahasiswa yang menamakan diri Komite Mahasiswa Penyelamat Konstitusi (Kompak) menyampaikan pernyataan agar lembaga legislatif bebas campur tangan eksekutif, sidang pemilihan ketua (baru) DPRD Kota Madya Solo cuma butuh waktu sekitar 30 menit. Anggota dewan sepakat memilih Marno. Agaknya, kasus pengulangan semacam ini yang dikhawatirkan Gubernur Ibrahim, bila pemilihan ketua dewan melalui pemungutan suara diterapkan pada limakabupaten dan kota madya di Aceh, yang belum punya ketua DPRD baru. Kastoyo Ramelan, Munawar Chalil, A.B.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini