ANJING menggonggong, dewan jalan terus. Meski mendapat kritikan bertubi-tubi, Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum, yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden tanggal 8 Desember lalu, tetap melenggang. Kamis pekan lalu, selama tiga jam Presiden Habibie, yang mengetuai dewan ini, memimpin rapat pertama di Bina Graha, yang dihadiri hanya oleh 28 anggotanya karena Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Agung Laksono dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib tak hadir. Tak terlihat juga wakil dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Dua institusi kemasyarakatan tersebut memang menolak tawaran Habibie untuk masuk menjadi anggota dalam dewan yang tugas utamanya seperti crisis center itu. Sidang pleno Komnas HAM dua pekan lalu memutuskan bahwa ketua lembaga itu akan lebih mengkhususkan diri pada masalah yang menyangkut HAM. Sedangkan KWI menekankan bahwa hukum Gereja Katolik melarang rohaniwannya menerima jabatan publik yang membawa partisipasi dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara.
Alasan kedua lembaga itu dapat dimengerti karena mereka tampaknya tak mau ikut campur dalam masalah politis. Pembentukan dewan ini memang sarat dengan muatan politis. Habibie, yang menganggap pemerintah perlu menegakkan sistem hukum nasional sesuai dengan aspirasi masyarakat, secara mendadak membuat dewan yang beranggotakan 22 menteri dan anggota lain. Sebagai bukti bahwa lembaga ini tak sama dengan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang punya garis komando sampai ke daerah itu, ia juga mengajak bergabung Ketua Komnas HAM dan pimpinan majelis-majelis agama. Maksudnya agar segala masalah yang berkembang di masyarakat bisa segera dibicarakan dan dicari jalan keluarnya.
Ajakan ini diterima oleh beberapa ketua majelis agama. "Ide dewan ini sesuai dengan ajaran Guru Wisese yang menghormati pemerintah yang sah," kata Letjen Putu S. Swarante, Ketua Harian Parisada Hindu. Ketua Umum Persatuan Gereja-Gereja Indonesia, Pendeta Sularso Sopater, serta Ketua Majelis Ulama Indonesia, K.H. Ali Yafie, tak menganggap masuknya mereka dalam dewan itu sebagai langkah politik, tapi mereka ingin memberikan sumbangan moral. Jadi, "Ya, kita jalan terus," kata Menteri-Sekretaris Negara Akbar Tandjung. Dua lembaga itu dilupakan dan bahkan seorang anggota baru dimasukkan, yaitu Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Para anggota inilah yang dengan tekun mengikuti rapat. Menurut sekretaris dewan ini, Jimly Asshidiqie, acara itu diisi oleh penjelasan Habibie tentang perlunya dibentuk dewan tersebut. Selain diterangkan masalah-masalah strategis yang dihadapi, di sana juga dibicarakan mekanisme kerja, seperti, "Sistem hukum kita bangun tidak dalam rangka menghadapi demo, juga bukan untuk pemilu, tapi bagian dari reformasi," ujar Jimly menirukan Habibie.
Namun, seperti dapat diduga, segala prolog yang seperti jual kecap itu ternyata hanya untuk menutup tujuan sebenarnya pembentukan dewan ini. Habibie memulainya dari meningkatnya angka kriminalitas. Upaya mengatasinya dapat dilakukan dengan meningkatkan peran aparat keamanan. Sayangnya, aparat punya kelemahan dalam hal jumlah, kualitas, sarana, dan prasarana. Dengan kekurangan sebanyak itu, mereka mesti berhadapan dengan masyarakat yang tidak tahu aturan.
Jadi, ini dia, Ratihlah yang bisa dijadikan dewi penyelamat dalam kondisi seperti ini. Ratih yang dimaksud adalah Rakyat Terlatih. Menurut Jimly, saat ini hal itu bisa dilakukan dengan meningkatkan fungsi kamra (keamanan rakyat). "Ini justru diperlukan untuk memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat karena kriminalitas meningkat," kata pengurus teras Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia itu.
Gagasan pembentukan Ratih yang terungkap dua pekan lalu ini sempat menimbulkan perdebatan. Waktu itu, Panglima ABRI Jenderal Wiranto menjelaskan bahwa akan ada 70 ribu anggota Ratih yang akan direkrut untuk membantu polisi. Tak seperti Habibie atau Jimly yang berusaha menutupi alasan pembentukan Ratih tersebut, Wiranto dengan gamblang mengatakan bahwa Ratih dibentuk untuk mengamankan pemilu. Dana dari APBN pun sudah dianggarkan sebesar Rp 240 miliar. Rencana ini mengkhawatirkan karena Panglima ABRI jugalah yang "merestui" adanya Pam Swakarsa dalam SI MPR lalu, yang banyak menimbulkan keributan.
Anehnya, semua anggota rapat yang hadir manggut-manggut saja mendengar penjelasan Habibie. "Mereka bilang bagus sekali," ujar Jimly. Kalau sudah begini, apa para ketua majelis agama bukan sedang menjalankan langkah politik?
DPW, Purwani D.P., Ardi Bramantyo, Hani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini