Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik
Polisi

Berita Tempo Plus

'Overhaul' untuk Polisi

Agar bisa mandiri dan pisah dari ABRI, polisi perlu tambahan 70 ribu personel, yang akan dididik sebelum pemilu.

28 Desember 1998 | 00.00 WIB

'Overhaul' untuk Polisi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
JANJI Panglima ABRI Wiranto itu bukan angin surga. Langkah awal pemisahan polisi dari ABRI per 1 April 1999 seperti yang diucapkan Wiranto pada hari ABRI, 5 Oktober lalu, kini sudah mulai dilaksanakan. Sebuah Surat Keputusan tentang Reformasi Polri ke dalam jajaran Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) sudah dikeluarkannya pada 14 Desember lalu. Bersamaan dengan keputusan itu, sebuah kelompok kerja (pokja) beranggotakan 29 perwira yang bertugas mempersiapkan penyapihan tersebut pun dibentuk. "Pokja bertugas menyiapkan anggaran kebutuhan Polri setelah lepas dari Mabes ABRI," kata Letnan Jenderal Soeyono, Sekretaris Jenderal Dephankam, yang menjadi penanggung jawab pokja. Yang berlaku saat ini, kata Soeyono, anggaran Polri harus lewat Dephankam dan Mabes ABRI sebelum sampai ke polisi. Namun, mulai April nanti, anggaran dari Dephankam itu langsung ke Polri. Fungsi Dephankam sebagai "ibu asuh" bagi polisi ini rupanya hanya sementara karena cuma berlangsung sejak 1 April sampai 31 Desember l999. Setelah itu, posisi Polri akan dikembangkan menjadi lembaga otonom yang langsung di bawah presiden. Pemisahan Kepolisian RI dari ABRI ini menyangkut banyak perubahan.Yang paling mendasar adalah dikembalikannya fungsi Polri sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat. Selama ini, tugas Polri tumpang tindih dengan tugas keamanan dalam negeri, yang mestinya menjadi tugas ABRI. "Akibatnya, ada kecenderungan penanganan kasus-kasus kriminal ditafsirkan sebagai tugas ABRI," ujar Kapolri Letjen Roesmanhadi. Tak jelasnya fungsi ini, kata Roesmanhadi, ya karena struktur Polri di bawah ABRI itu. Dan ini juga berpengaruh pada sistem pembinaan personel Polri, yang cenderung dipengaruhi sistem angkatan perang. Misalnya, dukungan material, fasilitas, dan alat utama Polri cenderung mengarah pada kebutuhan ABRI. "Ini jelas tak menguntungkan Polri," tutur Kapolri. Keluhan Roesmanhadi ini juga pernah dilontarkan oleh mantan Kapolri Letjen (Purn.) Awaloedin Djamin. Katanya, selama 30 tahun ini Polri kesulitan mendapatkan kerja sama teknik dengan luar negeri karena fungsinya yang tumpang tindih itu. Struktur Polri di bawah ABRI ini juga dinilai menghambat polisi untuk mengungkapkan kasus-kasus besar yang menjadi perhatian khalayak. Menurut Trimoelja D. Soerjadi, polisi sering tidak bisa mengungkap perkara besar seperti kasus Marsinah atau Udin karena lembaga ini sering diintervensi. Akibatnya, dalam kasus yang melibatkan ABRI, polisi kerap tak berdaya. "Satu-satunya jalan agar polisi mandiri, ya, harus lepas dari ABRI," ujar pengacara yang kini beperkara dengan Panglima Daerah Militer V Brawijaya itu. Namun, pembentukan polisi yang mandiri itu tak bisa dicapai dengan waktu singkat. Untuk bisa mandiri, selain menyiapkan perangkat hukumnya?seperti mengubah UU No. 20/l982 tentang Pertahanan Keamanan Negara?menurut Soeyono, Polri juga harus mempersiapkan personelnya. "Kalau Polri pisah dengan ABRI, dibutuhkan penambahan 70 ribu polisi," ujarnya. Dengan jumlah polisi cuma 200 ribu saat ini, rasionya dengan jumlah penduduk mencapai 1:1.000. Padahal, pada masyarakat yang sudah maju seperti di Amerika Serikat, rasionya 1:350, sebuah kondisi ideal yang sulit dicapai di Indonesia. Untuk mengejar kekurangan ini, sebelum Pemilu l999, Polri akan mendidik 40 ribu personel, sedangkan 30 ribu sisanya akan dipenuhi setelah pemilu. Hanya saja, bicara soal kemandirian jelas tak hanya bergantung pada angka. Bahkan, menurut Satjipto Rahardjo, pengamat kepolisian, untuk membuat polisi mandiri, tugas pertama yang harus dikerjakan adalah menghilangkan garis komando Panglima ABRI. Artinya, sejak Polri masuk jajaran Dephankam, garis komandonya ya harus dipegang Kapolri. Dan hal lain yang tak kalah penting adalah pembenahan di tubuh Polri. "Tapi ini butuh waktu lama," ujar guru besar sosiologi hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini. Soalnya, selama ini kondisi Polri sudah terlalu lama rusak. Kalau diumpamakan pesawat terbang, ujarnya, Polri itu sudah seperti pesawat rusak yang perlu di-overhaul. Perbaikan kecil-kecilan sudah tak ampuh lagi. ZA, Arief A.K., dan I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus