MAKSUD hati ingin berdamai, apa daya kekerasanlah yang didapat. Ini dialami oleh utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk urusan Timor Timur, Jamsheed Marker. Untuk kunjungan yang ketiga kali ke Indonesia, Ahad pekan lalu, diplomat asal Pakistan itu mengalami kejadian tak menyenangkan. Ia harus "berjuang" meninggalkan Dili: terlonjak-lonjak dalam kendaraan yang mesti melalui jalan setapak dan berbatu-batu, melewati Sungai Comoro yang dalamnya semeter, melintasi perkampungan kumuh, dan berlari-lari menuju helikopter sampai pria yang rambutnya sudah memutih ini nyaris jatuh di tangga.
Semua upaya ini dilakukan oleh aparat keamanan agar Marker terhindar dari penyanderaan 50 ribu massa yang sudah mengepungnya di Bandar Udara Comoro, Dili. Sejak kedatangannya ke Dili sehari sebelumnya, diplomat itu memang harus main kucing-kucingan agar tak ketanggor massa yang sudah sepekan menduduki Kantor DPRD I Tim-Tim itu. Ia terpaksa bertemu dengan pemimpin spiritual Uskup Belo dan Uskup Basilio do Nascimento di rumah dinas Pangdam. Di sana juga ia menemui tiga pemimpin Fretilin, David Dias Ximenes, Mauhudu, dan Mauhunu. Dalam pertemuan tersebut, tokoh-tokoh itu membicarakan upaya damai untuk menyelesaikan masalah Tim-Tim.
Ironisnya, tindakan kekerasanlah yang diterima utusan PBB yang sempat bertemu dengan Xanana Gusmao dalam kunjungannya selama sembilan hari di Indonesia ini. Massa yang berteriak-teriak menghujatnya itu merasa kesal karena menganggap Marker tak menggubris permintaan mereka agar mengadakan referendum dan membebaskan Xanana. Apa itu berarti upaya mendamaikan Tim-Tim sia-sia? "Tidak juga. Ada beberapa hasil, seperti membaiknya hubungan Indonesia dan Portugal. Kita harus sabar. Tak mungkin ini dilakukan dalam semalam," ujar Marker, yang menolak berkomentar tentang kejadian percobaan penyanderaannya di Dili itu.
Marker mungkin benar. Penyelesaian sengketa tanah yang diklaim dua negara bukanlah perkara mudah, tapi kasus Tim-Tim ini sudah 23 tahun berlarut-larut. Setidaknya, sejak 1992, sudah terjadi delapan kali dialog segitiga antara menteri luar negeri Indonesia dan Portugal di bawah Sekjen PBB. Namun, pertemuan antara tiga tokoh sibuk itu ternyata tak efektif. Maka, pada 1997 disepakati dialog akan diadakan di tingkat pejabat tinggi. Sementara itu, para tokoh Tim-Tim, baik di dalam maupun di luar negeri, berkumpul setiap tahun dalam acara All Inclusive East Timorese Dialogue di Austria, yang diikuti oleh serangkaian kunjungan pulang kampung dari orang Tim-Tim yang bermukim di luar negeri.
Walau segala perdamaian sudah diupayakan, setiap saat bumi Loro Sae tetap dibasahi darah warga?sebagian besar sipil?yang menjadi korban aksi kekerasan bersenjata. Berdasarkan catatan Yayasan Hak Asasi dan Keadilan, selama Januari sampai Desember tahun ini ada 711 korban akibat pelanggaran HAM di Tim-Tim. Mereka menuding aparat keamanan?seperti komando resor militer (korem), komando distrik militer (kodim), dan polisi?serta anak "asuh"-nya seperti Gadapaksi berada di belakang aksi tersebut.
Namun, pihak aparat menuduh Falintil (Gerakan Perlawanan Pembebasan Tim-Tim)-lah yang memicu tindak kekerasan itu. Adanya pembunuhan petugas disertai perampasan senjata membuat Komandan Korem Wira Dharma Kolonel Tono Suratman, 5 Desember lalu, mengeluarkan perintah untuk mempersenjatai wanra (perlawanan rakyat).
Aksi-aksi semacam inilah yang membuat situasi di Tim-Tim tak pernah tenang dan terus menjadi bahan perbincangan. Pihak oposisi di Australia, misalnya, terus-menerus menekan agar jumlah pasukan ABRI di Tim-Tim dikurangi. Pemerintah federal bahkan membuat komite penyidikan resmi kasus-kasus Tim-Tim. Untuk itu, sejak 12 Desember, komite ini memasang iklan di media-media massa untuk mengundang masukan dari masyarakat.
Memang, sampai saat ini belum banyak warga yang memberikan masukan, tapi diperkirakan input akan membanjir pada saat tenggat, 29 Maret mendatang. Salah satu yang sudah mempersiapkan diri adalah Pusat HAM Tim-Tim di Melbourne. Menurut ketuanya, Maria Brett, mereka sudah mengumpulkan banyak konfirmasi tentang pelanggaran yang terjadi di Tim-Tim selama ini.
Lain lagi masukan yang akan diberikan oleh Pusat Pendukung Mancanegara untuk Tim-Tim. "Kami menekankan solusi damai atas sengketa Tim-Tim dan melibatkan badan-badan mancanegara seperti PBB," kata Sony Imbaraj, penasihat medianya. Sebuah usulan yang harus mereka pertimbangkan kalau mendengar apa yang terjadi pada diplomat PBB Jamsheed Marker di atas.
DPW, Andari Karina, Cyriakus Kiik (Dili), dan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini