Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam debat capres ketiga, ketiga calon presiden memiliki pandangan berbeda terkait konflik di Laut Cina Selatan. Anies Baswedan menekankan pentingnya penyelesaian melalui kepemimpinan Indonesia di ASEAN, menyuarakan perlunya kesepakatan di tingkat regional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sementara itu, Prabowo Subianto memfokuskan pada penguatan pertahanan Indonesia dan penggunaan platform untuk patroli. Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut 3, menilai penyelesaian melalui ASEAN rumit dan tidak efektif, mengusulkan kesepakatan langsung dengan negara-negara terkait untuk mencegah eskalasi konflik di Laut Natuna Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namun sebenarnya di manakah Laut Cina Selatan? Berikut adalah penjelasannya, dan alasan mengapa berubah nama menjadi Laut Natuna Utara.
Pergantian Nama Menjadi Laut Natuna Utara
Laut Cina Selatan telah menjadi sumber perseteruan antara Cina dan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Konflik ini juga melibatkan manuver Cina yang memasuki wilayah Laut Natuna Utara dengan Coast Guard-nya. Pergantian nama dan penolakan terhadap klaim sepihak menjadi bagian dari upaya Indonesia untuk menjaga kedaulatan dan keamanan di wilayah tersebut.
Pada 2017, Pemerintah Indonesia melakukan pergantian nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara sebagai bentuk peringatan halus terhadap klaim Cina terhadap wilayah tersebut.
Sidang pergantian nama ini disaksikan oleh sejumlah pejabat, termasuk mantan Wakil Presiden Boediono dan Try Sutrisno. Tindakan ini juga merupakan penegasan bahwa Indonesia tidak mengakui klaim Cina terhadap Sembilan garis putus-putus atau Nine Dash-Line.
Pergantian nama tersebut mendapat protes dari Cina, namun Indonesia menegaskan bahwa ini adalah hak negara dan sesuai dengan standar internasional. Selain itu, hal ini juga dilatarbelakangi oleh upaya untuk mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan memperjelas batas laut.
Menurut Indonesia.go.id, Indonesia mengadopsi penamaan Laut Natuna Utara sebagai respons terhadap hasil temuan fakta dari Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag-Belanda pada tahun 2016. Temuan tersebut berkaitan dengan konflik Laut China Selatan antara Filipina dan Tiongkok.
Keputusan Pengadilan Arbitrase menyimpulkan bahwa klaim sepihak Tiongkok yang didasarkan pada konsep nine-dashed line tidak memiliki dasar hukum atau historis. Sebagai tanggapan, Indonesia melakukan upaya penamaan untuk menegaskan posisinya dan menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap klaim sepihak tersebut.
Di samping itu, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Susi Pudjiastuti juga memainkan peran penting terkait Laut Natuna Utara. Ia bersikeras bahwa pergantian nama tersebut menjadi Laut Natuna Utara adalah hak kedaulatan Indonesia, sebagai respons terhadap klaim Cina terhadap Laut Cina Selatan.
Di bawah kepemimpinan Susi, Laut Natuna Utara menjadi sorotan karena menjadi sasaran pencurian ikan oleh kapal asing. Susi Pudjiastuti meluncurkan kebijakan tegas, dengan moto "Tenggelamkan!" untuk mengatasi kapal ikan asing ilegal.
Selain itu, Pudjiastuti bersama pemerintah Indonesia secara konsisten menolak klaim sepihak Cina terhadap Laut Natuna Utara, yang merujuk pada Sembilan Garis Putus-putus. Menteri Luar Negeri saat itu, Retno Marsudi menegaskan bahwa klaim Cina tidak berdasarkan UNCLOS 1982, dan Indonesia menolak garis klaim sepihak tersebut.
Pergantian nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara juga diarahkan untuk mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan menjelaskan batas laut secara hukum. Meskipun demikian, perubahan nama tersebut belum disahkan oleh International Hydrographic Organization (IHO), menciptakan dinamika lebih lanjut dalam ketegangan di kawasan tersebut.
Kabar Terbaru Laut Natuna
Pada Januari 2020, Presiden Jokowi kembali mengunjungi Laut Natuna Utara sebagai respons terhadap masuknya kapal pencari ikan dan coast guard Cina di kawasan tersebut. Pemerintah Indonesia mengambil sikap tegas melalui diplomasi damai dan operasi penjagaan intensif oleh TNI di Laut Natuna.
Sengketa di Laut Cina Selatan telah menjadi fokus ASEAN, yang telah mengambil inisiatif melalui Declaration of Conduct (DoC) dan Code of Conduct (CoC). Upaya diplomasi ini melibatkan negara-negara anggota ASEAN dan Cina untuk mencapai penyelesaian yang damai.
PUTRI SAFIRA PITALOKA | EIBEN HEIZIER | GERIN RIO PRANATA
Pilihan Editor: Sejak Kapan Laut Cina Selatan Ganti Nama Laut Natuna Utara?