Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ledakan nuklir gaya yogya

Ketua bpkp mengungkapkan ada korupsi di pusat penelitian nuklir yogyakarta (ppny). pelaku utamanya haryono dengan berkedok "fonds dinas". dirjen batan djali ahimsa membantah. hanya hasutan & isu politis.

23 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH "ledakan" cukup hebat mengguncang Pusat Penelitian Nuklir Yogyakarta (PPNY). Yang menyulutnya adalah Ketua BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) Gandhi. Dalam acara dengar pendapat dengan anggota Komisi II DPR-RI. Kamis pekan silam. Gandhi mengungkapkan adanya praktek penggelapan uang Kas Negara di PPNY, yang milik Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), itu dengan berkedok "fonds dinas" (dana untuk kepentingan dinas). Caranya, atas restu pemimpin PPNY dan Batan Pusat, lebih dari Rp 800 juta sempat dicairkan dari Kas Negara untuk membayar honor peneliti dan pembantu peneliti yang jumlahnya mencapai 3.568 orang sejak 1979-1987. Ternyata, kata Gandhi hanya 348 orang yang memenuhi persyaratan yang sesuai dengan SK Menpan No. 1/1983 Pasal 5 ayat 1. Juga ada komisi dari rekanan yang jumlahnya lebih dari Rp 36 juta. "Padahal, komisi itu harus disetor ke Kas Negara," kata Gandhi. Praktek-praktek haram lainnya adalah pemalsuan bukti transfer dan penggelapan uang hak rekanan. Ini belum lagi termasuk dosa lainnya yang dilakukan oleh para pejabat di PPNY dengan berkedok "fonds dinas". Seperti membuat anggaran untuk proyek rutin dengan mencairkan Kas Negara dengan bukti-bukti fiktif. Kalau dihitung-hitung, menurut taksiran Gandhi, total uang negara yang dibelokkan dengan berdalih "fonds dinas" itu jumlahnya mencapai Rp 1,3 milyar. Kasus korupsi ini sebenarnya sudah pernah diusut oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Yogyakarta pada 1987 yang silam. "Kelompok Enam" adalah yang mula pertama melaporkan adanya penggelapan duit di PPNY. Laporan itu antara lain mengungkit ketidakberesan pembangunan gedung, pembelian peralatan laboratorium, dan uang TBN (Tunjangan Bahaya Nuklir). "Kelompok Enam" itu adalah staf PPNY sendiri: Sumihar Hutapea, Djoko Suroso, Bambang Setyadji, Buntarto Hardjo Pradoto, Djoko Widodo, dan Hery Noorharyanto. Biang keladi ketidakberesan itu, menurut mereka, adalah Haryono Arumbinang bekas Kepala PPNY, yang berhenti dari jabatannya pada 12 April 199O silam. Hebatnya lagi, yang dilakukan oleh Haryono, "Tidak cuma manipulasi materi, tetapi juga manipulasi ilmiah," Bambang Setyadji menuding. Kata Bambang, Haryono pernah mengaku instansi yang dipimpinnya sudah mampu membuat sinar laser untuk keperluan missile guiding yang sempat dipesan oleh Hankam pada 1982. Ternyata, menurut Buntarto Hardjo Pradoto, itu cuma isapan jempol Haryono. "Kebohongan itu akhirnya terungkap juga di depan sidang Dewan Pertahanan Keamanan Nasional," kata Buntarto, yang juga anggota Dewan Pertahanan Keamanan Nasional. Menurut "Kelompok Enam" itu, ulah Haryono ini sudah dimulai sejak 1978, ketika dia mulai diangkat sebagai pemimpin PPN Yogyakarta. Dengan kedudukannya itu, kata Sumihar Hutapea, Haryono kemudian membentuk "fonds dinas", yang semula dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan. Ternyata, "fonds dinas" ini dituding lebih membuat sejahtera kantung Haryono sendiri. Akibat aksinya itu, "Kelompok Enam" sempat dilarang oleh Dirjen Batan memasuki kompleks PPNY. Namun, gaji mereka tetap dibayarkan dan bisa diambil di gardu depan kantor. Belakangan, Januari 199O, Sumihar dkk. diberhentikan dengan hormat berdasarkan PP 32 yang dikeluarkan oleh BAKN. Namun, Sumihar dkk. dengan gigih terus berusaha menggelindingkan tuduhan mereka dengan, antara lain, melaporkannya langsung ke DPR RI. Isnain Mahmud, anggota DPR-RI dari Fraksi ABRI, dalam acara dengar pendapat itu mempertanyakan mengapa kasus korupsi di PPNY itu sempat tak terungkap. Padahal, kejadiannya telah berlangsung sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. "Saya menyesalkan kok ada ahli nuklir yang melaporkan kasus korupsi malah dipecat," ujarnya. Apa kata Dirjen Batan Djali Ahimsa? Ia heran mengapa soal ini kembali ramai dibicarakan. "Itu kan cerita lama," katanya. Hasil-hasil penelitian BPKP itu, menurut dia, memang sudah pernah dilimpahkan ke Kejati di Yogyakarta. Hasilnya, tak dijumpai adanya keganjilan di lembaga itu. "Ini isu politis. Silakan periksa apa betul ada korupsi," katanya, gusar. Kalau toh ada penyimpangan, itu disebabkan karena administrasi keuangan BPKP yang masih berpegang pada undang-undang zaman kuno. "Saya anjurkan peraturan itu diganti. Masa aturan yang dipakai masih juga aturan semasa kuda mengisap cangklong," kata Djali. Dia juga keberatan soal tuduhan adanya peneliti yang tak memenuhi syarat di Batan. "Yang menentukan layak atau tidaknya seseorang menjadi peneliti di Batan itu bukanlah Pak Gandhi. Tapi Batan sendiri," ia menegaskan. Bekas Kepala PPNY Haryono Arumbinang juga mengaku sudah pernah diperiksa selama setahun penuh pada 1987. "Saya diperiksa hampir setiap hari oleh BPKP dan Kejaksaan Tinggi Yogya. Nyatanya, yang keluar adalah SP3S," katanya. SP3S itu adalah Surat Perintah Pemberhentian Penyelidikan Sementara yang dikeluarkan oleh Kejati Yogyakarta. Haryono juga membantah tuduhan yang ditimpakan kepadanya -- termasuk soal mengangkat tenaga peneliti dan pembantu peneliti sebanyak 3.586 orang selama 1979-1987. "Apa masuk akal kalau saya mengangkat orang sebanyak itu?" katanya. Padahal, ujar pria yang pernah belajar di Moskow itu, pegawai di PPNY tak lebih dari 600 orang. Lagi pula, menurut Haryono, tak gampang menjadi peneliti karena semua penilaian termasuk karya ilmiah harus dilaporkan ke Batan Pusat. "Apa saya bisa mengarang sekian banyak karya ilmiah?" ujarnya. "Kalau saya benar-benar korupsi sekian milyar, masa mobil saya cuma dua dan tak punya rumah pribadi," kata Haryono. Tapi Gandhi punya tekad: "Langkah BPKP selanjutnya akan menuntaskan pemeriksaan kasus manipulasi di Batan Yogyakarta," katanya. Ahmed K. Soeriawidjaja, Diah Purnomowati, Sri Indrayati (Jakarta) R. Fadjri (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus