Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tergantung pak harto

Pengumpulan tanda tangan kebulatan tekad terus berlangsung di ja-tim. disponsori para ulama. ada yang tak setuju, seperti abdurrahman wahid. menurut harsu diono hartas bisa mengganggu stabilitas nasional.

23 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGUMPULAN tanda tangan di Jawa Timur masih terus. "Sampai hari ini, yang tanda tangan sudah 500-an orang. Target kami sekitar 2.000 akan terkumpul sampai menjelang Idul Adha," kata Saleh Aljufri, 50 tahun, tokoh kebulatan tekad di Jawa Timur, Senin pekan ini. Menjelang Idul Adha, gerakan itu akan dihentikan. Tapi ke mana ribuan tanda tangan itu akan dikirim? "Itu tergantung nanti saja," kata Aljufri, Ketua Majelis Dakwah Islamiah Jawa Timur. Bola ini tampaknya mulai bergulir. Saat cari tanda tangan mulai, pertengahan Mei lalu, sponsornya seperti K.H. Muhammad dan Aljufri menargetkan surat dukungan terhadap Soeharto cukup ditandatangani 120 ulama Jawa Timur. Pendukungnya tak berhenti pada para ulama terkemuka di Surabaya, seperti para kiai Misbach, Ketua MUI Jawa Timur, Nawawi Muhammad, imam Masjid Agung Ampel, Tolchah, pimpinan Pesantren Dresno, atau Bey Arifin, mubalig terkemuka itu. Ulama dari kota lain di Jawa Timur sudah ikut tanda tangan. Misalnya, Kiai Busyiri, Ketua MUI Mojokerto, Irfai, pimpinan Jamiah Tarekat Darul Ulum Jombang, dan Abdurrachman, Ketua MUI Blitar. Pangdam V Brawijaya Mayor Jenderal Hartono, seperti ditulis Surabaya Post Senin pekan lalu, menilai kebulatan tekad itu murni. Dan sejauh ini, Panglima tak melihat bahwa stabilitas politik di daerah kekuasaannya jadi terganggu. Menurut Alamsjah Ratu Perwiranegara penggerak kebulatan tekad tersebut, surat pengumpulan tanda tangan itu mereka buat setelah menyimak pernyataan Presiden Soeharto tentang "gebuk" itu dalam penerbangan kembali dari Moskow ke Jakarta. "Pak Harto orang yang pendiam, sabar dan tak pernah berkata keras, mengeluarkan pernyataan seperti itu, berarti ada apa-apanya. Ada sesuatu yang benar-benar gawat," kata Alamsjah. Melihat kondisi semacam itu, Alamsjah dan para tokoh Islam sebanyak 21 orang -- yang kemudian disebut Kelompok 21 -- rupa-rupanya merasa perlu untuk mendukung terus Soeharto. Sesungguhnya, tak semua ulama di Jawa Timur sependapat dengan Aljufri dkk. Kiai As'ad Umar, pimpinan Pesantren Darul Ulum Jombang, termasuk orang yang keberatan untuk menandatangani kebulatan tekad itu. "Saya tak mau jadi makmum, tapi ingin jadi imam," kata As'ad kepada wartawan TEMPO Zed Abidien. Artinya, ketika utusan Aljufri mengunjunginya setengah bulan yang lalu, As'ad menegaskan bahwa ia mendukung Soeharto sebagai presiden 1993, tapi dukungan itu akan ia lakukan dengan caranya sendiri. Misalnya, dukungan itu akan ia bikin sendiri pada saat yang ia anggap tepat: menjelang SU MPR 1993. Ketua PB NU K.H. Abdurrahman Wahid menilai kebulatan tekad para ulama bisa menghalangi ijtihad untuk mencari pendapat yang pasti mengenai presiden karena orang telah digiring-giring sampai tak tenang. "Lalu keputusannya diambil dengan waswas. Lha, apa kita mau memilih Pak Harto dengan waswas," kata Cak Dur di depan forum sarasehan AMPI Jawa Timur di Hotel Elmi Surabaya, Sabtu lalu. Dia lalu menegaskan bahwa NU tak akan membuat kebulatan tekad. Ketua PB NU yang gila bola itu merasa khawatir juga kalau saja kebulatan tekad itu -- yang ia sebut sebagai produk budaya latah -- bisa disalahgunakan untuk mencari fasilitas. Atau bisa juga sebagai upaya pemutihan kelompok-kelompok ekstrem. "Saya tak senang masalah lama diterus-teruskan, tapi kita tak boleh memutihkan .... Menjadi pahlawan dengan satu coretan pulpen, yang lain lalu jadi bajingan. Ini kan lucu," kata tokoh NU itu. Tapi Abdurrahman Wahid mengatakan NU tak akan menghalangi orang untuk bikin kebulatan tekad. Kasospol ABRI Letnan Jenderal Harsudiono Hartas berpendapat kebulatan tekad bisa mengganggu stabilitas nasional. Sebab, orang lalu menjadi asyik untuk main kumpul tanda tangan, dan itu bisa mengakibatkan kelompok lain merasa harus bersaing dengan mereka. "Kalau itu sudah tak terkendalikan, bisa saja timbul pertentangan fisik," kata Harsudiono Hartas. Bisa saja kelompok kebulatan tekad itu membenci kelompok lain yang tak membuat kebulatan tekad. "Kalau ada satu kelompok etnis dalam masyarakat tak mendukungnya, bisa diartikan membenci kelompok mereka," katanya. Sekarang, misalnya, menurut Harsudiono Hartas, ada yang mempertanyakan, mengapa ABRI tak mendukung Pak Harto. "Padahal, nggak begitu. Dengan tulus dan sepenuh hati, kami akan mendukung Pak Harto kalau beliau bersedia," katanya. Menurut Harsudiono Hartas, kebulatan tekad itu tak menggunakan tata tertib MPR Nomor 2/1978 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden, dan dilakukan terlalu pagi. Tapi, katanya kemudian, membuat pernyataan seperti itu tak dilarang karena diperbolehkan oleh Pasal 28 UUD 1945. Menjawab pertanyaan wartawan, seusai menghadiri sebuah seminar di Universitas Merdeka Malang, Senin pekan ini, Menhankam L.B. Moerdani mengingatkan bahwa yang berhak mencalonkan presiden adalah fraksi-fraksi di MPR hasil Pemilu 1992. "Saya tak mengatakan kebulatan tekad itu harus dihapuskan, tapi perlu ditinjau kembali," katanya. Bila ternyata memang mayoritas rakyat menganggap kebulatan tekad itu baik, maka para pemimpin akan melaksanakan apa yang dikehendaki rakyat. "Kalau tidak, harus kembali pada cara yang konstitusional," kata L.B. Moerdani. Soal kebulatan tekad Kelompok 21 dan para ulama Jawa Timur itu, Menhankam minta dilakukan pengkajian lebih dalam. "Ulama di Jawa Timur itu berapa ribu, dan yang mendukung itu berapa orang," ujarnya. Alamsjah menegaskan, apa yang dilakukan Kelompok 21 bukanlah kebulatan tekad, melainkan sikap bersama. "Selalu terjadi salah paham," katanya kepada wartawan TEMPO Rustam Mandayun. Kebulatan tekad, menurut Alamsjah, selalu mengandung sesuatu yang dinamis, progresif. "Sedang kesamaan sikap adalah pendapat beberapa orang yang bersikap sama. Tak ada keharusan," katanya. Artinya, bila Soeharto yang mereka calonkan tak bersedia, "soal itu selesai sampai di situ." Aljufri juga menegaskan tak akan meninjau sikap mereka seperti disarankan Menhankam. Lalu dia menanggapi Abdurrahman Wahid soal pemutihan kelompok ekstrem itu. "Siapa yang ekstrem? Alamsjah itu bekas menko kesra, Kiai Hasan Basri dekat dengan Pak Harto, saya sendiri Ketua MDI Jawa Timur, masak dianggap ekstrem? O, Allah, Gus Dur, Petisi 50 tak ada yang teken di situ," ujarnya. Amran Nasution, Agus Basri, Diah Purnomowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus