TAK banyak yang tahu bahwa produksi listrik PLN hanya separuh dari produksi listrik nasional. Pengadaan listrik yang separuhnya lagi dilakukan oleh banyak industri besar, seperti PT Inalum, PT Inco, PT Krakatau Steel, atau Freeport Indonesia. Ini memerlukan investasi besar, tapi toh mereka lakukan. Alasan utama agaknya soal harga. Seperti yang disimpulkan Dr. Yogo Pratomo dalam disertasinya biaya pengadaan listrik per KWH semakin rendah, dengan semakin tingginya kapasitas pembangkit. "Jadi, semakin bersaing dengan harga PLN," kata staf di Dirjen Listrik & Energi Baru ini. Selain itu, juga faktor keandalan. "Listrik di Freeport tak boleh mati karena akan mengganggu produksi," kata Chairul Samsi, Kepala Hubungan Masyarakat Freeport Indonesia Incorporate (FII). PT Inalum bahkan punya dua pusat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas 426 MW. Padahal, kebutuhan pabrik di Kualatanjung, Sum-Ut, itu cuma 380 MW. Maka, kelebihan kapasitasnya dijual kepada PLN. Dan harga jualnya tenyata sangat murah, hanya Rp 20 per KWH "Soalnya, biaya produksi kami memang segitu," kata seorang pejabat Inalum yang tak mau disebut namanya. Maklum, biaya produksi litrik PLTA memang paling murah dibandingkan jenis pembangkit lainya. Hanya saja, PLTA tak dapat dibangun di sembarang tempat, dan inventasi awalnya sangat besar. Karena itu, tak banyak pihak swasta yang tertarik membuatnya. Untuk daerah terpencil yang tak mempunyaai potensi tenaga air, generator diesel menjadi pilihan populer. Inilah yang dilakukan Koperasi Listrik Pedesaan (KLP) Sinar Rinjani di Lombok Timur. Sebelas buah diesel berkemampuan total 3,5 MW menjadi tulang punggung KLP yang mempunyai 9.500 pelanggan ini. Dan tarifnya ternyata lebih rendah dari PLN. Departemen Pertambangan & Energi memang menetapkan tarif KLP Rp 0,50 lebih rendah dari PLN. "Soalnya, harus terjangkaau oleh masyarakat setempat, yang rata-rata berpenghasilan rendah," kata R.A Ridwan, Manajer KLP Sinar Rinjani. Maka, terif instalasinya pun juga lebih rendah. Akibat ketetapan ini bisa diduga. "Dalam perhitungan buku kami masih merugi," kata Ridwan. Namun, bila biaya penyusutan inventasi bernilai 3,6 milyar itu -- juga biaya bunga -- tak dihitung, koperasi bisa mengaku untung. Sebaab, dalam sebulan dapat menghasilkan Rp 36 juta, sementara biaya operasinya cuma Rp 28 juta. Belum jelas benar apakah dua buah KLP lainnya yang ada di Lampung Tengah dan Luwu, Sulawesi, mengalami nasib yang sama. Yang pasti, pihak swasta tentu tak berminat dengan proyek seperti ini. Maklum, mereka cuma cari untung. Padahal, pemerintah, dengan menerbitkan UU No. 15 Tahun 1985, berupaya menarik minat swasta untuk menanam modal di bidang pembangkitan listrik. Hanya saja, UU ini mensyaratkan, listrik yang dihasilkan harus dijual ke masyarakat melalui jaringan PLN, kecuali jika di lokasi tak terdapat jaringan mereka. Ini berarti PLN menentukan harga beli listriknya dari swasta. Dan ternyata harga tersebut dianggap kurang menarik. Terbukti peluang yang ditawarkan UU No. 15/1985 itu kurang beroleh sambutan. Kini kenaikan tarif PLN bukan berarti akan diikuti kenaikan minat swasta. "Saya kira masih sulit bagi mereka untuk bersaing dengan tarif PLN," kata Direktur Utama PLN Ir. Ermansyah Jamin. Dia benar. PLN dapat mengandalkan pinjaman lunak Bank Dunia untuk investasinya. Dan ini memang sulit disaingi oleh swasta.Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini