TAK ubahnya Perumtel, PLN punya trick yang ampuh untuk "menghukum" para penunggak listrik Mudah sekali memang, tinggal diputus kabelnya, maka gelaplah dunia para penunggak itu. Lain halnya PAM. Satu pelanggan membandel, yang lain bisa kena getahnya. Bukankah aliran air tidak mungkin ditetas secara terpisah? Jadi, dalam hal "mendidik" pelanggannya, PLN punya ketebihan ketimbang PAM. Sekalipun begitu, PLN -- yang acap kali dijuluki Perusahaan Lilin Negara itu tidak bisa dikatakan mujur dalam mengejar untung. Bahkan sebaliknya, selama bertahun-tahun PLN defisit, tak lain karena pelanggan nan terhormat menunggak pembayaran rekening mereka. Kenakalan ini dilakukan oleh instansi pemerintah, lembaga pendidikan tinggi, tak terkecuali BUMN. Dan itu sudah jadi rahasia umum. Juga kenyataan ini, bahwa PLN berani marah pada pelanggan kecil, sementara pelanggan gede didiamkan saja. Pada suatu hari, Ong Hwi -- bukan nama sebenarnya -- mengeluh. "Saya benar-benar lupa bayar," ujar pelangan PLN ini, yang terlambat seminggu melunasi rekening listriknya. Penghuni rumah kontrakan di kawasan Tomang, Jakarta Barat itu -- dengan listrik berdaya 900 Watt -- harus menerima hukuman: listriknya diputus. Seperti halnya berbagai pemutusan hubungan, maka kasus pemutusan hubungan sepihak oleh PLN juga sering diadukan ke rubrik "surat pembaca" di beberapa koran berpengaruh. Di Jakarta, terutama. Kalau cuma karena kelalaian orang-orang seperti Ong Hwi, kerugian PLN boleh dibilang tak seberapa. Tapi yang membuat prihatin adalah pelanggan nan terhormat itu tadi, yang oleh PLN tak pernah diadukan ke rubrik "surat pembaca." Seluruh tunggakan rekening PLN yang belum dibayar pelanggan listrik, Januari lalu, kabarnya menumpuk sekitar Rp 85 milyar. Tapi sampai dengan akhir Maret ini, berdasarkan jawaban direksi PLN dalam acara dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI 21 Februari lalu, diperkirakan tak sampai Rp 51 milyar. Bagaimana dalam tempo satu bulan PLN bisa menagih Rp 34 milyar? Ada trick lain barangkali. Toh naik-turunnya tunggakan secara drastis bukanlah hal aneh di PLN. Coba saja, piutang November tercatat baru Rp 47,6 milyar, tapi Januari melonjak Rp 85 milyar. Waduuh! Penunggak terbesar adalah pelanggan Jakarta Raya dan Tangerang: Rp 13,5 milyar. Sementara itu, tunggakan terbesar kedua diderita PLN Wilayah Il Medan, yang pelanggannya masih utang Rp 11,3 milyar -- ini peringkat pertama untuk PLN Luar Jawa. Menurut Soesanto Kramadibrata, Kepala PLN Medan, persentase tunggakan per Januari lalu: untuk rekening umum 162%, rekening dari ABRI 108%, sekening nonABRI 197%, rekening pemda 164%, dan rekening dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara) 28%. "Usaha menagih piutang itu sudah dilakukan dengan cara pemutusan maupun pendekatan," ujar Kramadibrata kepada Sarluhut Napitupulu dari TEMPO. Namun, tak semua berjalan mulus. Kalau aliran listrik diputus, PLN lantas dituding cuma berani pada konsumen yang lemah. Padahal, menurut Kramadibrata, "PLN bertindak sama terhadap semua konsumen." Mungkin ada benarnya. PLN ternyata bisa juga unjuk gigi di depan instansi pemerintah. Stasiun RRI Kendari, yang pernah menunggak rekening listrik sampai Rp 18,3 juta pada awal 1986, diputus alirannya. Tapi sebelumnya PLN sempat 13 kali mengirim surat teguran, yang tak dijawab. Pemutusan listrik serupa pun pernah terjadi, Oktober 1987, di gedung Kanwil Departemen Kehakiman DKI yang di Jalan M.T. Haryono. Persoalannya, "Anggaran yang tersedia tak mencukupi untuk bayar rekening listrik," ujar Soerendro Hendarsin, kepala kanwil waktu itu (lihat TEMPO, 19 Desember 1987). Selain itu, masih di lingkungan departemen ini terjadi juga pemutusan di Kantor Imigrasi Tanjungpriok, di Pengadilan Negeri Manokwari, Irian Jaya, dan di Tangerang, Jawa Barat. Persoalannya mirip dengan kondisi stasiun RRI Kendari, yakni anggaran terbatas. Repotnya, persoalan tunggakan seperti itu selalu terulang, karena ada saja kantor pemerintah yang enggan bayar rekening, "toh listrikhya terus menyala". PLN bisa bangkrut, andai kata tunggakan, yang sebagian besar dilakukan oleh instansi pemerintah, termasuk ABRI, tidak ditertibkan. Belakangan piutang PLN sudah mendingan. Sebab, perkiraan tunggakan pada tahun anggaran 1988-89 yang hampir Rp 51 milyar ternyata cuma 2,8% dari penjualan tenaga listrik di seluruh Indonesia, yang kira-kira mencapai Rp 1,8 trilyun . Atau bila persentase itu dihitung dalam satuan hari (jumlah tunggakan dibagi penjualan, lalu dikalikan dengan 365 hari), jumlah tunggakan konsumen di seluruh Indonesia cuma 14 hari di akhir tahun 1989. Dan jumlah 14 hari ini ternyata sudah jauh lebih rendah ketimbang tunggakan tahun 1974-75, yang kabarnya mencapai 70 hari. Hanya saja, agak sulit membuat rincian yang jelas, siapa saja yang menunggak rekening listrik itu. Namun, menurut sumber TEMPO yang tak mau disebut namanya, tunggakan di awal tahun ini yang bersumber dari instansi resmi (instansi pemerintah, pemda, BUMN dan Badan Usaha Milik Daerah, ABRI) menggumpal sekitar Rp 38 milyar. Sedangkan di luar itu, berupa tunggakan masyarakat (rumah tangga, usaha, maupun industri), yang sekitar Rp 37 milyar. Kasus-kasus tunggakan, syukurlah, tidak didiamkan saja. Dalam acara dengar pendapat antara PLN dan Komisi VI DPR-RI, tercatat 19 kasus yang sudah diselesaikan dari 268 kasus, termasuk penyelewengan, yang ditemukan dalam pengusutan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (Bepeka), Badan Pemeriksa Keuangan Pusat, Inspektorat Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi, dan aparat pengawasan PLN. Dalam kondisi digayuti tunggakan, PLN tergolong BUMN peringkat kedua di lingkungan Departemen Pertambangan dan Energi -- sesudah Pertamina -- yang ditengok penghasilannya. Tapi kalau bicara laba, pada 1987-88, PLN masih dikalahkan PT Timah dan Pertamina. Kabarnya, PLN tergolong BUMN yang tidak sehat.Suhardjo Hs., Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini