Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tarif baru untuk utang baru

Tarif listrik mengalami kenaikan 25%. jika pendapatan bertambah, PLN tak lagi bergantung pada pendanaan luar negeri. untuk meningkatkan kemampuan investasi PLN dan mengejar kepercayaan kreditor.

8 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"MASA sih, PLN rugi?" Itulah salah satu komentar konsumen yang paling hangat tentang BUMN yang satu ini. Sebuah pertanyaan yang logis, memang. Sebab, kerugian seperti itu rasanya mustahil terjadi pada BUMN yang punya pasar monopoli. Apalagi baru tahun kemarin PLN mengumumkan, perusahaannya berhasil meraih laba Rp 5 milyar. Mana yang benar? Pertanyaan itu dijawab Menteri Ginandjar ketika mengumumkan kenaikan tarif yang 25% itu pekan lalu. Menurut Menteri, selama ini, harga jual yang berlaku lebih rendah jika dibandingkan biaya pengadaan yang dikeluarkan. Buktinya, biaya pengadaan yang dikeluarkan PLN untuk setiap Kilo Watt Hour (KWH) jatuhnya sekitar Rp 95. Sementara itu? harga jual rata-ratanya hanya Rp 92,65. Itulah sebabnya, menurut Kepala Perwakilan RCG International di Jakarta David A. Keith -- ini salah satu konsultan PLN dari AS -- setiap tahunnya PLN merugi sekitar Rp 170 milyar. Nah, dengan kenaikan 25%, sehingga harga jual per KWH menjadi Rp 115,8, diharapkan keadaan akan berbalik. Atau paling tidak tak sampai merugi. Sebab, ternyata bukan faktor-faktor intern saja yang bisa membuat rugi, tapi juga masalah di luar kekuasaan PLN. Seperti harga minyak, batu bara, gas alam, hingga perubahan kurs valuta asing. Contoh gampangannya adalah harga minyak, yang kabarnya masih menduduki 70% dari total biaya. Ketika harga solar diturunkan, Juli 1986, kontan biaya produksi PLN 1986-87, yang dianggarkan Rp 1.456 milyar, berkurang 3,3% menjadi Rp 1.408 milyar. Dan tarif listrik pun, walau hanya untuk golongan industri, langsung turun sekitar 6%. Kejadian seperti itu tentu akan terjadi pula jika harga batu bara atau gas berubah. Tapi lain lagi akibat yang ditimbulkan oleh perubahan kurs valuta asing. Dirjen Listrik dan Energi Baru, A. Arismunandar, akhir tahun lalu mengatakan, pinjaman PLN yang digunakan untuk membangun pembangkit listrik mencapai 40% dari total investasi. Padahal, pada anggaran Pelita IV, mestinya cuma 35%. Jadi, tak aneh kalau rupiah melemah terhadap dolar, maka PLN ikut terpukul. Maklum, penerimaan PLN kan dalam, rupiah. Sementara, seperti yang dikatakan Dirjen Arismunandar, setiap pemhangkit baru membutuhkan investasi rata-rata 800 ribu dolar AS untuk setiap Mega Watt (MW). Dari pembangkit listrik yang baru, sudah bisa dihitung berapa utang luar negeri PLN. Dari PLTA Cirata, yang berkapasitas 500 MW, dan PLTA Mrica Probolinggo 150 MW, misalnya. Plus proyek-proyek pembangkit yang masih dalam tahap perencanaan, seperti PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap) di Gresik yang berkapasitas 800 MW, pembangkit Paiton 1.600 MW, dan penambahan dua unit PLTA Cirata dengan kapasitas 1.200 MW. Kalau ditotal, maka kapasitas pembangkit baru yang telah danakan dibangun jumlahnya mencapai 4.250 MW, dengan investasi sekitar US$ 3,4 milyar. Nah, dari situ saja, pinjaman valuta asing PLN akan mencapai sekitar US$ 1,36 milyar. Tak jelas, sudahkah proyek-proyek itu dimasukkan ke dalam neraca PLN. Tapi yang agaknya pasti, dari tahun ke tahun selama Repelita IV, utang jangka panjang PLN terus membengkak. Pada tahun 1985 beban itu baru mencapai Rp 1.844 milyar lebih. sedangkan tahun ini diperkirakan naik menjadi Rp 5.160 milyar. Makanya, tak aneh kalau selama periode 1988-89 saja realisasi pencicilan dan bunga utangnya mencapai Rp 368,6 milyar. Sialnya, angka pendapatan dari hasil penjualan listrik tak berubah banyak. Dengan kata lain, tampak tak seimbang dengan pinjaman yang harus dibayar. Tahun anggaran 1984-85, misalnya, pendapatan total PLN hanya Rp 1.111 milyar. Sedangkan untuk 1988-89 diperkirakan hanya akan naik sekitar 1,69 kali, atau sekitar Rp 1.884 milyar. Angka pendapatan itu masih tak jauh berbeda dengan total biaya operasi per tahun, yang untuk periode 88-89 jatuhnya diperkirakan sekitar Rp 1.741 milyar (Rp 1 037 milyar di antaranya biaya pembelian bahan bakar). Jadi, jangan heran kalau kuntungan PLN tak begitu menggembirakan. Itu jelas dikemukakan Direksi PLN dalam acara dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Februari lalu. Pada tahun anggaran 1984-85 laba itu hanya Rp 554 juta tapi tahun lalu hanya meningkat jadi Rp 5,2 milyar. Bahkan untuk anggaran 1988-89 laba itu diduga akan menciut menjadi Rp 1,3 milyar saja. Kenapa? Dan dari mana perhitungan RCG International yang mencatat kerugian PLN per tahun rata-rata Rp 170 milyar? Itulah soalnya. Konsultan asing David A. Keith menyebutkan kerugian itu paling banyak terjadi pada pembangkit-pembangkit di luar Jawa. Sedangkan PLN di Pulau Jawa juga belum untung, hanya baru hampir mencapai titik impas. Tapi sebuah sumber di PLN memberi gambaran yang cukup pedas. "Angka-angka itu memang fleksibel," katanya. 3 Menurut dia, sebenarnya PLN tidaklah untung, malah rugi. Bagaimana tahu? "Gampang, lihat saja pos penyusutan di neraca", ujarnya. Penyusutan ini, konon, semuanya dipusatkan di Kantor Pusat PLN Jakarta. Jadi, tidak seperti lazimnya cabang-cabang perusahaan lainnya (BUMN maupun swasta), yang ikut menghitung penyusutan aktiva di daerah operasinya masing-masing. Konon, dari angka penyusutan yang cukup besar itulah "fleksibilitas" angka dilakukan. Itu terbukti dengan tidak jelasnya angka penyusutan dari tahun ke tahun. Kadang, untuk tahun tertentu bisa begitu tinggi, namun pada tahun berikutnya bisa langsung anjlok. "Tinggal didesain saja, mau untung berapa," kata sumber itu sinis. Permainan seperti itu, menurut yang empunya cerita, tak begitu sulit dibaca oleh para pejabat PLN. Sebab, berbeda dengan BUMN lainnya, PLN tak memiliki pembukuan ganda. Tapi ada akibat lain yang lebih parah, yakni pos rugi-laba PLN menjadi semakin tidak jelas. "Tapi saya yakin, kerugian tahun lalu tidak akan kurang dari Rp 100 milyar," kata sumber TEMPO yang mengetahui. Jadi, kalau benar demikian, bukannya untung Rp 5,2 milyar? Alkisah, kerugian bermula seiak lima tahun lalu. Ketika itu, pemerintah mulai menyetop penyertaan modalnya. Sehingga pengadaan semua peralatan hanya mengandalkan kocek sendiri, ditambah dana DIP saja. Padahal, sebelumnya itu semua ditanggung pemerintah berupa penyertaan modal. Ada, memang, sumber dana lain yang kerap diandalkan, yakni pinjaman dari konsorsium bank-bank pemerintah. Dari sumber ini. PLN bisa memperoleh dana yang cukup murah. Sebab kendati tingkat bunga yang ditandatangani 18%, toh yang 12%-nya ditanggung oleh pemerintah. Soal lain yang juga bisa membuat belepotan adalah besarnya biaya bahan bakar (tahun 1988-89 ditaksir akan lebih dari Rp 1 trilyun). Untuk periode 1988-89 saja, PLN konon telah menyedot BBM 2,77 juta kiloliter, gas alam 8.273 mmscf (juta kubik kaki), batu bara 2,4 juta ton, dan pelumas sekitar 10 ribu kiloliter. Tapi bukan hanya besarnya volume yang jadi masalah, juga soal harga, yang terasa terlalu mahal. Contohnya gas alam. PLN konon diminta untuk membayar 3 dolar AS untuk setiap kaki kubik gas yang dibeli dari Pertamina. Sementara itu, ada BUMN lain, Krakatau Steel misalnya, yang kabarnya bisa menikmati tarif pembelian gas alam yang lebih murah: hanya satu dolar. Sudah begitu mahal -- karena tak memperoleh subsidi -- PLN (sebagai konsumen) merasa tak mudah untuk mengecek berapa banyak sebenarnya bahan bakar yang mereka terima. "Soalnya, yang punya ukuran cuma Pertamina, dan PLN hanya terima kuitansi pembayarannya," kata seorang pejabat PLN. Cara pembayarannya pun, menurut dia, harus di muka. "Daripada begitu, kan mendingan membeli bahan bakar dari Singapura, yang selain mudah dikontrol harganya juga lebih murah," katanya. Sayangnya, kereta deregulasi yang berjalan sampai sekarang belum sampai menyentuh soal kebolehan orang mengimpor bebas bahan bakar dari Singapura. Karena tindakan yang demikian tentu akan memukul BBM produksi pengilangan di Cilacap ataupun Balikpapan. Sakitnya PLN ternyata tidak terbatas pada soal-soal seperti yang telah dibeberkan di atas. Tapi ada masalah lain yang disebabkan salah perhitungan. Seperti yang terjadi pada PLTU Belawan. Sehingga Medan, sebagai salah satu daerah konsumennya, semakin sering mengalami byar-pet. Kenapa? Ceritanya cukup panjang. Sudah sejak awal pembangunannya, tahun 1977, PLTU ini tersandung-sandung. Dengan investasi Rp 46 milyar, pembangunan Belawan direncanakan akan usaisetahun kemudian, 1978. Tapi apa yang terjadi? Penelitian yang menyebutkan bahwa tanah yang diuruk hanya setinggi 50 meter (di atas tanah seluas 48 hektar) ternyata meleset. Dan setelah diteliti ulang, karena tanahnya labil, tanah yang harus ditimbun menjadi 90 meter. Efeknya bukan pada hanya waktu, biaya pembangunannya ikut pula membengkak. Alkisah, PLN pun meminta tambahan dana dari pemerintah. Tapi entah kenapa biaya tambahan yang dibutuhkan baru dimasukkan dalam APBN dua tahun kemudian. Padahal, semua peralatan yang diimpor dari Prancis sudah masuk sejak awal 1978. Akibat berantai pun tak bisa dihindarkan. Menurut Sofyan Saibir, yang ketika itu menjadi Kepala Proyek Induk dan Jaringan Sumatera Utara, kedua unit mesin itu mengalami kerusakan, terutama kondensornya yang habis dimakan karat. Sial, padahal garansinya cuma satu tahun. Nah, apa yang terjadi, mudah diduga. Ketika mulai beroperasi, Mei 1984, mesin itu langsung batuk-batuk. Dan kebocoran di bagian kondensor (setiap unit PLTU terdiri dari 4.000 kondensor) diikuti dengan rusaknya ketel. Maka, tiga tahun kemudian "resmilah" PLTU Unit I dipensiunkan. Untuk memenuhi kebutuhan sebesar 187 MW, PLN Sum-Ut mengerahkan 22 unit mesin cadangan berupa PLTG (Gas) dan PLTD (Diesel). Lumayan, kendati setiap wilayah mengalami pemadaman 8 jam sehari (pelanggan dibagi atas tiga wilayah), toh masyarakat Medan masih bisa mengecap listrik. Tapi derita PLTU tak berhenti sampai di situ. Dengan tertatih-tatih, Unit II dipaksakan untuk bekerja. Caranya, setiap pukul 24.00, puluhan tukang las sibuk mengeluarkan kondensor-kondensor itu, dan mengelas bagian yang bocor. Kemudian, pagi harinya, kembali dipasang sehingga pada sore hari rumah konsumen bisa terang-benderang. Sayang, semua upaya itu tak bertahan lama. Pertengahan Januari lalu PLTU Belawan Unit II pun "resmi pensiun". Dan PLN Sum-Ut terpaksa menanggung biaya operasinya yang naik, karena digunakannya PLTG dan PLTD. Konon, kedua jenis pembangkit ini biaya operasinya mencapai Rp 120 per KWH. Ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan tarif yang telah dinaikkan Rp 115,8. Sehingga PLN Sum-Ut, yang pada 1987 merugi Rp 29 milyar, tampaknya masih akan merugi. Padahal, kalau saja kedua unit mesin PLTU itu jalan, PLN bisa untung karena biaya operasinya hanya Rp 50 per KWH. Omong-omong soal tarif, Bank Dunia sponsor utama Indonesia dalam forum IGGI, sudah lama bertanya: kenapa PLN tak menaikkan tarif sejak Maret 1984? Padahal. jika dibandingkan dengan tarif di kawasan ASEAN, tarif listrik di Indonesia relatif tergolong masih "murah". DI empat negara ASEAN, Korea Selatan, dan Taiwan, tarif listrik saat ini antara Rp 107,67 dan Rp 139,48 per KWH. Kini setelah PLN kita mendongkel tarifnya dengan 25%, rekening listrik di Indonesia menjadi sedikit lebih tinggi dari Singapura dan Muangthai, sekalipun masih di bawah lima negara yang lain tadi. Tapi Menteri Ginandjar bilang, kenaikan 25% itu tak ada hubungannya dengan tarif listrik di negara tetangga, atau adanya imbauan dari Bank Dunia. "Ini betul-betul berdasarkan pada kebutuhan kita sendiri untuk menyongsong era lepas landas," tuturnya. Maksud Menteri, jika pendapatan bertambah, maka PLN perlahan-lahan takkan lagi bergantung pada pendanaan luar neeri "Ini penting, untuk meningkatkan kemampuan investasi sendiri," ujarnya. Struktur pendanaan proyek PLN untuk tahun anggaran 1989-90 sebesar Rp 7 trilyun, misalnya, sebanyak 40% atau Rp 1,08 trilyun masih tergantung pinjaman luar negeri. Coba kalau PLN punya rupiah yang lebih banyak, "tentu orang akan lebih berminat untuk memberikan pinjaman," kata Ginandjar lagi. Rupiah PLN pasti akan bertambah banyak Tapi itu tentu bukan berarti rupiah di kocek sebagian besar penduduk yang punya listrik juga akan ikut terangkat. bukan?Budi Kusumah, Yopie Hidayat, Bachtiar Abdullah, Diah Purnomowati, Syafiq Basri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum