Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Kejar Tayang Kitab Pidana

Pemerintah melobi berbagai pihak agar RKUHP segera disahkan. Pasal yang mengancam demokrasi dan hak privat dipertahankan.

23 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditargetkan rampung pada akhir September.

  • Sejumlah anggota DPR meminta supaya RKUHP dibahas ulang.

  • PDI Perjuangan menolak penghapusan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.

MENYAMBANGI Dewan Perwakilan Rakyat pada Jumat, 1 Juli lalu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej bertemu dengan pimpinan dan sejumlah anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dalam persamuhan di lantai tujuh Gedung Nusantara 1, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, itu, ia memaparkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP.

“Kami berdiskusi soal penyempurnaan RKUHP,” ujar Eddy—sapaan Edward Omar Sharif Hiariej—melalui pesan WhatsApp pada Jumat, 22 Juli lalu. Setelah dilantik sebagai wakil menteri pada Desember 2020, Eddy bertugas menyelesaikan berbagai rancangan undang-undang yang urung disahkan. Salah satunya RKUHP. Ia masuk tim ahli yang menyusun RKUHP sejak 2014.

Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan Bambang Wuryanto menjelaskan, Eddy memaparkan perkembangan RKUHP. Ini termasuk 14 isu krusial dalam draf tersebut. Di antaranya penyerangan harkat dan martabat presiden serta wakil presiden, hukuman mati, penodaan agama, dan perzinaan. “Semuanya sudah dijelaskan oleh wakil menteri dan timnya,” ujar Bambang pada Kamis, 21 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) menyerahkan draf RKUHP dan RUU tentang Permasyarakatan yang telah disempurnakan dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima hari setelah pertemuan di ruang fraksi banteng pada Rabu, 6 Juli lalu, pemerintah menyerahkan draf RKUHP kepada DPR. Rancangan tersebut hampir disahkan pada pengujung masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019. Namun pemerintah dan DPR bersepakat menunda pengesahannya akibat adanya demonstrasi besar penolakan revisi KUHP dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tahun ini RKUHP masuk Program Legislasi Nasional.

Bambang, yang juga Ketua Komisi Hukum DPR, mengatakan pembahasan RKUHP diharapkan rampung pada akhir September mendatang. Ia menyatakan Panitia Kerja DPR yang membahas RKUHP kemungkinan besar tak akan banyak mengubah rancangan tersebut. “Tapi kami tetap mendengar berbagai masukan masyarakat,” ucap Bambang.

Meski demikian, Panitia Kerja DPR belum satu suara tentang waktu pengesahan RKUHP. Anggota Komisi Hukum dari Fraksi NasDem, Taufik Basari, mengatakan, dalam rapat di Hotel Pulman Jakarta Central Park awal Mei lalu, sejumlah legislator menginginkan RKUHP langsung masuk pembahasan tingkat dua atau segera disahkan dalam rapat paripurna DPR.

Mereka yang menginginkan RKUHP segera disahkan berpendapat bahwa rancangan itu telah rampung dibahas oleh anggota DPR periode lalu. “Jadi tinggal penyampaian pendapat fraksi, setuju atau tidak,” ujar Taufik pada Selasa, 19 Juli lalu. Menurut dia, ada juga anggota Komisi Hukum yang meminta pembahasan RKUHP dilakukan terbatas untuk 14 isu krusial.

Namun sebagian anggota, termasuk Taufik, berpendapat RKUHP perlu dibahas ulang karena ada anggota DPR baru yang tak mengikuti pembahasan sebelumnya. Taufik juga meminta pemerintah dan Panitia Kerja DPR menggelar simulasi untuk memastikan rancangan itu nanti tidak menimbulkan masalah setelah disahkan.

Sejumlah anggota Komisi Hukum juga mempertanyakan sikap pemerintah yang baru mengajukan RKUHP tahun ini. Dua tahun terakhir, rancangan itu tak pernah dibahas lagi di Senayan. Padahal Komisi Hukum sama sekali tidak membahas rancangan atau revisi undang-undang lain. “Tahun ini kami harus membahas berbagai undang-undang seperti RUU Hukum Acara Perdata dan revisi Undang-Undang Narkotika,” ujar anggota Komisi Hukum dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani.

Benny K. Harman, anggota Komisi Hukum dari Partai Demokrat, menduga pemerintah tak segera mengajukan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena sibuk membahas Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara. Menurut Benny, ia dan sejumlah koleganya berulang kali meminta pemerintah segera mengajukan RKUHP, tapi mereka tak mendapat respons.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pemerintah baru intensif membahas kembali RKUHP sejak 2021. Ia berkilah pembahasan itu tertunda selama sekitar setahun akibat pandemi Covid-19 merebak. Selain itu, pemerintah menghadapi putusan Mahkamah Konstitusi pada November 2021 yang menyebutkan pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja dilakukan secara inkonstitusional.

Setelah putusan MK keluar, pemerintah memprioritaskan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan atau Undang-Undang PPP. Revisi itu disahkan oleh DPR pada Selasa, 24 Mei lalu. “Setelah itu kami bahas RKUHP dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan,” ujar Menteri Eddy.

Sehari setelah pengesahan Undang-Undang PPP atau pada Rabu, 25 Mei lalu, Eddy datang ke Komisi Hukum dan mengabarkan RKUHP siap dibahas. Saat itu Eddy belum menyerahkan RKUHP terbaru, termasuk rincian 14 isu krusial. Ia menyatakan pemerintah telah menyisir pasal-pasal di dalam RKUHP dan menggelar sosialisasi kepada masyarakat.

Sosialisasi itu sesuai dengan keputusan pemerintah dan DPR periode lalu karena RKUHP mendapat tentangan dari publik. Eddy bercerita, sosialisasi itu berlangsung di 14 kota selama empat bulan, dari 25 Februari hingga Juni lalu. Sosialisasi juga dilakukan bersama Komisi Hukum DPR. Arsul Sani, anggota Komisi Hukum dari Partai Persatuan Pembangunan, misalnya, mengikuti sosialisasi di empat kota secara daring.

Arsul mengaku kerap menjelaskan kepada para peserta, yang terdiri atas akademikus, mahasiswa, dan aktivis, ihwal isu krusial dalam RKUHP, seperti pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Nantinya pasal penghinaan diubah menjadi delik aduan, hanya presiden dan wakilnya yang bisa mengadukan penghinaan. Hukuman bagi penghina pun berubah dari 6 tahun bui menjadi 3 tahun 6 bulan penjara. “Ini meringankan dari sisi hukuman,” kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu.

Meski berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, yaitu menyampaikan kritik kepada presiden dan wakil presiden, pasal tersebut hampir pasti tetap dimasukkan ke RKUHP. Ketua Komisi Hukum dari Fraksi PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto, mengklaim pasal itu bertujuan menghormati martabat presiden dan wakilnya. Bambang menyatakan partainya tak setuju jika pasal itu diubah atau dihapus.

Anggota Komisi Hukum dari Partai Demokrat, Benny K. Harman, pesimistis pembahasan RKUHP di DPR akan mengubah berbagai pasal krusial. Ia yakin pembahasan RKUHP akan dipercepat seperti sejumlah undang-undang, antara lain Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan dan revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. “Kalau pemerintah sudah punya mau, koalisi di DPR hanya akan jadi stempel,” ujarnya. Adapun Eddy Hiariej berharap pembahasan RKUHP rampung tahun ini. “Karena 2023 tahun politik.”

Baca: Bagaimana Pemerintah Mengebut Pembahasan RKUHP?

•••

MENGEJAR percepatan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP, pemerintah juga melobi mereka yang menolak rencana tersebut. Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi NasDem, Taufik Basari, mengaku beberapa kali dihubungi oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej.

Taufik bercerita, salah satu diskusi dengan Eddy Hiariej adalah ihwal sikapnya terhadap sejumlah isu krusial. Di antaranya tentang hukum yang hidup di masyarakat dan hukuman mati. Kepada Taufik, Eddy menyampaikan bahwa pemerintah masih membuka ruang untuk pembahasan RKUHP. “Bagaimanapun keberhasilan mengesahkan RKUHP merupakan pride untuk pemerintah,” tutur Taufik.

EddyHiariej mengaku berdiskusi dengan berbagai kalangan yang menolak pengesahan RKUHP. Guru besar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu bercerita, pada Jumat, 8 Juli lalu, ia mencoba meyakinkan dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, BivitriSusanti, yang kerap mengulas berbagai masalah dalam RKUHP.

Kepada Bivitri, Eddy berjanji bahwa RKUHP tidak akan disahkan dalam waktu singkat. Ia juga menjelaskan sejumlah pasal krusial dalam rancangan itu, seperti perzinaan. Eddy mengatakan masyarakat Sumatera Barat menginginkan pasal perzinaan tak masuk dalam delik aduan. “Dalam hukum Islam, ranah privat seperti berzina termasuk kejahatan hukum. Kita pun mayoritas muslim,” kata Eddy.

Ia juga mengaku kerap berdiskusi dengan para aktivis yang tergabung di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Eddy mengklaim sejumlah masukan dari ICJR telah diakomodasi dalam RKUHP. Misalnya, penghapusan salah satu pasal penodaan agama serta aborsi. Ia pun berembuk dengan Indonesian Consortium for Religious Studies ihwal pasal penodaan agama. Pemerintah lantas menghapus kata “penistaan” yang dinilai terlalu absurd.

Dimintai tanggapan pada Sabtu, 23 Juli lalu, Bivitri Susanti mengatakan pemerintah terlalu buru-buru merumuskan RKUHP tanpa melibatkan partisipasi publik secara luas. Ia meminta pemerintah dan DPR tak mengabaikan berbagai argumen penolakan terhadap RKUHP yang disertai data dan fakta. Apalagi sampai menyuruh masyarakat yang tak puas terhadap aturan itu mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. “Harus ada dialog dan pembahasan partisipatif,” ucapnya. (Baca juga: Nasib Malang Revisi UU ITE)

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu membenarkan bahwa lembaganya kerap berdiskusi dengan Eddy. “Bukan hanya ICJR, Aliansi Reformasi KUHP juga memberi masukan,” katanya. Erasmus menyatakan ICJR masih menolak berbagai pasal yang berpotensi membungkam demokrasi. Di antaranya isu penghinaan presiden, pidana adat, dan kebebasan pers.

Eddy mengklaim pemerintah tak akan menutup diri dan tetap menerima masukan dari masyarakat. Ia meyakini RKUHP yang diserahkan kepada DPR merupakan yang terbaik. Salah satu alasannya, rancangan itu diwariskan oleh para guru besar hukum pidana di Indonesia. “Secara doktrin hukum pidana, itu sudah benar,” Eddy mengklaim.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus