Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Buku Babon Setengah Abad

Perumusan naskah RKUHP berlangsung lebih dari 50 tahun. Pemerintah mengklaim draf terbuka direvisi.

23 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejak 20 tahun lalu, sejumlah pasal dalam RKUHP menuai polemik.

  • Tim perumus RKUHP menilai pengkritik rancangan itu hanya membaca sepotong-sepotong.

  • Berbagai kalangan menilai RKUHP mengekang kebebasan sipil dan mengancam demokrasi.

BAGI Yenti Garnasih, naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diserahkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 6 Juli lalu, adalah perjuangan selama lebih dari dua dasawarsa. Anggota tim perumus RKUHP itu sudah diajak sejumlah guru besar untuk membahas draf kitab pidana tatkala menempuh program doktor ilmu hukum di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pada awal 2000-an.

“Saya baru resmi dilibatkan sebagai anggota tim ahli saat pembahasan bersama Profesor Muladi pada 2015,” kata Yenti melalui telekonferensi video pada Rabu, 20 Juli lalu. Muladi, wafat pada Desember 2020, adalah mantan Menteri Kehakiman yang ditunjuk menjadi Ketua Tim Perumus Rancangan KUHP.

Gagasan membuat kitab pidana baru tercetus saat Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada 1963. Saat itu para ahli hukum pidana ingin memperbarui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia. Selama ini, pemerintah Indonesia memakai Wetboek van Strafrecht alias kitab pidana buatan pemerintah Hindia-Belanda.

Menurut Yenti, sejumlah pasal menjadi polemik di masyarakat sejak 20 tahun lalu. Pasal penyantetan salah satunya. Publik saat itu berdebat ihwal asas kausalitas untuk memidanakan seseorang yang diduga sebagai pelaku santet. Pasal kohabitasi atau tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan pun dipersoalkan karena pemerintah dianggap terlalu mencampuri urusan privat warga negara.

Pun di dalam tim perumus terjadi berbagai perdebatan. Di antaranya pengaturan tindak pidana khusus seperti korupsi, terorisme, narkotik, hak asasi manusia, dan pencucian uang. Yenti termasuk anggota tim yang awalnya keberatan pidana khusus tersebut diatur dalam KUHP. “Kitab ini hanya mengatur pidana umum sehingga tak perlu memasukkan pidana khusus,” tuturnya.

Belakangan, Yenti menerima usul itu setelah dijelaskan bahwa tindak pidana khusus dalam Rancangan KUHP cuma mengatur inti tindakan kejahatan. Adapun penegakan hukum dalam tindak pidana khusus tetap mengacu pada undang-undang khusus yang sudah ada sebelumnya. (Baca: Bagaimana Pemerintah Mengebut Pembahasan RKUHP?)

Berpuluh tahun dirumuskan, Rancangan KUHP tak kunjung disahkan. Yenti mengatakan setiap presiden berjanji menyelesaikan, tapi tak memprioritaskan kitab babon hukum pidana ini. Pemerintah malah mengajukan regulasi yang lebih populer, seperti Undang-Undang Pemilihan Umum. “Pembahasan biasanya hilang setelah setahun,” ujar Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia ini.

Mantan Ketua Panitia Kerja Rancangan KUHP, Benny Kabur Harman, mengungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengusulkan draf, tapi tak sempat membahasnya. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia waktu itu, Amir Syamsuddin, menyorongkan usulan pada 2013 ketika periode Yudhoyono tinggal setahun.

Pada 2014, ketika Presiden Joko Widodo baru terpilih, Benny meminta Setya Novanto, saat itu menjabat Ketua DPR, berkomunikasi dengan Jokowi untuk mempercepat pembahasan RKUHP. “Pemerintah menyatakan kesiapannya dan mengutus Menteri Hukum dan HAM,” tutur politikus Partai Demokrat ini.

Pembahasan RKUHP jauh dari mulus. Benny mencontohkan, ketua tim perumus, Muladi, berkukuh memasukkan hukum pidana adat. Di sisi lain, ada yang mendesak living law ini dicabut dari naskah karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Ada juga keberatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi ihwal vonis terhadap koruptor yang lebih rendah daripada hukuman yang tercantum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Mantan anggota Panitia Kerja Rancangan KUHP, Fahri Hamzah, menyebutkan pembahasan alot karena pemerintah tak kompak menyikapi isu-isu krusial. Salah satunya penghinaan terhadap pejabat negara. Ada lembaga yang menilai pasal itu melanggar hak asasi, tapi lembaga lain berpendapat pasal itu diperlukan untuk melindungi martabat kepala negara.

Fahri, kini Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat Indonesia, mengatakan pasal-pasal yang menjadi polemik disisir dan dibahas beberapa kali dengan sejumlah pakar dan kelompok sipil. “Naskah Rancangan KUHP versi 2019 itu sudah sangat baik dan komprehensif,” ucap bekas Wakil Ketua DPR ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat Benny Harman. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penulisan RKUHP memang rampung pada masa DPR periode 2014-2019. Ketua Panitia Kerja RKUHP Mulfachri Harahap bercerita, pemerintah dan tim panitia kerja membedah ribuan item dalam daftar isian masalah selama bertahun-tahun. Ia mengklaim telah meminta masukan dari masyarakat sipil. “Ini bukan undang-undang ecek-ecek,” ucap politikus Partai Amanat Nasional ini.

Namun RKUHP menyulut protes dari berbagai kalangan karena banyak pasalnya dianggap mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mencontohkan pasal 273 yang mengatur penyampaian pendapat di muka umum. Pasal itu memidanakan penyelenggara pawai dan demonstrasi jika menggelar aksi tanpa pemberitahuan. “Naskah itu masih mengandung banyak masalah,” kata Isnur.

Anggota tim perumus lain, Chairul Huda, justru menilai protes masyarakat sipil disebabkan kesalahpahaman. Ia mencontohkan, aturan mengenai pemidanaan saat menggelar pawai hanya berlaku jika acara berujung kericuhan.

Huda juga menyebutkan kekeliruan dalam memahami pasal mengenai perlindungan harkat dan martabat presiden. Menurut dia, aturan dalam Rancangan KUHP hanya memidanakan seseorang yang menghina kepala negara, bukan yang mengkritik. Tim perumus juga menetapkan bahwa pasal itu menjadi delik aduan atau hanya bisa diproses jika dilaporkan langsung oleh presiden. “Banyak yang sepotong-sepotong memahami naskah kitab hukum pidana ini,” tutur dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta itu.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan organisasi masyarakat sipil ikut memberi saran dan merumuskan daftar isian masalah. Menggelar ratusan kali rapat bersama DPR, naskah selesai pada September 2019. Tapi pada waktu itu sejumlah pasal dalam draf Rancangan KUHP ikut diprotes bersamaan dengan unjuk rasa yang menentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Eddy—panggilan Edward—bercerita, Presiden Joko Widodo memanggil tim perumus serta sejumlah anggota Komisi Hukum DPR ke Istana Negara pada pertengahan September 2019. Jokowi meminta pemerintah dan DPR bersepakat memetakan pasal-pasal kontroversial dan memerintahkan untuk menggelar sosialisasi lagi.

Menurut Eddy, naskah Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana atau RKUHP yang sudah diserahkan ke DPR berpeluang dirombak lagi. Ia tak menutup kemungkinan ada aturan yang dicabut, dipertahankan, serta dirumuskan lagi bunyi pasalnya saat pembahasan di tingkat II dalam rapat paripurna DPR. “Semuanya terbuka untuk dibahas lagi,” kata guru besar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini.

HUSSEIN ABRI DONGORAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus