Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH kue cokelat tersaji di atas meja. Secilia, sang ibu, bertanya-tanya gerangan siapa yang membuatnya. Perempuan 36 tahun itu kaget bukan main, ternyata Emil, anak pertamanya, yang menakar bahan, mencampur, mengaduk, memanggang, hingga menyajikan kue itu, spesial buatnya. Sedikit dia mencicipi. ”Yang namanya cokelat, sih, di mana pun pasti enak,” katanya.
Soal rasa, itu urusan belakangan. Yang penting, Secilia kini senang bukan kepalang. Pelajaran memasak kue yang diikuti Emil beberapa hari sebelumnya ternyata sangat membekas di benak gadis kecilnya itu. Padahal, melihat kebiasaan anaknya, semula Secilia menyangka Emil akan lupa begitu saja.
Tidak hanya itu. Kreativitas Emil membubung. Bocah kelas 4 SD itu menamai sendiri masakan yang pernah dibuatnya. Salah satunya adalah kue Spider Man. Makanan tersebut disajikan kepada sang ibu dengan gaya seperti iklan televisi. Emil jadi pelayan, ibunya berperan sebagai pelanggan. Semula Emil memberikan jawaban ”standar” jika ditanya tentang cita-citanya: insinyur atau pilot. Kini, gara-gara belajar memasak, Emil punya cita-cita berbeda: ingin punya restoran.
Cita-cita ini boleh jadi masih akan berubah pada hari mendatang. Pasalnya, Emil sudah mempersiapkan rencana beragam pada musim liburan ini. Siswa SD Belarminus, Jakarta, ini berhasrat belajar komik. ”Mudah-mudahan, tidak punya cita-cita jadi tukang parkir, ha-ha-ha...,” kata ibunya. Gara-gara melihat tukang parkir saat kecil, Emil pernah ingin menjadi pengatur mobil baris.
Lain lagi dengan Metty, 37 tahun. Ibu satu anak ini mengaku kelelahan setelah mengikuti Javie, anaknya, ikut dalam program outbound yang diselenggarakan di sekolahnya. ”Masih pegal-pegal, nih,” katanya. Boleh jadi, beberapa pekan ke depan ”siksaan” lain akan menyusul. Maklum, libur masih panjang.
Liburan sekolah bisa menimbulkan otot kejang, badan letih, atau sekadar pegal bagi para orang tua. Sebaliknya, untuk anak-anak pintar sekaligus kreatif, liburan adalah berkah. Mereka dapat dengan mudah memilih kegiatan menyenangkan. Lihat saja di surat kabar dan media lain, iklan yang menawarkan program liburan kreatif bukan main bejibun. Pelajaran komputer, outbound, pesantren kilat, kursus bahasa Inggris, memasak, membuat komik, dan macam-macam lagi.
Program pengisi kegiatan liburan ini memang bukan hal baru, tapi dari tahun ke tahun makin banyak jumlah dan ragamnya. Penyebabnya, siapa pun tahu, di kota besar, orang tua tidak punya banyak waktu bermain dengan anak. Kalau kedua orang tuanya bekerja, paling banter mereka bisa mengambil cuti selama seminggu pada saat liburan. Selebihnya, anak-anak itu keleleran.
Pada zaman dulu, biasanya anak-anak dititipkan di rumah nenek atau kakek. Tapi—anak zaman sekarang—seharian bermain bersama opa dan oma bakal membuat mereka bosan. Untuk itu, mereka harus mendapat kesibukan yang tidak saja mengasyikkan tapi juga bermanfaat dan, yang penting, tidak membosankan.
ChezLely, tempat Emil belajar membuat kue di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, adalah salah satu tempat yang kerap menjadi tujuan orang tua. Tempat ini merupakan sekolah bagi mereka yang ingin menjadi koki atau chef. Namun, sejak dua tahun silam, melihat peluang yang ada, Lely Simatupang, pemilik sekolah ini, membuka kelas memasak bagi anak-anak khusus di masa libur sekolah.
Menurut Lely, semata program itu dibuat agar anak-anak bisa menyiapkan sendiri makanan mereka. ”Dengan begitu, mereka bisa menghargai makanan yang disajikan orang tuanya,” katanya. Nah, untuk liburan kali ini ChezLely menawarkan program cukup beragam. Ada yang porsinya lumayan lama hingga berhari-hari atau yang cukup sekali saja, seperti yang dilakukan Emil. Biayanya Rp 250 ribu sampai Rp 500 ribu.
Di Solo, rumah batik milik Gunawan membuka kesempatan bagi anak-anak untuk belajar membatik pada saat libur. Gunawan ingin agar anak-anak bisa mengetahui proses melukis pada kain. Boleh jadi, selama ini mereka hanya melihat batik ketika sudah menjadi baju.
Pelajaran awalnya, anak-anak diberi pengenalan tentang batik dan cara membatik secara sederhana. Setelah itu, mereka boleh beraksi, bebas membuat motif dan mengukirnya dengan tinta malam melalui alat membatik atau canting. Proses terakhirnya yakni pencelupan ke air. ”Canting dan lilin dapat dibawa peserta, sehingga mereka bisa meneruskan belajar membatik di rumah,” katanya.
Pengenalan seni kepada anak-anak juga digelar Bale Seni Barli di Bandung. Galeri milik pelukis kenamaan almarhum Barli ini membuka kelas di Studio Lukis Anak, yang berada di area galeri Barli. Dalam kelas ini anak-anak diberi waktu melukis selama 90 menit. ”Sambil menunggu lukisan kering, peserta kami beri bonus bermain angklung bersama,” kata Asep Suhada, koordinator kunjungan wisata seni Bale Seni Barli.
Menurut Asep, ini program rutin. Namun di musim liburan pengunjung yang tertarik datang makin bejibun. Paling tidak, untuk musim kali ini sudah ada 500 orang yang memesan tempat untuk belajar di sana. Mereka murid dari dua sekolah dasar di kawasan Ciparay, Kabupaten Bandung, yang ingin belajar melukis gerabah.
Apa pun program yang ditawarkan bagi anak-anak ketika liburan, menurut Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Anak, manfaatnya akan sangat banyak. Semua ini sangat berguna untuk penyegaran anak. ”Ibarat busur panah yang terus ditarik, mereka juga butuh pengenduran, rileks,” katanya.
Hanya, menurut Kak Seto, kegiatan tersebut harus benar-benar baru. ”Juga harus berangkat dari motivasi internal, bukan kemauan bapak atau ibunya,” katanya. Program itu bisa memberikan wawasan baru bagi anak. Tidak saja terhadap dunia yang barangkali belum mereka kenal sebelumnya, tapi juga memberikan pengetahuan baru bagi anak mengenai cita-cita mereka. Sehingga mereka tidak sekadar ingin menjadi insinyur atau dokter. Menjadi ahli memasak atau yang lain juga oke.
Nanti bila anak-anak sudah kembali bersekolah dan sang guru meminta mereka membuat cerita tentang bagaimana mereka menghabiskan liburan, hasilnya pun beragam. Yang keluar bukan sekadar liburan di rumah nenek atau pergi ke Ancol, tapi liburan sebagai ”pelukis”, ”pembatik”, atau ”koki”.
Irfan Budiman, Rana Akbari Fitriawan (Bandung), Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo