Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KRISIS harga minyak goreng sungguh merupakan ironi. Sebagai produsen minyak sawit mentah (crude palm oil) terbesar kedua di dunia, Indonesia justru repot mengatur pasokan CPO di dalam negeri. Berbagai program sudah dikeluarkan, tapi produsen tetap enggan menjual CPO ke pasar dalam negeri—tidak aneh lantaran harga ekspor lebih menggiurkan.
Pasokan langka, harga dalam negeri minyak goreng curah pun melambung menjadi Rp 9.000 per kilogram, sekitar 70 persen di atas harga sebelum krisis ekonomi. Pekan lalu, pemerintah mempercepat pemberlakuan kenaikan pajak ekspor CPO—dari rencana semula awal Juli menjadi pertengahan Juni. Diharapkan, pabrikan akan mengalihkan CPO ke pasar domestik dan harga akan bergerak turun.
Harapan itu tak terjadi. Harga dalam negeri bertahan tinggi. Ada yang salah di sini. Seharusnya, ketika harga CPO dunia turun, harga minyak goreng juga turun. Seorang analis menghitung, kalau harga minyak goreng dalam negeri Rp 9.000, harga CPO-nya berada di kisaran US$ 855 per ton. Padahal harga CPO di pasar dunia kini menjadi US$ 780. Dengan harga CPO dunia yang turun itu, mestinya harga minyak goreng tidak setinggi Rp 9.000. Tapi, faktanya, harga dalam negeri tetap selangit, dan diduga ada penumpang gelap yang mencoba mengail untung.
Patut diduga penumpang gelap itu beraksi di jalur distribusi minyak curah. Karena itu, percuma saja menahan ekspor CPO dengan pajak jika masalahnya distribusi. Kebijakan pajak ekspor tak akan mempengaruhi harga.
Pemerintah tak boleh tinggal diam. Dalam jangka panjang, jalur distribusi minyak goreng harus dibenahi karena kenaikan harga minyak goreng kemasan tak setinggi yang curah. Lagi pula, menaikkan pajak ekspor hanya membuat harga di tingkat petani menurun.
Kenaikan harga minyak goreng ini tidak bisa dilihat sebagai masalah sesaat. Dalam setahun terakhir, ada perubahan struktural dalam pasar CPO internasional. Minyak sawit mentah tidak lagi hanya dipakai untuk konsumsi, tapi juga buat biodiesel. Tingginya harga bahan bakar minyak membuat banyak negara berpaling ke biodiesel. Malaysia sudah mengantisipasi perubahan ini dengan membangun hampir 100 pabrik biodiesel.
Kasus Cina lain lagi ceritanya. Selama ini, Cina adalah konsumen CPO terbesar di dunia. Di masa lalu, Cina hanya memerlukan CPO untuk diolah menjadi minyak goreng. Kini, orientasi negeri berpenduduk terbesar di dunia itu berubah. Dalam lima tahun ke depan, Cina berencana membangun 100 pabrik biodiesel. Pastilah konsumsi CPO negeri itu pun meningkat tajam.
Bukan tidak mungkin CPO Indonesia bakal banyak tersedot ke sana. Dampaknya terhadap pasar dalam negeri bisa permanen dan harga minyak goreng makin sulit dikendalikan. Itu sebabnya pemerintah perlu memikirkan solusi jangka panjang agar masalah ini tidak menyulitkan sepanjang waktu. Tentu Indonesia tidak bisa meniru Malaysia, yang memberikan subsidi dengan menutup selisih harga dalam negerinya dan harga internasional. Sebab, jika itu dipilih, pemerintah Indonesia hanya akan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak ke subsidi minyak goreng.
Memang tak mudah mencari solusinya. Tapi pemerintah Indonesia bisa memilih solusi yang batasnya jelas: harus bisa mengeruk devisa dari sawit sebesar-besarnya tanpa harus mengorbankan petani sawit dan konsumen minyak goreng. Kalau Malaysia dengan cantik bisa memanfaatkan kenaikan harga CPO dunia, tidak ada alasan Indonesia tak bisa melakukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo