Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA menjadi Pangdam XVI/Pattimura (2002), Mayor Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo dinilai sukses meredam konflik antar-agama di Ambon. Nah, setelah kini ditugasi di Ibu Kota sebagai Pangdam Jaya, apakah memang lelaki kelahiran Solo, Jawa Tengah, 52 tahun silam ini diharapkan mampu meredam konflik lebih "canggih" dan berskala nasional antara para pendukung partai dan kontestan Pemilu 2004?
Atau, ada kepentingan untuk "mengamankan" jalan (para) calon presiden dari kalangan TNI ke kursi presiden?
Apa pun, karier lulusan terbaik Akabri 1975 ini meluncur seperti mobil Formula Satu di landasan pacu. Dalam empat tahun, ia mampu menembus dari posisi perwira menengah ke perwira tinggi TNI. Catat pula, ia penyandang S1 fisip (1994) dan S2 manajemen (2000).
Menggantikan Mayor Jenderal (kini Letjen) Joko Santoso (kini Wakil KSAD), Rabu pekan lalu, sebelumnya Agustadi praktis tak banyak dikenal kalangan sipil. Ia tak mirip Prabowo Subianto, yang dulu tersohor layaknya pesohor. Bukan pula seperti Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikenal publik sejak bintangnya masih sebiji. Ia tenggelam dalam kependiamannya.
Lalu, apa yang membuat jenderal dari Kostrad ini menempati posisi kunci di wilayah teritorial militer paling ingar-bingar dan "gemah-ripah" ini?
Sumber di jajaran tinggi TNI menyatakan, pengangkatan Agus tidak lepas dari kepentingan politik salah satu tokoh yang tengah berburu kursi presiden. Tokoh yang masih berpengaruh pada struktur kepemimpinan militer itu diduga kuat tengah berusaha mengamankan posisinya di bekas habitatnya. Menurut dia, dengan naiknya Agustadi ke kursi Pangdam Jaya, paling tidak tiga posisi kunci—Wakil KSAD, Pangkostrad, Pangdam Jaya—dipegang para sohibnya. Lebih lanjut, sumber itu mempersamakan jalur karier Agustadi dengan Joko Santoso, yang sempat menjadi anggota Fraksi TNI di DPR. Keduanya bertugas di Senayan ketika sang tokoh memegang jabatan teritorial.
Namun, dugaan itu segera dibantah pengamat militer dari LIPI, Indria Samego. Ia menyatakan, apa yang dikatakan KSAD Ryamizard Ryacudu pada acara serah-terima jabatan Pangdam Jaya pekan lalu benar adanya. "Ini sekadar rotasi, penyegaran semata," tuturnya. Menurut dia, itu mutlak harus dilakukan karena saat ini jumlah jenderal di TNI-AD masih terlalu banyak. "Jadi, tidak ada kaitannya dengan politik atau pemilu segala," kata Indria. Kesamaan jalur karier Agustadi-Joko, tuturnya, tidak bisa di-jadikan indikasi kedekatan mereka dengan salah satu figur di kabinet yang disebut-sebut akan memperebutkan kursi presiden.
Pengamat militer M.T. Arifin justru mengindikasikan menguatnya per- timbangan politik dan keamanan saat ini yang cenderung mengarah ke kawasan timur. Buktinya, banyak diangkatnya perwira yang pernah bertugas di sana. Ini menunjukkan dua hal. Pertama, perwira yang bertugas di kawasan timur memang lebih berprestasi. Kedua, menunjukkan wewenang politik dalam pergantian personel lebih besar dibanding pertimbangan teknis. "Saya melihat pengaruh dari lingkungan Polkam sangat kuat," kata Arifin.
Bagaimanapun, Jenderal Agustadi adalah perwira pintar yang sarat prestasi. "Dia itu lulusan terbaik, penerima Adhi Makayasa 1974," kata Brigjen Bambang Heru Sukmadi, rekannya seangkatan yang kini Sekretaris Dirjen Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan. Yang membuat suami Angky Retno Yudianti ini cenderung tak menonjol, katanya, adalah sifat pendiam dan low profile-nya, yang sudah terlihat sejak masa taruna Akabri dan masih tetap bertahan hingga kini. "Kita hanya tahu kepandaiannya kalau ia bicara dan tatkala melihat hasil ujiannya," kata Bambang.
Toh, ada suara-suara minor yang mengaitkan posisi ayah dua anak ini—Andika dan Ardya—dengan lolosnya Alex Manuputty, terpidana empat tahun kasus makar dan Ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM). Saat itu, Agustadi masih Pangdam Pattimura. "Tidak, soal itu kewenangan kepolisian," kata Indria Samego.
Ada aspirasi masyarakat agar TNI lebih proaktif menangani tindak kejahatan yang makin menggila di Jakarta. Itu juga menjadi pemikiran Kodam Jaya, kata Agustadi, tapi TNI perlu otoritas. Itu sebabnya perlu satu undang-undang TNI, kata mantan Pengendali Komando Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) TNI itu, agar ada legalitas bagi TNI untuk bertindak. Nah!
Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo