Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAR'IE Muhammad menyuap nasi dengan perlahan. Aroma gurih masakan Aceh sepertinya tak begitu menggoda selera Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu, Jumat pekan silam. Demikian pula Boris Michael, pejabat senior Palang Merah Internasional (International Committee for the Red Cross—ICRC) untuk misi Aceh. Di satu kedai nasi di Langsa, Aceh Timur, mereka bersantap siang dengan dahi berkerut tegang.
Langsa, kota tua di tepi Selat Malaka, adalah garis depan bagi misi Mar'ie dan Boris. Satu tugas gawat telah menunggu: menjemput juru kamera RCTI Feri Santoro dan sandera lain dari tangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Meskipun tim tersebut melibatkan sejumlah perwira tinggi TNI dan Polri, tampaknya ujung tombak tetap pada kelompok Palang Merah itu.
Tim ini dibentuk Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, dua pekan lalu. Selain membebaskan Feri Santoro, tim juga bertugas melepas semua sandera sipil yang ditahan. "Bukan Feri saja, tapi juga dua orang ibu, salah satunya tengah hamil tua," kata Susilo.
Banyak kalangan menuding pembentukan tim itu terlambat. Soalnya, seorang sandera—wartawan RCTI Sory Ersa Siregar—sudah lebih dulu tewas. Ersa diterjang peluru TNI dalam satu penyergapan militer di Desa Alue Matang Aron, Aceh Timur, akhir Desember lalu. TNI mengklaim tak mengetahui keberadaan Ersa di tempat nahas itu.
Dipimpin Sekretaris Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Letjen TNI Sudi Silalahi, tim itu beranggotakan empat orang. Ada dua perwira senior TNI dan Polri, plus pejabat dari PMI dan ICRC. Tim inilah yang langsung me- nyusun langkah bernegosiasi dengan GAM. Sesuai dengan mandat dari pe- merintah, PMI dan ICRC hanya akan menjadi fasilitator penjemputan sandera.
Begitu terbentuk, Rabu pekan silam, tim itu mencoba bergerak cepat. Mereka langsung menuju Langsa, Aceh Timur. Kota itu berdekatan dengan kawasan Peureulak, basis GAM yang dipimpin oleh Teungku Ishak Daud. Menurut sumber di kalangan GAM, Ishak Daud punya jam gerilya tinggi. Dia mulai bergerak sejak awal 1990. Kini basis perlawanan bersenjatanya menjadi benteng terkuat GAM, di sepanjang pesisir timur Aceh.
Di tangan sang panglima itu pula kini nasib 80 sandera sipil bergantung. Termasuk juru kamera RCTI Feri Santoro dan dua istri perwira TNI AU. Ishak berdalih, mereka bukan sandera GAM, tapi "diperiksa karena dugaan ulah mereka berbahaya bagi perjuangan". Pemeriksaan telah lama selesai, keputusan pun sudah diambil. "Kami segera membebas-kan mereka," kata Ishak. "Tahap per-tama sepuluh sandera, termasuk Feri dan dua orang istri anggota TNI AU," ia menambahkan.
Tapi, dengarlah syarat Ishak. "Tak perlu ada tim perunding. Kami cuma butuh gencatan senjata dua hari, dan ICRC menjemput para tahanan," ujarnya. Syarat ini tentu membuat tim negosiator dari Jakarta itu harus putar otak lebih keras. Apalagi sejak awal TNI memberikan tanda: tak setuju ada gencatan senjata. "Tak ada gencatan senjata. Kami hanya memberikan koridor keamanan," ujar juru bicara komando operasi TNI di Aceh, Letkol TNI Ahmad Yani Basuki. Lagi pula, kata dia, TNI tak punya kuasa menye-tujui gencatan senjata atau tidak. Urusan itu, menurut dia, ada di tangan tim Sudi Silalahi.
Soal negosiasi ini, batasannya memang sudah digariskan oleh pemerintah. Negiosiasi yang bakal dilakukan bukan berarti dialog dengan GAM. Tujuannya adalah bagaimana para sandera segera bebas. Jadi, kedua pihak hanya bicara tentang lokasi pembebasan, menentukan alat pengangkut darat atau udara, dan jumlah sandera yang akan dibebaskan. Tapi, sudahkah ada jalan terang? "Saya tak mau bicara, takut mengganggu proses," ujar Sudi, Jumat pekan silam.
ICRC juga tutup mulut. Lembaga itu secara hukum internasional memang punya wewenang mengurus sandera sipil di tengah konflik internal bersenjata yang terjadi di suatu negara. Tak banyak ke-terangan juga dari ICRC, yang terkenal lebih suka bekerja dalam diam itu. "Kami hanya bisa mengambil sandera kalau kedua pihak sudah mencapai kesepakatan," kata seorang staf ICRC di Jakarta.
Mar'ie Muhammad, bekas Menteri Keuangan itu, pun mendadak ikut pelit bicara. PMI dan ICRC, menurut Mar'ie, bukan merupakan tim negosiasi. Mereka cuma memfasilitasi TNI dan GAM dalam menyepakati pelaksanaan pembebasan sandera. "Kami tidak melakukan negosiasi," ujar Mar'ie. Sampai akhir pekan silam, Mar'ie mengaku telah menjalin kontak dengan "kedua belah pihak".
Menurut dia, tak ada masalah serius, kecuali satu hal: kendala teknis. Sayang, Mar'ie tak mau menjelaskan hambatan teknis itu. Tapi, dari proses sebelumnya, ganjalan itu toh gampang ditebak. Proses tawar-menawar berlangsung liat, karena pemerintah tak setuju permintaan gencatan senjata dua hari dari GAM.
Tapi mengapa pula harus dua hari? "Satu hari mengumpulkan sandera, dan sehari lagi mengantarkan mereka ke tempat yang bisa dijemput ICRC," Ishak Daud berdalih. GAM, kata dia, tak ingin melepas sandera di sembarang tempat. Mereka khawatir ada yang sengaja menghabisi sandera di jalan, lalu GAM yang menuai hujatan. Apalagi kalau tanpa jeda senjata, patroli dan penyergapan TNI bisa saja terjadi setiap saat. Artinya, nyawa gerilyawan GAM dan para sandera turut terancam. "Ini keputusan final, tak bisa ditawar lagi."
Gawatnya, permintaan itu tak masuk hitungan bagi TNI. Pendek kata, strategi operasi militer tak boleh membiarkan GAM menikmati jeda senjata. Urusan pembebasan sandera, kata Yani, lebih bergantung pada niat baik GAM. Beberapa waktu lalu, Yani menjelaskan, GAM toh bisa membebaskan William Nessen tanpa gencatan senjata. William Nesen adalah wartawan freelance Amerika Serikat yang pernah "hilang" bersama gerilyawan GAM. Dia kemudian bebas, setelah Kedutaan Besar Amerika turun tangan mendekati TNI dan GAM.
Di Jakarta, soal tawaran jeda senjata dari GAM itu ditanggapi keras oleh Wakil Presiden Hamzah Haz. Menurut dia, sikap TNI menolak tawaran itu sudah sejalan dengan pemerintah. Tuntutan jeda perang, kata Hamzah, tak perlu dilayani. "Yang penting, ada jaminan keamanan bagi tim perunding kedua belah pihak," ujarnya.
Sikap pemerintah dan GAM itu tampaknya seperti dua pacak batu karang. Keduanya seperti enggan bergeser sejengkal pun. Kalau begitu, tentu kerja misi tim perunding cukup berat. Setidaknya sampai Sabtu pekan lalu, baik GAM maupun TNI tampaknya belum menemukan kata sepakat. Mar'ie Muhammad sendiri tak berani mematok waktu sampai kapan tim ini akan bekerja. "Yang penting sandera selamat," ujarnya.
Akibatnya, banyak orang ketar-ketir menunggu hasil tim pembebasan sandera itu. M.M. Billah, Koordinator Masalah Aceh di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menyerukan tim negosiator harus bekerja lebih keras. Soalnya, sudah ada niat baik dari TNI maupun GAM untuk memberikan jalan pembebasan bagi sandera. "Dalam perang, tak satu pihak pun boleh menyandera warga sipil," ujarnya.
Nezar Patria, Zainal Bakri (Langsa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo