Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Politikus Busuk, Siapa Sudi...

11 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proses demokratisasi bukan perkara gampang. Terutama bila masa transisinya berawal dari rontoknya sebuah rezim otoriter yang sempat puluhan tahun berkuasa dan mekanisme perubahannya dilakukan melalui modus reformasi, bukan revolusi. Buktinya yang terjadi di berbagai negara berbeda-beda. Ada yang lumayan mulus seperti Spanyol, ada yang kacau seperti Yugoslavia, dan kebanyakan berada di antara keduanya. Kita tentu berharap dan berupaya agar Indonesia dapat melalui masa pancaroba ini dengan cukup lancar. Salah satu caranya adalah memperkuat kemampuan orang ramai dalam memilih wakil-wakilnya di parlemen. Juga dalam memilih langsung paket presiden dan wakilnya serta kepala daerah masing-masing. Untuk itu, informasi yang lengkap, relevan, dan akurat tentang para kandidat yang berlaga menjadi kebutuhan pokok. Bukan hanya kelebihan yang dimiliki, melainkan juga kelemahan-kelemahan dan masa lalunya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana cara mendapatkan data tersebut dan menyampaikannya kepada khalayak. Soal informasi tentang kelebihan tidaklah terlalu sulit. Ajang kampanye pada dasarnya adalah kesempatan masing-masing pihak untuk mempromosikan diri. Yang sulit adalah perkara membeberkan kelemahan dan dosa-dosa mereka. Sebab, siapa pun yang melakukannya akan terancam hujan gugatan perdata dari pihak yang merasa dirugikan, bahkan dapat dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melakukan pidana pencemaran nama baik atau pidana menyebarkan fitnah. Ancaman ini, di negara normal yang aparatnya punya integritas dan profesional, bukan persoalan besar. Selain hak kemerdekaan berpendapat dan berekspresinya dilindungi hukum, kebebasan persnya juga sangat dihormati. Sayangnya, Indonesia belum dapat dikatakan sebagai negara normal dan polisi, jaksa, serta pengadilannya ditengarai banyak yang rawan suap. Akibatnya, mereka yang punya banyak uang haram hasil korupsi atau kegiatan kejahatan lainnya amat mudah memperalat penegak hukum untuk menyeret para pengkritiknya ke meja hijau untuk dipailitkan, bahkan—bukan tidak mungkin—dipenjarakan. Kemungkinan seperti ini tentu harus ditanggapi serius, tapi sepatutnya tak menyurutkan nyali kalangan yang memimpikan Indonesia yang modern, sejahtera, adil, dan demokratis. Soalnya, risiko tak berani menyampaikan kebusukan para kandidat wakil rakyat dan pengelola negara kepada khalayak pemilih sungguh terlalu besar. Itu yang terjadi di Eropa pada awal abad ke-20, ketika Adolf Hitler terpilih di Jerman dan Benito Mussolini menang dalam pemilihan umum di Italia. Bahkan itu terulang lagi lebih dari setengah abad kemudian, saat Slobodan Milosevic terpilih menjadi Presiden Republik Serbia pada 1989. Indonesia tak boleh melakukan kesalahan seperti itu karena ongkosnya terlalu besar. Ini tak hanya dalam soal jutaan korban jiwa yang jatuh ataupun entah berapa triliun rupiah harta yang musnah, tapi juga keterpurukan martabat bangsanya. Karena itu, risiko kehilangan harta pribadi, bahkan dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan sesat, harus dihadapi demi menyampaikan informasi yang diperlukan publik dalam melaksanakan pemilihan umum yang berkualitas. Masyarakat berhak tahu siapa saja politikus busuk dan mengapa mereka dikategorikan busuk. Pengkategorian ini, harus diakui, bukan soal mudah. Keragaman kepentingan dalam masyarakat membuat upaya menyusun kriteria yang diterima semua pihak nyaris menjadi sebuah keniscayaan. Karena itu, sebaiknya upaya ini dilakukan secara bertahap dan secara hati-hati. Tahap pertama seharusnya dikonsentrasikan pada mengidentifikasi calon-calon yang ditengarai telah merugikan kepentingan publik seperti mencuri uang rakyat (korupsi) atau melakukan pelanggaran berat di bidang hak asasi manusia. Juga mereka yang diketahui gemar berbohong kepada publik dan yang punya reputasi anti-kemerdekaan berpendapat atau berekspresi dan ingin mengontrol pers. Semua ini adalah ciri utama sosok yang anti-kedaulatan rakyat dan hanya memanfaatkan kemudahan sistem demokrasi untuk meraih kekuasaan. Semua data itu harus diverifikasi secara saksama sebelum disebarkan kepada publik. Hak mereka yang dituduh untuk mengadakan pembelaan diri juga wajib dihormati. Karena itu, lebih baik mempublikasikan sedikit tuduhan tapi solid ketimbang banyak tapi kurang didukung bukti penunjang. Kalaupun segala kehati-hatian ini telah dilakukan, bukan berarti para politikus busuk akan urung menggugat atau melaporkan para penudingnya ke polisi. Namun, sekali lagi, risiko ini perlu dihadapi sebagai bagian dari tugas generasi. Sebab, harus diakui, risiko yang dihadapi generasi sebelum kita dalam merebut kemerdekaan sebenarnya jauh lebih berat. Mereka telah membuktikan kerelaan mengorbankan banyak hal, termasuk jiwa raga, untuk membebaskan bangsanya dari pihak penjajah yang didukung kekuatan militer yang baru saja menang dalam Perang Dunia Kedua. Padahal, ketika itu, kekuatan persenjataan mereka begitu sederhana dan jauh dari berimbang. Wajar kalau banyak korban yang gugur. Pengorbanan besar ini tentu tak boleh menjadi sia-sia. Kemerdekaan yang telah direbut harus dipertahankan, bahkan terus-menerus diperluas. Indonesia tak cukup hanya bebas dari penjajahan bangsa asing, tapi juga harus dibebaskan dari kemiskinan dan ketidakadilan. Karena itu, mari pilih politikus yang seperjuangan. Politikus busuk? Siapa sudi....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus