Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI belum siang ketika helikopter tumpangan para juru runding Palang Merah Internasional (ICRC) mendarat perlahan di Kenyam. Ini kampung kecil di pinggir hutan Papua, 15 menit naik helikopter dari Mapenduma, Kecamatan Tiom, Jayawijaya, yang menjadi pusat kendali Operasi Gabungan Pembebasan Sandera Peneliti Lorents '95. Henry Fournier, Kepala Misi ICRC Jakarta, turun dari heli dengan wajah kuyu. Lo, mengapa?
Hari itu, 9 Mei 1996, pembebasan 12 sandera—lima sandera peneliti biologi Indonesia dan tujuh peneliti asing dari Inggris, Belanda, dan Jerman—buntu. Upaya pembebasan damai ICRC yang melelahkan, selama hampir empat bulan, gagal total. Pesta babi yang diminta pentolan gerombolan, Kelly Kwalik, sebagai syarat pembebasan sehari sebelumnya, diingkari oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). "Kami minta ubi harus dapat ubi, tidak mungkin minta ubi dapat ketela," demikian kata-kata kiasan Daniel Kogoya, salah satu pimpinan OPM, ketika mengakhiri negosiasi.
OPM tetap berkukuh pada tuntutannya: pemerintah RI harus mengakui kemerdekaan Negara Melanesia Barat seperti tuntutan awal mereka. Maka, segera setelah ada izin dari otoritas tertinggi Jakarta dan persetujuan wakil negara-negara yang terlibat dalam negosiasi, delapan helikopter jenis Bell 412 dan Bolco 105 milik Dinas Penerbang AD bersegera mengangkut tim pemukul dari Kopassus menuju sasaran. Tujuannya, Mapenduma. Di sana para sandera disekap.
Brigjen Prabowo Subianto—saat itu komandan pasukan Baret Merah—turut serta dalam penyerbuan itu. Namun sandera yang sudah dibawa kabur gerombolan ke tengah hutan ternyata gagal ditemukan. Operasi pencarian pun dilanjutkan kembali.
Satuan pemburu jejak yang telah menguntit gerakan gerombolan langsung di hutan selama berbulan-bulan diperintahkan mempertajam daya endusnya. Unit ini terdiri dari anggota Kopassus dan tentara asal Papua yang sudah mendapat pelatihan memburu jejak dan survival di hutan. Hasil kuntitan tim inilah yang menentukan titik koordinat keberadaan para penyandera. Kegiatan mereka dibantu pengamatan udara dengan pesawat tanpa awak RPVs (remote pilot vehicles) yang dilengkapi sistem airborne thermal infrared sensing system (ATIRSS), penjejak panas yang disewa dari Singapura.
Maka, empat hari kemudian, satu unit (sembilan orang) pemukul Kopassus berhasil menjepit gerombolan. Upaya ini berhasil menyelamatkan sembilan sandera oleh tim pencegat dari Batalion 330, namun masih ada dua sandera yang menjadi korban bacokan OPM. Sedangkan dari OPM, delapan orang tewas dalam pertempuran jarak dekat. Sedangkan dari pihak TNI tercatat lima anggotanya gugur akibat jatuhnya sebuah helikopter saat penyerbuan. Inilah akhir drama penyanderaan selama 130 hari.
Operasi pembebasan itu memang dirancang melibatkan kesatuan Marinir, Batalion 330 Kostrad, dan Batalion Organik Kodam VIII Trikora sebagai pasukan penyekat. Pasukan ini stand-by di titik-titik yang sudah di-tentukan oleh geolog Wanadri, Tedy Kardin. "Ini operasi gabungan yang melibatkan banyak kesatuan," ujar Prabowo. Menurut Prabowo, mengutip statistik dari Federal Bureau of Investigation (FBI), pembebasan sandera dengan operasi bersenjata 50 persen akan gagal. Maka, jalan damai harus diprioritaskan. Di sinilah perlu keterlibatan pihak netral, termasuk Palang Merah Internasional. Menurut Prabowo, ICRC bisa dipercaya. "Saya sempat diejek beberapa senior saat itu: disuruh membebaskan kok malah negosiasi," ujar pensiunan jenderal bintang tiga yang sekarang menjadi pengusaha minyak itu.
Selama menunggu negosiasi damai itulah Prabowo melatih anak buahnya secara spartan, mengantisipasi bila sewaktu-waktu perundingan gagal. "Opsi pembebasan jalan kekerasan harus tetap disiapkan," katanya. Materi pelatihan terutama berupa pendaratan fast trooping dan fast raffling dari helikopter. Termasuk melatih para penguntit jejak musuh. Dalam masa latihan ini, seorang perwira sempat mengalami stress dan menembak mati 11 tentara dan lima orang sipil di lapangan terbang Timika sebelum dilumpuhkan.
Insiden seperti ini tentu patut dicegah agar tak berulang di Aceh. Namun, keberanian TNI melibatkan pihak ketiga di Mapenduma, sungguh layak ditiru.
Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo