Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memberi bingkisan di pandaan

Pangkowilhan ii, letjen widjojo sujono mengadakan pertemuan dan memberi penjelasan kepada 200 ulama di pandaan. diumumkan juga pembebasan 185 tahanan komando jihad. (nas)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA spanduk besar terpasang di pendopo Taman Candra Wilwatika 13 Juni lalu. Bunyinya: Kita ambil hikmah dari kekhilafan kita di masa lampau untuk kemaslahatan bersama di masa datang. Suasana sejuk mewarnai pertemuan itu, sesejuk udara Pandaan yang dijadikan ajang pertemuan silaturakhmi antara Pangkowilhan II Letjen Widjojo Sudjono dengan ulama dan cendekiawan Islam se Jawa Timur. Sekitar 200 ulama hadir memenuhi undangan Kowilhan II itu, mulai dari KH Bisri Syamsuri, Rois A'am PB NU yang berusia 83 tahun sampai pimpinan Pondok Termas yang letaknya nun di pojok daerah Pacitan. Pertemuan itu tampaknya dipersiapkan dengan cermat. Pengarah acaranya, misalnya, dipilih yang bahasa Arabnya sefasih ulama yang hadir. Dan Pangkowilhan II juga sudah siap dengan "bingkisan" untuk para pemuka agama itu: 185 tahanan "Komando Jihad" dilepaskan hari itu. Di DKI Jaya 105 orang, 38 di Jawa Barat, 19 di Jawa Tengah/Yogyakarta dan 23 orang di Jawa Timur. Belum semua dibebaskan. Ada 51 orang yang akan diadili dan 37 orang masih diproses. Tapi bingkisan yang dianggap terpenting adalah pernyataan Widjojo Sujono bahwa ABRI tidak lagi mempergunakan istilah Komando Jihad. Istilah ini, menurut Pangkowilhan I sebelumnya digunakan kawanan Warman untuk mngadu domba Rakyat dengan ABRI. Dengan nama "Komando Jihad" Warman dkk berhasil mengelabui hampir 400 orang di wilayah Kowilhan II yang sebagian besar sudah dibai'at. "Kalau ABRI mengejar mereka kita ditipu mereka dengan memberi kesan seolah-olah ABRI mengejar para mujahidin," kata Widjojo Sujono. Sedang kegiatan mereka ini bukan saja tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Islam, tapi masalah dasarnya memang masalah kejahatan. "Pesan dasar ajaran Islam adalah 'salamah' yang berarti damai. Kita sekalian faham istilah 'jihad' tidak layak disangkut pautkan dengan perbuatan kejahatan sebagaimana yang menamakan diri Komando Jihad ini," ujar Widjojo. Karena itu ABRI menggunakan nama lain, yakni "Kasus Teror Warman." Menurut penjelasan Pangkowilhan II. komplotan Warman inilah yang belakangan ini melakukan serangkaian kejahatan di Sumatera dan Jawa -- Antara lain pembunuhan Parmanto MA, Pembantu Rektor Universitas 11 Maret Sala, Hassan Bauw (mahasiswa IAIN Yogyakarta), perampokan di IAIN Yogyakarta, perampokan di pompa bensin Magelang dan di IKIP Malang. Siapakah Warman? Dinyatakan, Warman adalah bekas anggota gerombolan DI/TII Kartosuwiryo yang lari ke Sumatera Selatan setelah gerombolan ini tertumpas. Di daerah baru ini antara 1976-1978 Warman melakukan 16 aksi perampokan dan pembunuhan. Pada 1979 Warman dkk mengalihkan kegiatan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dan merencanakan pembunuhan pada para hakim dan jaksa yang mengadili Hispran, tokoh Komando Jihad. Menurut Widjojo Sujono, pembunuhan Parmanto dilakukan Warman dkk untuk mengacaukan keadaan, mengadu domba ABRI dengan rakyat dan menakut-nakuti masyarakat. Pelakunya 4 orang: Musa, Farid Gozali, Hanif dan Muhammad. Hanif ini kemudian diketahui nama samaran Hassan Bauw. Empat hari setelah penembakan Parmanto, petugas keamanan berhasil mengejar Farid yang mau IAIN ke Jakarta dengan bis. Farid kalah cepat dan berhasil ditembak lebih dulu dan tewas. Seorang temannya, Abdul Kadir Baraja, saat itu tertangkap juga. Tampaknya tertembaknya Farid dianggap Warman dkk sebagai hasil pengkhianatan Hassan Bauw hingga mahasiswa IAIN ini dijatuhi hukuman mati oleh 5 orang komplotannya. Tapi "peranan" apa yang dimainkan Hassan masih belum sepenuhnya jelas (lihat box). Menurut sumber TEMPO, sejak Pebuari 1979 Warman masuk kota Malang. Pria tegap berusia 51 tahun ini mengontrak rumah berdinding bambu di daerah Gading, di pinggiran kota. Ia tinggal di sini bersama seorang pria lain dan 2 wanita, seorang di antaranya mahasiswi IAIN Malang. Warman juga berhasil membina seorang mahasiswa IKIP Malang menjadi informan, kapan gaji para pegawai diambil. Pada 1 April, ketika masyarakat Malang merayakan HUT kotanya, terjadilah perampokan yang gagal terhadap uang gaji pegawai IKIP ini. Para petugas keamanan kemudian bisa melacaki jejak Warman. 4 April subuh ditentukan sebagai hari penangkapan. Warman yang baru selesai sembahyang rupanya mencium pengepungan ini. Lampu dalam rumah dimatikannya dan ia menembak lebih dulu, yang antara lain mengenai paha seorang pengepung. Tapi pistolnya kemudian macet hingga ia terpaksa menyerah. Seorang anggota komplotannya, Harun, yang tinggal di Kedung Kandang pagi itu juga tertangkap setelah dikejar ratusan penduduk yang ikut menggropyoknya. Oknumnya "Dari keberhasilan kita mengungkap, baik mereka yang terlibat dalam kejahatan ini maupun yang sadar, membuktikan bahwa niat yang menggerakkan kegiatan ini adalah sekedar kejahatan," ujar Widjojo. Tampaknya yang dimaksudnya: tidak ada motif politis dari komplotan ini. Widjojo juga sempat menampilkan salah seorang pimpinan komplotan ini bernama Sosromuchsar (60 tahun) yang mengungkap keterlibatannya dalam komplotan Warman. Selesai pidato, Muchsar menandatangani naskah tobat di depan Pangkowilhan. Keahlian Muchsar berpidato dan mengutip ayat-ayat menarik perhatian ulama yang hadir. "Tapi saya merasa sedih. Sepintar itu kok terjerumus," kata KH Abdullah Shiddiq, tokoh NU Jawa Timur. Abdullah Shiddiq yang mengatasnamakan ulama yang hadir, menyambut gembira kebijaksanaan Pangkowilhan yang memisahkan kejahatan tadi dengan, ajaran Islam. "Ulama Ja-Tim menyatakan Islam tidak pernah berontak. Kalau ada itu oknumnya. Kebetulan oknum itu pegang senjata. ABRI misalnya, sampai sekarang tidak ada yang mengatakan ABRI pernah berontak. Yang ada oknumnya. Kalau ada yang mengatakan ABRI pernah berontak, Pangkowilhan akaan marah besar, sebagaimana kami juga marah besar kalau dikatakan Islam berontak," ujarnya. Berita pembunuhan dan perampokan yang dikaitkan dengan Komando Jihad sangat memprihatinkan ulama. "Biasnya para ulama lantas deg-degan. Deg-degan kalau ketamuan," tuturnya. Seorang yang tertangkap misalnya mengaku pernah bertamu di rumah seorang kyai, lantas kyai ini ditangkap. "Kyai itu memang suka tamu. Tidak bisa memeriksa tamunya seperti Koramil. Bahkan tabu untuk menolak tamu yang ingin menginap di pesantrennya," kata Shiddiq yang disambut gelak tertawa hadirin. Widjojo tampaknya gcmbira karena semua berbicara terbuka. "Tanggapan para ulama itu ternyata bisa menghilangkan keprihatinan saya," ujarnya. Kalau kesempatan ini belum cukup, kami selalu bisa menerima bapak-bapak. Kami terbuka," tambahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus