DUA spanduk besar terpasang di pendopo Taman Candra Wilwatika
13 Juni lalu. Bunyinya: Kita ambil hikmah dari kekhilafan kita
di masa lampau untuk kemaslahatan bersama di masa datang.
Suasana sejuk mewarnai pertemuan itu, sesejuk udara Pandaan
yang dijadikan ajang pertemuan silaturakhmi antara
Pangkowilhan II Letjen Widjojo Sudjono dengan ulama dan
cendekiawan Islam se Jawa Timur. Sekitar 200 ulama hadir
memenuhi undangan Kowilhan II itu, mulai dari KH Bisri
Syamsuri, Rois A'am PB NU yang berusia 83 tahun sampai
pimpinan Pondok Termas yang letaknya nun di pojok daerah
Pacitan.
Pertemuan itu tampaknya dipersiapkan dengan cermat. Pengarah
acaranya, misalnya, dipilih yang bahasa Arabnya sefasih ulama
yang hadir. Dan Pangkowilhan II juga sudah siap dengan
"bingkisan" untuk para pemuka agama itu: 185 tahanan "Komando
Jihad" dilepaskan hari itu. Di DKI Jaya 105 orang, 38 di Jawa
Barat, 19 di Jawa Tengah/Yogyakarta dan 23 orang di Jawa
Timur. Belum semua dibebaskan. Ada 51 orang yang akan diadili
dan 37 orang masih diproses.
Tapi bingkisan yang dianggap terpenting adalah pernyataan
Widjojo Sujono bahwa ABRI tidak lagi mempergunakan istilah
Komando Jihad. Istilah ini, menurut Pangkowilhan I sebelumnya
digunakan kawanan Warman untuk mngadu domba Rakyat dengan
ABRI. Dengan nama "Komando Jihad" Warman dkk berhasil
mengelabui hampir 400 orang di wilayah Kowilhan II yang
sebagian besar sudah dibai'at. "Kalau ABRI mengejar mereka kita
ditipu mereka dengan memberi kesan seolah-olah ABRI mengejar
para mujahidin," kata Widjojo Sujono. Sedang kegiatan mereka ini
bukan saja tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Islam, tapi
masalah dasarnya memang masalah kejahatan. "Pesan dasar ajaran
Islam adalah 'salamah' yang berarti damai. Kita sekalian faham
istilah 'jihad' tidak layak disangkut pautkan dengan perbuatan
kejahatan sebagaimana yang menamakan diri Komando Jihad ini,"
ujar Widjojo. Karena itu ABRI menggunakan nama lain, yakni
"Kasus Teror Warman."
Menurut penjelasan Pangkowilhan II. komplotan Warman inilah yang
belakangan ini melakukan serangkaian kejahatan di Sumatera dan
Jawa -- Antara lain pembunuhan Parmanto MA, Pembantu Rektor
Universitas 11 Maret Sala, Hassan Bauw (mahasiswa IAIN
Yogyakarta), perampokan di IAIN Yogyakarta, perampokan di pompa
bensin Magelang dan di IKIP Malang.
Siapakah Warman? Dinyatakan, Warman adalah bekas anggota
gerombolan DI/TII Kartosuwiryo yang lari ke Sumatera Selatan
setelah gerombolan ini tertumpas. Di daerah baru ini antara
1976-1978 Warman melakukan 16 aksi perampokan dan pembunuhan.
Pada 1979 Warman dkk mengalihkan kegiatan ke Jawa Tengah dan
Jawa Timur dan merencanakan pembunuhan pada para hakim dan jaksa
yang mengadili Hispran, tokoh Komando Jihad.
Menurut Widjojo Sujono, pembunuhan Parmanto dilakukan Warman dkk
untuk mengacaukan keadaan, mengadu domba ABRI dengan rakyat dan
menakut-nakuti masyarakat. Pelakunya 4 orang: Musa, Farid
Gozali, Hanif dan Muhammad. Hanif ini kemudian diketahui nama
samaran Hassan Bauw.
Empat hari setelah penembakan Parmanto, petugas keamanan
berhasil mengejar Farid yang mau IAIN ke Jakarta dengan bis.
Farid kalah cepat dan berhasil ditembak lebih dulu dan tewas.
Seorang temannya, Abdul Kadir Baraja, saat itu tertangkap juga.
Tampaknya tertembaknya Farid dianggap Warman dkk sebagai hasil
pengkhianatan Hassan Bauw hingga mahasiswa IAIN ini dijatuhi
hukuman mati oleh 5 orang komplotannya. Tapi "peranan" apa yang
dimainkan Hassan masih belum sepenuhnya jelas (lihat box).
Menurut sumber TEMPO, sejak Pebuari 1979 Warman masuk kota
Malang. Pria tegap berusia 51 tahun ini mengontrak rumah
berdinding bambu di daerah Gading, di pinggiran kota. Ia tinggal
di sini bersama seorang pria lain dan 2 wanita, seorang di
antaranya mahasiswi IAIN Malang. Warman juga berhasil membina
seorang mahasiswa IKIP Malang menjadi informan, kapan gaji para
pegawai diambil.
Pada 1 April, ketika masyarakat Malang merayakan HUT kotanya,
terjadilah perampokan yang gagal terhadap uang gaji pegawai IKIP
ini. Para petugas keamanan kemudian bisa melacaki jejak Warman.
4 April subuh ditentukan sebagai hari penangkapan. Warman yang
baru selesai sembahyang rupanya mencium pengepungan ini. Lampu
dalam rumah dimatikannya dan ia menembak lebih dulu, yang antara
lain mengenai paha seorang pengepung. Tapi pistolnya kemudian
macet hingga ia terpaksa menyerah. Seorang anggota komplotannya,
Harun, yang tinggal di Kedung Kandang pagi itu juga tertangkap
setelah dikejar ratusan penduduk yang ikut menggropyoknya.
Oknumnya
"Dari keberhasilan kita mengungkap, baik mereka yang terlibat
dalam kejahatan ini maupun yang sadar, membuktikan bahwa niat
yang menggerakkan kegiatan ini adalah sekedar kejahatan," ujar
Widjojo. Tampaknya yang dimaksudnya: tidak ada motif politis
dari komplotan ini. Widjojo juga sempat menampilkan salah
seorang pimpinan komplotan ini bernama Sosromuchsar (60 tahun)
yang mengungkap keterlibatannya dalam komplotan Warman.
Selesai pidato, Muchsar menandatangani naskah tobat di depan
Pangkowilhan. Keahlian Muchsar berpidato dan mengutip ayat-ayat
menarik perhatian ulama yang hadir. "Tapi saya merasa sedih.
Sepintar itu kok terjerumus," kata KH Abdullah Shiddiq, tokoh NU
Jawa Timur.
Abdullah Shiddiq yang mengatasnamakan ulama yang hadir,
menyambut gembira kebijaksanaan Pangkowilhan yang memisahkan
kejahatan tadi dengan, ajaran Islam. "Ulama Ja-Tim menyatakan
Islam tidak pernah berontak. Kalau ada itu oknumnya. Kebetulan
oknum itu pegang senjata. ABRI misalnya, sampai sekarang tidak
ada yang mengatakan ABRI pernah berontak. Yang ada oknumnya.
Kalau ada yang mengatakan ABRI pernah berontak, Pangkowilhan
akaan marah besar, sebagaimana kami juga marah besar kalau
dikatakan Islam berontak," ujarnya.
Berita pembunuhan dan perampokan yang dikaitkan dengan Komando
Jihad sangat memprihatinkan ulama. "Biasnya para ulama lantas
deg-degan. Deg-degan kalau ketamuan," tuturnya. Seorang yang
tertangkap misalnya mengaku pernah bertamu di rumah seorang
kyai, lantas kyai ini ditangkap. "Kyai itu memang suka tamu.
Tidak bisa memeriksa tamunya seperti Koramil. Bahkan tabu untuk
menolak tamu yang ingin menginap di pesantrennya," kata Shiddiq
yang disambut gelak tertawa hadirin.
Widjojo tampaknya gcmbira karena semua berbicara terbuka.
"Tanggapan para ulama itu ternyata bisa menghilangkan
keprihatinan saya," ujarnya. Kalau kesempatan ini belum cukup,
kami selalu bisa menerima bapak-bapak. Kami terbuka,"
tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini