Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di Sini Proklamator Dimakamkan

Presiden Soeharto meresmikan pemugaran makam Bung Karno di Blitar. Anak-anak Bung Karno tidak ada yang hadir. luas makam 4.825 m2 dengan biaya Rp 540 juta. (nas)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK terasa terlalu panas siang itu, meski matahari kemarau hampir tepat di atas kepala. Di tangga teras makam Bung Karno dari batu pualam warna putih berkilat, Presiden Soeharto dan Nyonya Tien melepas sepatu. Dua tiga langkah lagi sampailah ke makam Proklamator yang lantainya juga dari batu pualam putih, berpagar kaca. Setelah berjongkok untuk berdoa, Presiden bangkit lalu menabur bunga. Ny. Tien sempat bersujud selama beberapa detik. Itu puncak acara peresmian pemugaran makam Bung Karno di Blitar, Kamis siang 21 Juni pekan lalu, tepat 9 tahun setelah Presiden pertama RI itu wafat. Makam itu tak bernisan hanya dibatasi semacam tanggul persegi empat memanjang. Di tengahnya ditaburi batu-batu kerikil. Beberapa senti di arah kepala diletakkan sebuah batu pualam warna hitam kebiru-biruan. Di situ tertulis huruf-hurur kuning keemasan: Di sini dimakamkan Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia. Lahir 6 Juni 1901, wafat 21 Juni 1970. Menapa bukan "Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" sebagaimana diwasiatkan oleh almarhum? Ibu Wardoyo, kakak Bung Karno, menjawab "Itu kehendak pemerintah." Keluarga Bung Karno barangkali cukup puas dengan sebuah karangan bunga ukuran 3 x « m bertuliskan "Bung Karno Penyambung Lidah Bangsa Indonesia" yang dipajang di ruang tamu rumah Ibu Wardoyo, Jalan Sultan Agung, Blitar, sumbangan PT Gunung Agung dan Yayasan Jalan Terang. Dalam keadaan sudah amat uzur, siang itu Ibu Wardoyo hadir dalam peresmian dengan upacara kenegaraan itu. Bersama suaminya, ia dibimbing oleh Marsoesi, Ketua DPD PDI Jawa Timur. Dari keluarga Bung Karno di Blitar, hanya suami-isteri itu saja yang hadir di makam. Adapun keluarga Jakarta, meski mendapat undangan, tak seorang hadir. Bisa dimaklum, sebab seperti pernah dinyatakan oleh Guntur, mereka "tidak ikut-ikutan dengan pemugaran itu." Meski begitu Guntur bukannya tak memanfaatkan keramaian malam menjelang peresmian di rumah Ibu Wardoyo. Ia mengirim surat minta diijinkan menjual buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno susunan Ny. Fatmawati. Adapun makam Bung Karno, diapit oleh makam kedua orangtuanya. Berbeda dengan makam anaknya, kedua makam ini bernisan. Juga dari batu pualam. Ibundanya, Ida Aju Njoman Rai, di sebelah kiri (timur), sedang ayahandanya, R. Soekemi Sosrodihardjo, di sebelah kanan (barat). Ketiganya terletak dalam cungkup (peristirahatan bagi yang telah tiada). Dengan arsitektur Jawa gaya joglo, bangunan utama itu disebut Bangsal Agung Luasnya 376 mÿFD. Lantai dan batu nisan dari batu pualam asal Besole dan Panggul, Jawa Timur, kayu jati dari Bojonegoro yang diukir di Sala. Penopang atap dari konstruksi baja, atap dari lempengan sirap tembaga asal Bandung dan Yogya. Hanya bahan kaca setebal 2 Cm masih harus diimpor. "Tapi pemugaran ini secara kebetulan dikerjakan oleh putera Indonesia asli, pribumi," kata Sudharmono. Puncak cungkupnya setinggi 17 meter, ditambah penangkal petir 1 meter. Bertingkat tiga, puncak itu lambang "ingat, percaya dan patuh kepada Tuhan." Puncak teratas disebut mustoko (kepala). Seluruh kompleks makam memang sarat dengan perlambang. "Bentuk dan wujud makam ini sengaja dirancang sedemikian rupa, yang memuat lambang-lambang yang mempunyai arti atau nilai yang dalam bagi kehidupan manusia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa," kata Presiden Soeharto dalam pidato peresmiannya. Misalnya tiga tingkat kompleks makam: pelataran atau plaza, teras sekeliling makam dan lantai makam. KETIGANYA lambang kehidupan manusia. Yaitu alam purwa (dalam kandungan), alam madya (lahir dan hidup di dunia) dan alam wasana (sesudah meninggal). Menurut Sudharmono, Presiden pribadi dan Ny. Tien sejak semula menaruh perhatian khusus, mulai dari falsafah dan lambang-lambang sampai bagian-bagian yang terpermen. Luas kompleks makam seluruhnya 4.852 mÿFD, dengan biaya Rp 540 juta dari anggaran Presiden yang dikelola Sekretariat Negara. Selain cungkup, ada tiga bangunan pendukung yang terdiri sebuah mesjid, bangsal dan gapura agung. Sementara mesjid diberi nama "R. Soekemi Sosrodihardjo," bangsal di seberangnya disebut "Ida Aju Njoman Rai." Luas mesjid hampir 159 mÿFD, gentengnya dari Cirebon berlapis gla~zuur berkilat. Di bangsal, yang berfungsi sebagai paseban (ruang tunggu), dilengkapi ruang sesaji. Seluruh kompleks makam memang merupakan paduan dari seni bangunan bermotif Jawa, Bali dan Islam. Yang Islam misalnya pagar kompleks makam yang berbentuk lengkungan semacam kubah. Antara mesjid dan paseban, terhampar plaza seluas 625 mÿFD dari batu andesit asal Muntilan, Jawa Tengah. Di sini ditanam 2 pohon beringin dan sebuah tiang bendera. Bangunan pendukung lainnya ialah gapura agung. Menghadap ke selatan, gapura ini mirip gapura Waringin Lawang di Mojokerto yang diperkirakan peninggalan Mahapatih Majapahit Gajah Mada. Ada lagi bangunan lain sebagai pelengkap. Yaitu rumah juru kunci yang bersebelahan dengan tempat peristirahatan umum serta halaman parkir. Ketiganya berada di luar gapura agung. Adapun taman yang terbentang di sebelah utara (belakang) makam, tampak menghijau seperti rencana semula. Kompleks makam Bung Karno yang disebut Astono Mulyo ini terletak di desa Bendogerit kecamatan Kota Blitar, di tepi Jalan Jenderal Sungkono (d/h Jalan Slamet Riyadi). Jalan sepanjang 1« km yang sudah diaspal itu tidak terlalu lebar. Dulunya jalanan kampung, kini sudah dibuatkan trottoir di kiri-kanannya, lengkap dengan 44 lampu mercury. Di seberang kompleks makam adalah kebun penduduk yang kurang terawat. Di sana-sini tampak rumpun bambu. Rumah penduduk umumnya berdinding gedeg. Bisa dimaklum bila para petugas begitu repot ketika ratusan ribu massa berjubel, berdesakan, di jalanan yang tidak terlalu lebar di depan kompleks makam itu. Sejak upacara peresmian dimulai jalan masuk ke makam sudah ditutup untuk umum. Tapi begitu rombongan Presiden meninggalkan kompleks makam, massa menyerbu masuk. DUA buah panser yang disediakan buat pengamanan selama Presiden meresmikan makam tak berdaya menghalau mereka. Apalagi para anggota Polri dan Hansip. Akhirnya didatangkan sepasukan pasukan Anti Huru-hara Yon 511 artileri Brawijaya. Memang tidak terjadi kekerasan. Pasukan itu hanya berjaga-jaga. Tapi seorang copet sempat tertangkap sementara ada pula yang luka parah kejatuhan tembok penduduk yang runtuh. Akhirnya massa bisa ditenangkan setelah diumumkan kesempatan berziarah masih ada selama tiga hari. Dan hari sudah berangsur sore. Sekitar jam 15.30, rombongan demi rombongan digiring masuk. Dibanding tahun lalu pada saat peletakan batu pertama, "demam Bung Karno" di hari peresmian kali ini tidak begitu terasa. Memang ada beberapa warung yang sengaja dibuka mendadak untuk menjual buku atau gambar-gambar Bung Karno, juga warung maka terutama sepanjang jalan menuju kompleks makam dan ke rumah Ibu Wardoyo. Apakah itu berarti penghormatan makin lama hanya soal mau keuntungan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus