TAK terasa terlalu panas siang itu, meski matahari kemarau
hampir tepat di atas kepala. Di tangga teras makam Bung Karno
dari batu pualam warna putih berkilat, Presiden Soeharto dan
Nyonya Tien melepas sepatu. Dua tiga langkah lagi sampailah ke
makam Proklamator yang lantainya juga dari batu pualam putih,
berpagar kaca.
Setelah berjongkok untuk berdoa, Presiden bangkit lalu menabur
bunga. Ny. Tien sempat bersujud selama beberapa detik. Itu
puncak acara peresmian pemugaran makam Bung Karno di Blitar,
Kamis siang 21 Juni pekan lalu, tepat 9 tahun setelah Presiden
pertama RI itu wafat. Makam itu tak bernisan hanya dibatasi
semacam tanggul persegi empat memanjang. Di tengahnya ditaburi
batu-batu kerikil.
Beberapa senti di arah kepala diletakkan sebuah batu pualam
warna hitam kebiru-biruan. Di situ tertulis huruf-hurur kuning
keemasan: Di sini dimakamkan Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan
dan Presiden Pertama Republik Indonesia. Lahir 6 Juni 1901,
wafat 21 Juni 1970. Menapa bukan "Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia" sebagaimana diwasiatkan oleh almarhum?
Ibu Wardoyo, kakak Bung Karno, menjawab "Itu kehendak
pemerintah." Keluarga Bung Karno barangkali cukup puas dengan
sebuah karangan bunga ukuran 3 x « m bertuliskan "Bung Karno
Penyambung Lidah Bangsa Indonesia" yang dipajang di ruang tamu
rumah Ibu Wardoyo, Jalan Sultan Agung, Blitar, sumbangan PT
Gunung Agung dan Yayasan Jalan Terang.
Dalam keadaan sudah amat uzur, siang itu Ibu Wardoyo hadir dalam
peresmian dengan upacara kenegaraan itu.
Bersama suaminya, ia dibimbing oleh Marsoesi, Ketua DPD PDI Jawa
Timur. Dari keluarga Bung Karno di Blitar, hanya suami-isteri
itu saja yang hadir di makam.
Adapun keluarga Jakarta, meski mendapat undangan, tak seorang
hadir. Bisa dimaklum, sebab seperti pernah dinyatakan oleh
Guntur, mereka "tidak ikut-ikutan dengan pemugaran itu."
Meski begitu Guntur bukannya tak memanfaatkan keramaian malam
menjelang peresmian di rumah Ibu Wardoyo. Ia mengirim surat
minta diijinkan menjual buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno
susunan Ny. Fatmawati.
Adapun makam Bung Karno, diapit oleh makam kedua orangtuanya.
Berbeda dengan makam anaknya, kedua makam ini bernisan. Juga
dari batu pualam. Ibundanya, Ida Aju Njoman Rai, di sebelah kiri
(timur), sedang ayahandanya, R. Soekemi Sosrodihardjo, di
sebelah kanan (barat). Ketiganya terletak dalam cungkup
(peristirahatan bagi yang telah tiada).
Dengan arsitektur Jawa gaya joglo, bangunan utama itu disebut
Bangsal Agung Luasnya 376 mÿFD. Lantai dan batu nisan dari batu
pualam asal Besole dan Panggul, Jawa Timur, kayu jati dari
Bojonegoro yang diukir di Sala. Penopang atap dari konstruksi
baja, atap dari lempengan sirap tembaga asal Bandung dan Yogya.
Hanya bahan kaca setebal 2 Cm masih harus diimpor. "Tapi
pemugaran ini secara kebetulan dikerjakan oleh putera Indonesia
asli, pribumi," kata Sudharmono. Puncak cungkupnya setinggi 17
meter, ditambah penangkal petir 1 meter. Bertingkat tiga, puncak
itu lambang "ingat, percaya dan patuh kepada Tuhan." Puncak
teratas disebut mustoko (kepala).
Seluruh kompleks makam memang sarat dengan perlambang. "Bentuk
dan wujud makam ini sengaja dirancang sedemikian rupa, yang
memuat lambang-lambang yang mempunyai arti atau nilai yang dalam
bagi kehidupan manusia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa," kata
Presiden Soeharto dalam pidato peresmiannya. Misalnya tiga
tingkat kompleks makam: pelataran atau plaza, teras sekeliling
makam dan lantai makam.
KETIGANYA lambang kehidupan manusia. Yaitu alam purwa (dalam
kandungan), alam madya (lahir dan hidup di dunia) dan alam
wasana (sesudah meninggal). Menurut Sudharmono, Presiden pribadi
dan Ny. Tien sejak semula menaruh perhatian khusus, mulai dari
falsafah dan lambang-lambang sampai bagian-bagian yang
terpermen.
Luas kompleks makam seluruhnya 4.852 mÿFD, dengan biaya Rp 540 juta
dari anggaran Presiden yang dikelola Sekretariat Negara.
Selain cungkup, ada tiga bangunan pendukung yang terdiri sebuah
mesjid, bangsal dan gapura agung. Sementara mesjid diberi nama
"R. Soekemi Sosrodihardjo," bangsal di seberangnya disebut "Ida
Aju Njoman Rai." Luas mesjid hampir 159 mÿFD, gentengnya dari
Cirebon berlapis gla~zuur berkilat. Di bangsal, yang berfungsi
sebagai paseban (ruang tunggu), dilengkapi ruang sesaji.
Seluruh kompleks makam memang merupakan paduan dari seni bangunan
bermotif Jawa, Bali dan Islam. Yang Islam misalnya pagar kompleks
makam yang berbentuk lengkungan semacam kubah.
Antara mesjid dan paseban, terhampar plaza seluas 625 mÿFD dari batu
andesit asal Muntilan, Jawa Tengah. Di sini ditanam 2 pohon beringin
dan sebuah tiang bendera. Bangunan pendukung lainnya ialah gapura
agung. Menghadap ke selatan, gapura ini mirip gapura Waringin Lawang
di Mojokerto yang diperkirakan peninggalan Mahapatih Majapahit
Gajah Mada.
Ada lagi bangunan lain sebagai pelengkap. Yaitu rumah juru kunci
yang bersebelahan dengan tempat peristirahatan umum serta
halaman parkir. Ketiganya berada di luar gapura agung. Adapun
taman yang terbentang di sebelah utara (belakang) makam, tampak
menghijau seperti rencana semula.
Kompleks makam Bung Karno yang disebut Astono Mulyo ini terletak
di desa Bendogerit kecamatan Kota Blitar, di tepi Jalan Jenderal
Sungkono (d/h Jalan Slamet Riyadi). Jalan sepanjang 1« km yang
sudah diaspal itu tidak terlalu lebar. Dulunya jalanan kampung,
kini sudah dibuatkan trottoir di kiri-kanannya, lengkap dengan
44 lampu mercury.
Di seberang kompleks makam adalah kebun penduduk yang kurang
terawat. Di sana-sini tampak rumpun bambu. Rumah penduduk
umumnya berdinding gedeg.
Bisa dimaklum bila para petugas begitu repot ketika ratusan
ribu massa berjubel, berdesakan, di jalanan yang tidak terlalu
lebar di depan kompleks makam itu. Sejak upacara peresmian
dimulai jalan masuk ke makam sudah ditutup untuk umum. Tapi
begitu rombongan Presiden meninggalkan kompleks makam, massa
menyerbu masuk.
DUA buah panser yang disediakan buat pengamanan selama Presiden
meresmikan makam tak berdaya menghalau mereka. Apalagi para
anggota Polri dan Hansip. Akhirnya didatangkan sepasukan
pasukan Anti Huru-hara Yon 511 artileri Brawijaya.
Memang tidak terjadi kekerasan. Pasukan itu hanya berjaga-jaga.
Tapi seorang copet sempat tertangkap sementara ada pula yang
luka parah kejatuhan tembok penduduk yang runtuh.
Akhirnya massa bisa ditenangkan setelah diumumkan kesempatan
berziarah masih ada selama tiga hari. Dan hari sudah berangsur
sore.
Sekitar jam 15.30, rombongan demi rombongan digiring masuk.
Dibanding tahun lalu pada saat peletakan batu pertama, "demam
Bung Karno" di hari peresmian kali ini tidak begitu terasa.
Memang ada beberapa warung yang sengaja dibuka mendadak untuk
menjual buku atau gambar-gambar Bung Karno, juga warung maka
terutama sepanjang jalan menuju kompleks makam dan ke rumah Ibu
Wardoyo. Apakah itu berarti penghormatan makin lama hanya soal
mau keuntungan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini