MINGGU-minggu ini, mendadak nama Bung Karno disebut-sebut lagi. Benarkah ia Marxis, komunis, dan otak G30-S/PKI? Pertanyaan itu muncul setelah orang membaca buku Siapa Menabur Angin, Akan Menuai Badai susunan Soegiarso Soerojo, 57 tahun, pemimpin umum dan pemimpin redaksi majalah Sarinah Selasa pekan lalu, buku setebal 578 halaman yang dicetak cukup mewah lengkap dengan kulit tebal itu diperkenalkan kepada pers. Dalam buku seharga Rp 25.000 itu, pensiunan perwira intelijen yang pernah bertugas di Pusat Penerangan AD dengan pangkat terakhir kolonel itu membeberkan pula sejarah PKI, paham Marxisme dan taktik strategi komunis. Lengkap dengan cerita mengenai tiga kali pemberontakan PKI yang gagal: 1926, 1948, 1965. Tapi titik perhatian buku ini ialah dominasi politik PKI di tahun 1960-an, kemudian meletusnya G30-S/PKI dan bukti-bukti penyelewengan Presiden Soekarno yang sekaligus dinilai sebagai dalang G-30-S/ PKI itu sendiri. Dengan subjudulnya yang provokatif, G30S-PKI Dan Peran Bung Karno, sampul buku ini bergambar Presiden I RI Soekarno, Karl Marx, dan Ketua CC PKI D.N. Aidit. Di situ Soegiarso mengungkap sosok Bung Karno yang "sudah sehati densran PKI": yang melahirkan ajaran marhaenisme sebagai "Marxisme yang diterapkan di Indonesia" yang mengetahui rencana dan terlibat G-30-S/PKI. Menurut Soegiarso, G30S adalah kudeta yang dilakukan PKI dengan dukungan dari luar dan dari dalam negeri, di samping dukungan diam-diam dari kepala negara yang kebetulan juga seorang Marxis konsekuen sejak muda. "Kita tidak bisa percaya bahwa Bung Karno, pada hari tuanya bukan mencari ketenteraman hidup, malahan nekat bersama PKI konspirasi Gestapu. Mungkin karena ia yakin, ia akan keluar lagi sebagai pemenang. Yakin bahwa datangnya Sosialisme itu pasti demikian menurut ilmu Marxis," tulisnya. Untuk itu, Soegiarso mengemukakan banyak bukti, antara lain kutipan dari berbagai dokumen yang disita dari orang-orang PKI. Juga, pengakuan yang diperoleh dari hasil interogasi militer serta dokumen yang diperolehnya dari sumber Bakin. Di samping itu, ia mengutip berbagai laporan dan temuan yang disimpulkan dari sidang-sidang Mahmilub yang mengadili para tokoh PKI serta yang terlibat dalam kup Gerakan 30 September 1965 itu. Tidak semua bahan yang dipakainya itu otentik memang, karena sebagian berupa informasi yang didengarnya dari berbagai sumber, yang tampaknya tidak dicek ulang. Dari kesimpulan itulah Soegiarso kemudian menguraikan peristiwa G-30-S/PKI, meski secara kurang sistematis. Di samping tidak mengecek sumber informasinya, Soegiarso tampaknya juga kurang cermat. Misalnya, ia menulis, Mohammad Hatta mula-mula juga Marxis, sewaktu ia masih menjadi mahasiswa di Belanda. Lalu, menurut Soegiarso, Hatta bersama J. Nehru dipecat dari Komunisme Internasional oleh Stalin karena dianggap revisionis. Padahal, waktu itu satu-satunya orang Indonesia yang diketahui menjadi anggota Komintern adalah Tan Malaka. Tujuan Soegiarso menulis buku itu ialah untuk meluruskan sejarah. Ia mengaku tidak memvonis tokoh proklamator Bung Karno, melainkan hanya untuk menyampaikan sisi lain Bung Karno, yang selama ini ditutup-tutupi. "Sudah waktunya sejarah nasional kita diluruskan, ditulis secara obyektif, agar bisa dijadikan cermin bagi pemimpin bangsa di kemudian hari, juga bagi generasi muda yang belum mengenal sejarah nasional mereka yang sebenarnya," tulis Soegiarso dalam bukunya. Buku ini diterbitkan sendiri oleh penulisnya, yang kini mengetuai Press Foundation of Asia untuk Indonesia, merangkap Direktur Program Adinegoro/PWI Pusat. "Tak satu pun penerbit yang bersedia menerbitkan. Bahkan Sarinah sendiri tidak berani" katanya. Dengan modai Rp 50 juta, awal September lalu Siapa Menabur dicetak 7.500 eksemplar. "Pemesannya kebanyakan kalangan instansi pemerintah. Pemda DKI juga memesan banyak," tambahnya. Kini dipersiapkan cetak ulang untuk 10.000 eksemplar. Ketika mempersiapkannya pada 1976 keadaan tidak memungkinkan menerbitkan buku semacam itu karena bisa dituduh "merusakkan stabilitas nasional". Niat menerbitkan buku kembali menggebu usai pemilu tahun lalu, ketika ia menyaksikan kampanye PDI Pada hari terakhir. Ia menyaksikan "serba merah bagai "banjir darah" mewarnai jalanan. Anak-anak muda berkaus merah, berikat kepala merah, mengibarkan bendera merah. "Saya jadi ingat ketika PKI memberontak di Madiun pada 1948," tuturnya. Dan ketika gambar Bung Karno diusung, diarak, disanjung, ia melihat ada bahaya. Ia merasa tahu persis bagaimana Bung Karno yang sebenarnya. Terutama ketika pada 1965 dikaryakan sebagai salah seorang redaksi, kemudian pemimpin redaksi harian Angkatan Bersenjata yang diterbitkan oleh pihak Angkatan Darat untuk menghadapi pers komunis ketika itu. Karena itulah ia menulis buku ini. Jabatannya sebagai perwira intel rupanya menyebabkan ia bisa memanfaatkan "data-data lama yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu dan sama sekali belum terungkap kepada khalayak, lebih-lebih bagi generasi muda". Maka, ia pun kembali menengok naskahnya, berikut segudang dokumentasi dan kliping, yang katanya, "hanya sebagian kecil saja dari Bakin." Bisa diduga, buku Soegiarso ini mengundang badai cukup ramai. Bukan hanya tuduhannya bahwa Bung Karno seorang komunis dan dalang G-30-S/PKI, tapi juga bagaimana Bung Karno menerima dan menggunakan uang negara dengan dalih "Dana Revolusi", yang dibeberkan Soegiarso berikut bukti penerimaan dengan tanda tangannya, tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Kamis pekan lalu, misalnya, induk karangan harian Merdeka pimpinan B.M. Diah menuding tujuan buku ini ingin "tunjuk hidung bahwa Bung Karno itu Marxis" serta untuk "mengusik arwah Bung Karno yang sedang beristirahat dengan damai nun di sana, Blitar". Lalu tajuk rencana itu menuduh, "Mengingat file-file intelijen termasuk rahasia negara, dapatlah dikatakan bahwa dijajarkannya isi file-file itu dalam buku ini adalah tindakan yang harus disebut sebagai pembocoran rahasia negara". Merdeka, yang menjelang G-30-S/PKI dikenal sebagai koran yang berani menentang PKI, juga menanyakan, jika masalah Bung Karno yang Marxis dipersoalkan banyak orang yang perlu dan dapat ditunjuk batang hidungnya bila cap ideologis itu mau digunakan. "Apakah Sjahrir atau Adam Malik bukan Marxis? Apakah orang-orang yang beraliran sosial-demokrat, Trotskis, dan masih banyak lainnya bukan Marxis ?" Reaksi juga datang dari Eki Syachruddin. Dalam surat pembaca yang dimuat Kompas Sabtu pekan lalu, salah seorang tokoh demonstran KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) pada 1966 itu tidak sependapat bila Bung Karno disebut tidak "bersih lingkungan" seperti yang dikatakan Soegiarso, karena di masa mudanya pernah bergaul erat dengan tokoh-tokoh komunis seperti Muso, Alimin, dan Semaun, sebab sama-sama mondok di rumah H.O.S. Tjokroaminoto. "Kalau begitu jalan pikiran pengarang buku tersebut, maka Brigjen. Soepardjo (G-30-S/PKI), yang hidup sehari-harinya berada di lingkungan ABRI, harus dianggap bersih. Sebab, ABRI, sebagai lingkungan, tak seorang pun mengatakannya kotor," tulisnya. Di lain bagian, Eki menulis, "Kalau Bung Karno dianggap kotor, maka orang-orang yang berada di lingkungan Bung Karno harus juga dianggap kotor." Misalnya Jenderal A.H. Nasution dan Almarhum Jenderal Ahmad Yani. Rachmawati, anak ketiga Bung Karno, tentu juga berang. Kalau cara berpikir Soegiarso diikuti, sejarah pergerakan nasional kita harus dijungkir-balikkan. "Sebab, semuanya berbau komunis," katanya. Kalau Bung Karno dianggap komunis, "negara kita telah diproklamirkan seorang komunis." Bagi Rachma, anggapan bahwa Bung Karno mendalangi G-30-S/PKI tidak masuk akal. "Bagaimana mungkin seorang presiden yang sah mengkup dirinya sendiri?" ujarnya berapi-api. Soegiarso sendiri kemudian, menjawab pertanyaan pers, tidak menganggap bukunya sebagai buku sejarah, namun sebagai "karya jurnalistik, investigative report dari seorang wartawan". Diakuinya, data yang digunakannya tidak dicek dengan sumber lain. "Data yang saya paparkan saya yakini kebenarannya dan keotentikannya," ujarnya. Sejarahwan Taufik Abdullah menilai Siapa Menabur Angin menggunakan bahan-bahan yang biasa dipakai untuk menyusun buku sejarah kontemporer: berita koran, kenangan seseorang, penyidikan intelijen, dokumen. Tapi semuanya itu harus diuji kebenarannya. Mengenai kutukan terhadap PKI, menurut Taufik, tidak ada masalah. "Orang Indonesia yang mempunyai kesadaran politik pasti mengutuknya. Tapi mengenai Bung Karno, ini baru masalah," katanya. Sebab, apa pun yang dikatakan orang mengenai Bung Karno, dia adalah orang besar. Dan nasib orang besar selalu akan dilihat dengan kaca mata ekstrem. "Apalagi Bung Karno pernah menjadi tokoh paling sentral dalam sejarah kita," tambahnya. Kebesaran Bung Karno masih terasa sampai kini, bahkan telah menjadi tokoh mitos. Generasi muda yang kini tidak mengenal percaturan politik tahun 1960-an, dan mungkin merasa terlalu sesak di zaman pembangunan yang penuh perhitungan, sarat dengan anjuran tepat guna dan berdayaguna seperti sekarang, maka tokoh romantis yang prosais dan sekaligus puitis seperti Bung Karno, menurut Taufik Abdullah, bisa menjadi dambaan orang. Dan bagi pengagumnya, ia bukan lagi tokoh sejarah, melainkan tokoh mitos. "Nah, buku ini tampaknya digunakan sebagai sarana demitologi. Tapi bagi saya, Bung Karno adalah tokoh sejarah yang banyak berjasa, sekaligus banyak melakukan kesalahan. Ia manusia biasa," katanya. Benarkah ia seorang Marxis dan komunis ? Menurut Taufik Abdullah, dulu, di masa pergerakan nasional menentang penjajahan Belanda tahun 1920-an, selain cita-cita nasionalisme, muncul pula internasionalisme, baik Pan Islamismenya Jamaluddin al-Afghani maupun sosialisme/komunismenya Karl Marx. Kaum pergerakan yang tidak berakar pada agama menoleh ke literatur Barat dan ketemu dengan Marxisme, yang kemudian dijadikan panji-panji melawan penindasan dan penjajahan. Marxisme bisa menjadi ideologi yang melahirkan partai komunis. Paham itu suatu saat bisa jadi fashion, semacam inspirasi, karena orang mengagumi gagasan Marx mengenai keadilan dan kesama-rataan. Ketika Revolusi Oktober 1917 baru saja menang, banyak pemuda Amerika mengagumi dan berkunjung ke Rusia. Marxisme juga merupakan teori untuk menganalisa sejarah dan keadaan masyarakat. "Marxisme, sebagai ideologi dan teori, jelas kita tolak. Tapi Bung Karno sejak dulu memang mengaku sebagai seorang Marxis. Dia bilang, Dari segi identitas, saya seorang nasionalis, jiwa saya Islam, cara saya melihat untuk mengerti adalah Marxis. Jadi, bisa dipastikan, dulu dia bertolak dari Marxisme sebagai fashion, sebagai teori. Tapi bahwa ia menjadikan Marxisme sebagai ideologi, saya tidak tahu. Sebab, ideologi adalah sistematisasi pandangan hidup untuk mendapatkan suatu strategi. Itu yang menjadi krusial, apakah Bung Karno menjadikan Marxisme sebagai perangkat sistematisasi dari strateginya," tambahnya. Yang jelas, penulisan sejarah bertolak dari suatu concern atau keprihatinan -- keprihatinan intelektual atau politik. "Kalau buku ini bertolak dari keprihatinan intelektual akan sangat bermanfaat karena mengundang dialog. Dalam setiap dialog, tidak pernah satu kata diterima begitu saja. Tapi kalau bertolak dari keprihatinan politik, maka dialog akan terhenti, karena akan ditanggapi secara politik pula," kata Taufik. Soegiarso sendiri bersedia menerima kritik. "Kalau ada orang membantah dengan menyodorkan bukti-bukti baru, silakan," katanya. Meski menuding Bung Karno terlibat G-30-S/PKI, ia sepakat dengan Hatta, yang menyatakan bahwa Bung Karno belum dapat dinyatakan bersalah karena belum sempat diajukan ke Mahmilub dan belum dinyatakan bersalah oleh hakim. Budiman S. Hartoyo, Budiono Darsono, Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini