KOMPLEKS SMA Negeri di Jalan Belitung, Bandung, ribut. Jumat
siang pekan lalu, di papan pengumuman sekolah itu muncul
selebaran gelap mengkritik rencana praseleksi masuk perguruan
tinggi. "Di Indonesia bukan hanya golongan tertentu saja yang
diberi kesempatan maju," begitu antara lain bunyi tempelan itu,
yang ditulis pada kertas stensil dengan spidol merah dan hitam.
Kompleks itu, pagi digunakan SMAN III dan V, siang oleh SMAN IX
dan XII -- keempatnya dikenal sebagai sekolah favorit.
Di Jakarta, para orangtua murid gelisah. Banyak yang kemudian
datang ke sekolah, menanyakan perihal praseleksi. "Saya belum
bisa menjelaskan apa-apa kepada mereka," tutur N.T. Padidi,
kepala SMAN I, Jakarta, kepada TEMPO. "Belum ada ketentuan resmi
dari Kanwil P & K."
Dan Kamis siang, telepon kantor Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi terus berdering. "Dari para rektor, menanyakan soal
praseleksi," kata Sekretaris Direktur Jenderal.
Apa sebenarnya yang disebut praseleksi, hingga ikhwalnya
demikian meributkan semua pihak? Inilah rencana baru Departemen
P & K untuk menggantikan sistem tes masuk proyek perintis.
Sistem proyek perintis yang dimulai 1977, kini dipandang tak
lagi efisien. Dan penyelenggaraannya diperkirakan akan semakin
repot. Mei yang lalu, misalnya, tes Proyek Perintis I diikuti
sekitar 230 ribu lulusan SMA, sehingga panitia di Jakarta dan
Yogyakarta menemui kesulitan mencari tempat tes. Padahal yang
mau diterima cuma sekitar 16 ribu.
Pun, tes proyek perintis dinilai "tidak begitu obyektif," kata
Harsja Bachtiar, ketua Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K). Maksudnya, tes tidak menjamin
bahwa calon mahasiswa yang diterima memang punya otensi untuk
menyelesaikan kuliahnya. "Bukannya tak mungkin yang diterima
adalah hasil karbitan," kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah, Darji Darmodiharjo. Dan Doddy Tisna Amidjaja,
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, menyodorkan angka putus
kuliah yang cukup mengagetkan:rata-rata 25%. Ketiga pejabat
eselon I Departemen P & K itu, Kamis pekan lalu, memberikan
keterangan dalam pertemuan pers, perihal praseleksi.
Memang akan ada perubahan dengan rencana praseleksi itu. Bila
kini setiap pemegang ijazah SMA bisa ikut tes proyek perintis,
nanti hanya yang lulus praseleksi saja yang boleh ikut. Yang
menjadi batu uji dalam sistem baru itu bukan cuma nilai ijazah,
tapi juga angka rapor di kelas I dan II SMTA. Dari hasil
perpaduan kedua nilai itu, lulusan SMTA akan dibagi tiga
golongan. Golongan dengan nilai paling tinggi adalah mereka yang
boleh masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes. Direncanakan
jumlahnya sekitar 10% dari daya tampung perguruan tinggi negeri.
Golongan II, mereka yang harus lewat tes. Dan golongan III
adalah yang sama sekali tak boleh mengikuti tes masuk perguruan
tinggi negeri untuk program sarjana. Golongan terakhir ini
disarankan untuk memilih pendidikan yang lebih praktis, seperti
program diploma, atau pendidikan politeknik.
"Sebenarnya sistem praseleksi merupakan gabungan cara tes proyek
perintis I dan II," tutur Doddy Tisna. "Merupakan perpaduan
sistem tes dan panduan bakat." Tujuannya, lanjut Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi itu, "Ya, agar sistem seleksi lebih
akurat." Memang, berdasar berbagai pengamatan dan penelitian,
sistem panduan bakat sendiri tampaknya dianggap cukup berhasil
(lihat Antara Rapor dan Tes Masuk).
Pada dasarnya, para kepala sekolah SMA yang dihubungi TEMPO
menilai baik rencana praseleksi ini. Bisa mendorong pihak
sekolah meningkatkan mutu pendidikannya. Tapi, mereka juga
melihat kesulitan pelaksanaannya. Misalnya, kenyataan bahwa mutu
SMTA kini belum merata. Joni, siswa kelas III SMAN III, Bandung,
memberikan buktinya. "Saya dulu di SMA Solok, Sumatera Barat,
mendapat nilai rata-rata 8. Kini, di SMA Bandung cuma 6," kata
Joni yang baru tahun lalu, ketika duduk di kelas II pindah dari
Solok ke Bandung. Dan ia merasa, meski nilai rapor berbeda,
kemampuannya tetap saja.
Tapi, kemungkinan itu bukannya tak diperhitungkannya. Doddy
Tisna menjelaskan, "nanti, ranking angka rapor hanya didasarkan
di sekolah masing-masing, bukannya dibandingkan dengan sekolah
lain." Maksudnya, bila di sebuah sekolah nilai tertinggi 6 ya
itulah yang tertinggi. Sama derajatnya dengan nilai tertinggi di
sekolah lain, meski angkanya 8. Meski tetap sulit diketahui,
apakah yang terpandai di satu sekolah bobotnya sama dengan yang
di sekolah lain.
Masalahnya kemudian, bagaimana mesti menyeleksi yang harus masuk
golongan I, II, atau III. Seperti dikatakan Padidi, kepala SMAN
I, Jakarta, "Ada siswa di kelas I danII rapornya bagus, tapi di
kelas III ia jatuh karena terlibat narkotika. Lalu, bagaimana
cara membandingkan potensi anak itu dengan mereka yang di kelas
I dan II ogah-ogahan sehingga nilainya pas-pasan, tapi di kelas
III berprestasi karena berubah jadi rajin belajar." Untuk contoh
ini, Doddy, Harsja maupun Darji belum bisa menjawab.
Agaknya dibutuhkan kriteria praseleksi yang benar-benar bisa
dipertanggungjawabkan. Tugas ini dibebankan pada satu tim, yang
terdiri dari unsur Ditjen Pendidikan Tinggi, Ditjen Pendidikan
Dasar dan Menengah, dan BP3K. Mereka baru akan bekerja pekan
ini, meski Rabu lalu telah mengundang beberapa rektor untuk
memperoleh masukan ide. "Tim itu pula yang akan menentukan
apakah sekolah menengah kejuruan termasuk yang akan
dipraseleksi, atau cuma SMA," kata Harsja.
Agaknya tim itu tidak akan membicarakan lulusan SMTA yang masuk
golongan III. "Golongan ini cuma dianjurkan untuk masuk program
diploma," kata Pater Drost kepala SMA Kanisius, Jakarta. "Tapi
bagaimana kalau mereka tak mau. Harus bagaimana?" Pater itu
bukannya mengada-ada. Kebanyakan siswa SMA bercita-cita menjadi
Sarjana. "Kalau perlu kami akan mengulang di kelas III saja,
daripada tak boleh ikut tes masuk perguruan tinggi," kata Heru,
siswa kelas III SMA Negeri di Tumpang, 25 km dari Kota Malang,
Jawa Timur.
Tim itu mungkin juga tak akan menyinggung masalah efek
psikologis akibat penggolongan itu. "Dari segi hak untuk ikut
tes, penggolongan itu seperti memvonis," tutur Singgih Gunarsa,
doktor psikologi UI. "Ini mengecewakan bagi yang terkena, dan
bisa timbul macam-macam reaksi."
Sekarang saja reaksi itu telah muncul, misalnya di SMA di
Bandung itu. Dan sejumlah siswa SMA yang diwawancarai TEMPO,
semuanya melihat rencana praseleksi "tidak adil", seperti kata
Mutia, 19 tahun, siswa SMA UISU, Medan. "Bagaimana adil, kalau
sebelum bertanding sudah dinyatakan kalah atau menang," kata
cewek ini.
Seorang siswa SMAN I, Yogyakarta, yang tak mau disebut namanya
karena dia masih kelas II, mencoba menganalisa sistem baru ini.
"Akan ada gap antara yang dinyatakan pandai, cukup, dan bodoh,"
katanya. "Dan gap itu bisa memancing sifat agresivitas kami.
Bisa jadi kami lantas baku hantam antarsekolah atau antarteman
sendiri."
Sebenarnya dengan sistem proyek perintis pun, secara tak
langsung ada penggolongan antara yang pandai dan bodoh. Namun,
para siswa itu agaknya tak rela jika pertandingan cuma dilakukan
setengah jalan. Bagi mereka, agaknya, tes masuk perguruan tinggi
merupakan kesempatan terakhir yang menentukan, bukan nilai rapor
atau angka ijazah. Dan untuk memenangkan pertandingan terakhir
itu, tak menjadi masalah apabila mereka harus kehilangan uang
pendaftaran tes yang Rp 6 ribu itu.
Hajjah Sariani S.A., kepala SMA UISU Medan, melihat sistem
praseleksi bisa menghemat dana masyarakat. "Dari 30 ribu peserta
tes masuk USU," katanya, "cuma 2.500 yang diterima. Dengan uang
pendaftaran yang Rp 6 ribu, Rp 165 juta hilang percuma." Yang
juga tak dihitung para siswa itu ialah besarnya subsidi
pemerintah kepada mahasiswa perguruan tinggi negeri, yang akan
sia-sia bila si mahasiswa putus kuliah. Pertanyaannya kini,
seberapa jauh sistem praseleksi -- yang kriteria dan aturan
pelaksanaannya masih akan ditentukan -- bisa menjaring calon
yang unggul, sehingga angka putus kuliah bisa ditekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini