Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mencari calon unggul?

Proyek perintis akan diganti dengan sistem praseleksi yang ditentukan juga oleh nilai rapor. timbul reaksi dari pelajar.(pdk)

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMPLEKS SMA Negeri di Jalan Belitung, Bandung, ribut. Jumat siang pekan lalu, di papan pengumuman sekolah itu muncul selebaran gelap mengkritik rencana praseleksi masuk perguruan tinggi. "Di Indonesia bukan hanya golongan tertentu saja yang diberi kesempatan maju," begitu antara lain bunyi tempelan itu, yang ditulis pada kertas stensil dengan spidol merah dan hitam. Kompleks itu, pagi digunakan SMAN III dan V, siang oleh SMAN IX dan XII -- keempatnya dikenal sebagai sekolah favorit. Di Jakarta, para orangtua murid gelisah. Banyak yang kemudian datang ke sekolah, menanyakan perihal praseleksi. "Saya belum bisa menjelaskan apa-apa kepada mereka," tutur N.T. Padidi, kepala SMAN I, Jakarta, kepada TEMPO. "Belum ada ketentuan resmi dari Kanwil P & K." Dan Kamis siang, telepon kantor Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi terus berdering. "Dari para rektor, menanyakan soal praseleksi," kata Sekretaris Direktur Jenderal. Apa sebenarnya yang disebut praseleksi, hingga ikhwalnya demikian meributkan semua pihak? Inilah rencana baru Departemen P & K untuk menggantikan sistem tes masuk proyek perintis. Sistem proyek perintis yang dimulai 1977, kini dipandang tak lagi efisien. Dan penyelenggaraannya diperkirakan akan semakin repot. Mei yang lalu, misalnya, tes Proyek Perintis I diikuti sekitar 230 ribu lulusan SMA, sehingga panitia di Jakarta dan Yogyakarta menemui kesulitan mencari tempat tes. Padahal yang mau diterima cuma sekitar 16 ribu. Pun, tes proyek perintis dinilai "tidak begitu obyektif," kata Harsja Bachtiar, ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K). Maksudnya, tes tidak menjamin bahwa calon mahasiswa yang diterima memang punya otensi untuk menyelesaikan kuliahnya. "Bukannya tak mungkin yang diterima adalah hasil karbitan," kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Darji Darmodiharjo. Dan Doddy Tisna Amidjaja, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, menyodorkan angka putus kuliah yang cukup mengagetkan:rata-rata 25%. Ketiga pejabat eselon I Departemen P & K itu, Kamis pekan lalu, memberikan keterangan dalam pertemuan pers, perihal praseleksi. Memang akan ada perubahan dengan rencana praseleksi itu. Bila kini setiap pemegang ijazah SMA bisa ikut tes proyek perintis, nanti hanya yang lulus praseleksi saja yang boleh ikut. Yang menjadi batu uji dalam sistem baru itu bukan cuma nilai ijazah, tapi juga angka rapor di kelas I dan II SMTA. Dari hasil perpaduan kedua nilai itu, lulusan SMTA akan dibagi tiga golongan. Golongan dengan nilai paling tinggi adalah mereka yang boleh masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes. Direncanakan jumlahnya sekitar 10% dari daya tampung perguruan tinggi negeri. Golongan II, mereka yang harus lewat tes. Dan golongan III adalah yang sama sekali tak boleh mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri untuk program sarjana. Golongan terakhir ini disarankan untuk memilih pendidikan yang lebih praktis, seperti program diploma, atau pendidikan politeknik. "Sebenarnya sistem praseleksi merupakan gabungan cara tes proyek perintis I dan II," tutur Doddy Tisna. "Merupakan perpaduan sistem tes dan panduan bakat." Tujuannya, lanjut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi itu, "Ya, agar sistem seleksi lebih akurat." Memang, berdasar berbagai pengamatan dan penelitian, sistem panduan bakat sendiri tampaknya dianggap cukup berhasil (lihat Antara Rapor dan Tes Masuk). Pada dasarnya, para kepala sekolah SMA yang dihubungi TEMPO menilai baik rencana praseleksi ini. Bisa mendorong pihak sekolah meningkatkan mutu pendidikannya. Tapi, mereka juga melihat kesulitan pelaksanaannya. Misalnya, kenyataan bahwa mutu SMTA kini belum merata. Joni, siswa kelas III SMAN III, Bandung, memberikan buktinya. "Saya dulu di SMA Solok, Sumatera Barat, mendapat nilai rata-rata 8. Kini, di SMA Bandung cuma 6," kata Joni yang baru tahun lalu, ketika duduk di kelas II pindah dari Solok ke Bandung. Dan ia merasa, meski nilai rapor berbeda, kemampuannya tetap saja. Tapi, kemungkinan itu bukannya tak diperhitungkannya. Doddy Tisna menjelaskan, "nanti, ranking angka rapor hanya didasarkan di sekolah masing-masing, bukannya dibandingkan dengan sekolah lain." Maksudnya, bila di sebuah sekolah nilai tertinggi 6 ya itulah yang tertinggi. Sama derajatnya dengan nilai tertinggi di sekolah lain, meski angkanya 8. Meski tetap sulit diketahui, apakah yang terpandai di satu sekolah bobotnya sama dengan yang di sekolah lain. Masalahnya kemudian, bagaimana mesti menyeleksi yang harus masuk golongan I, II, atau III. Seperti dikatakan Padidi, kepala SMAN I, Jakarta, "Ada siswa di kelas I danII rapornya bagus, tapi di kelas III ia jatuh karena terlibat narkotika. Lalu, bagaimana cara membandingkan potensi anak itu dengan mereka yang di kelas I dan II ogah-ogahan sehingga nilainya pas-pasan, tapi di kelas III berprestasi karena berubah jadi rajin belajar." Untuk contoh ini, Doddy, Harsja maupun Darji belum bisa menjawab. Agaknya dibutuhkan kriteria praseleksi yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Tugas ini dibebankan pada satu tim, yang terdiri dari unsur Ditjen Pendidikan Tinggi, Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, dan BP3K. Mereka baru akan bekerja pekan ini, meski Rabu lalu telah mengundang beberapa rektor untuk memperoleh masukan ide. "Tim itu pula yang akan menentukan apakah sekolah menengah kejuruan termasuk yang akan dipraseleksi, atau cuma SMA," kata Harsja. Agaknya tim itu tidak akan membicarakan lulusan SMTA yang masuk golongan III. "Golongan ini cuma dianjurkan untuk masuk program diploma," kata Pater Drost kepala SMA Kanisius, Jakarta. "Tapi bagaimana kalau mereka tak mau. Harus bagaimana?" Pater itu bukannya mengada-ada. Kebanyakan siswa SMA bercita-cita menjadi Sarjana. "Kalau perlu kami akan mengulang di kelas III saja, daripada tak boleh ikut tes masuk perguruan tinggi," kata Heru, siswa kelas III SMA Negeri di Tumpang, 25 km dari Kota Malang, Jawa Timur. Tim itu mungkin juga tak akan menyinggung masalah efek psikologis akibat penggolongan itu. "Dari segi hak untuk ikut tes, penggolongan itu seperti memvonis," tutur Singgih Gunarsa, doktor psikologi UI. "Ini mengecewakan bagi yang terkena, dan bisa timbul macam-macam reaksi." Sekarang saja reaksi itu telah muncul, misalnya di SMA di Bandung itu. Dan sejumlah siswa SMA yang diwawancarai TEMPO, semuanya melihat rencana praseleksi "tidak adil", seperti kata Mutia, 19 tahun, siswa SMA UISU, Medan. "Bagaimana adil, kalau sebelum bertanding sudah dinyatakan kalah atau menang," kata cewek ini. Seorang siswa SMAN I, Yogyakarta, yang tak mau disebut namanya karena dia masih kelas II, mencoba menganalisa sistem baru ini. "Akan ada gap antara yang dinyatakan pandai, cukup, dan bodoh," katanya. "Dan gap itu bisa memancing sifat agresivitas kami. Bisa jadi kami lantas baku hantam antarsekolah atau antarteman sendiri." Sebenarnya dengan sistem proyek perintis pun, secara tak langsung ada penggolongan antara yang pandai dan bodoh. Namun, para siswa itu agaknya tak rela jika pertandingan cuma dilakukan setengah jalan. Bagi mereka, agaknya, tes masuk perguruan tinggi merupakan kesempatan terakhir yang menentukan, bukan nilai rapor atau angka ijazah. Dan untuk memenangkan pertandingan terakhir itu, tak menjadi masalah apabila mereka harus kehilangan uang pendaftaran tes yang Rp 6 ribu itu. Hajjah Sariani S.A., kepala SMA UISU Medan, melihat sistem praseleksi bisa menghemat dana masyarakat. "Dari 30 ribu peserta tes masuk USU," katanya, "cuma 2.500 yang diterima. Dengan uang pendaftaran yang Rp 6 ribu, Rp 165 juta hilang percuma." Yang juga tak dihitung para siswa itu ialah besarnya subsidi pemerintah kepada mahasiswa perguruan tinggi negeri, yang akan sia-sia bila si mahasiswa putus kuliah. Pertanyaannya kini, seberapa jauh sistem praseleksi -- yang kriteria dan aturan pelaksanaannya masih akan ditentukan -- bisa menjaring calon yang unggul, sehingga angka putus kuliah bisa ditekan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus