HUKUMAN tampar pipi mungkin memang sudah tak ada di Akabri. Karena itulah, ini masih mungkin lagi, calon taruna yang mendaftar tahun ini boleh berkacamata, asal minusnya tak lebih dari satu dioptri. Artinya, tak ada bahaya kaca pecah oleh tangan instruktur. Syarat lain, tentu seperti biasa, nilai ujiannya (NEM) harus empat angka di atas syarat normal, 42 (rata-rata 7) Bagi pendidikan militer di Indonesia, kelonggaran ini terbilang ganjil. Dalam sejarah akademi militer yang sudah puluhan tahun itu, inilah yang pertama kali mereka yang berkacamata boleh masuk Akabri. Mengapa? Apakah penderita rabun jauh ini tak kerepotan jika harus berlatih fisik atau bertempur di medan perang? Agaknya tak begitu berpengaruh. Setidaknya menurut Laksamana Muda Wahyono, yang hingga Kamis pekan lalu menjabat Komandan Jenderal Akabri. Katanya, keputusan menerima penderita miopia itu diambil setelah Akabri belajar dari pengalaman lapangan beberapa pasukan tempur luar negeri. "Ternyata mereka tak menemui kesulitan mengikuti kegiatan militer," kata Wahyono. Terus terang, kata doktor administrasi bisnis lulusan Amerika Serikat ini, bahwa ide taruna berkacamata itu menyontek Amerika, yang sudah lama membuka pintu bagi calon berlensa mata minus. Bahkan tak cuma mereka yang minus satu, tapi seperti yang disyaratkan akademi angkatan laut di Anapolis, Maryland, penderita miopia hingga 3,5 masih bisa diterima. "Pada prinsipnya, selama daya lihat mata bisa dikoreksi menjadi normal, tak jadi masalah," kata juru bicara akademi militer West Point, AS, Richard Arndt, kepada wartawan TEMPO Bambang Harymurti. Hanya saja, di Amerika taruna berkacamata tak dapat semaunya memilih jurusan. Gorge Benson, mantan atase militer kedutaan besar Amerika di Jakarta, misalnya, cuma boleh mengikuti pendidikan pilot pesawat pengebom dan pengangkut ketika mendapat kesempatan mengikuti sekolah penerbang angkatan darat. "Tak bisa menjadi pilot pemburu lantaran kondisi mata saya," kata lulusan West Point itu. Dalam hal pilihan penjurusan inilah, Indonesia tampaknya lebih maju dari Amerika, setidaknya menurut Wahyono. Katanya, kendati berkacamata, taruna Indonesia bebas mengambil jurusan. "Tak ada batasan," kata Wahyono. Mereka akan ditempatkan di segala penjuru. Baik administratif, logistik, maupun pasukan tempur, asal prestasinya memenuhi syarat. Lantas, apakah Akabri sudah sedemikian sulit mencari calon taruna yang berotak encer tanpa kacamata? Spekulasi ini tentu dibantah Wahyono. Katanya, Akabri tak pernah kekurangan calon yang punya NEM tinggi. Buktinya, ketika persayaratan NEM mulai dicantumkan setahun lalu, peminat ke Akabri tak berkurang. Hanya susut 7,5% dari tahun sebelumnya. "Kami tak kekurangan siswa yang pandai," katanya. Kendati begitu, ia mengakui bahwa selama ini sebenarnya banyak bibit taruna yang potensial, yang cerdas, tapi tak bisa terjaring hanya karena kacamata ini. Padahal, dengan tuntutan profesionalisme yang begitu deras seperti sekarang, lulusan Akabri ditantang lebih tanggap, lebih cepat menganalisa persoalan. Dan itu semua membutuhkan otak cemerlang. Apalagi, kalau lulusan lembaga pendidikan militer itu diakui setingkat dengan sarjana strata 1 lainnya. Keterbatasan memilih taruna yang bermata sehat tapi pintar juga diakui oleh Marsekal Pertama (Purn.) Raman R. Saman. Dokter mata yang sudah sepuluh tahun ikut menyeleksi calon taruna Akabri itu menilai banyak kandidat yang terpeleset hanya karena matanya. "Sayang sekali mereka harus dibuang padahal otaknya jempolan," katanya. Dari pengamatannya, pada zaman cukup makan seperti sekarang ini, justru makin sulit mencari anak muda yang tak menderita rabun jauh. Soalnya, menurut teori Raman, anak-anak yang gizinya bagus tak cuma badannya yang jadi bongsor, tapi sumbu lensa matanya ikut memanjang. Dan karena jarak titik api tetap tak berubah, "Mereka jadi rabun." Menurut dokter yang ikut menyeleksi calon astronaut Indonesia itu, sesungguhnya kerabunan tak harus mengganggu. Soalnya, di Indonesia kini telah tersedia teknologi bedah laser excimer untuk mengoreksi mata minus. "Dari minus 10 bisa jadi nol," kata Raman, yang sudah mengoperasi ratusan penderita rabun -- dan sukses. Hebatnya, sepanjang tak lebih dari minus tiga, tindakan operasi itu bersih tak meninggalkan bekas. "Saya yakin," kata Raman, "teman-teman penyeleksi di Magelang sulit membedakan mata yang saya operasi atau tidak." Namun pengelola Akabri atau komandan lapangan mesti hati-hati dengan taruna atau anggota berkacamata. Itu yang lebih didengar di bawah, rupanya. Ketua Panitia Penguji Badan Personel Angkatan Darat yang bertanggung jawab atas seleksi taruna Angkatan Darat, Dokter Edy Harun, mengatakan bahwa Angkatan Darat dan Angkatan Udara belum bisa menerima taruna berkacamata. Anehnya, "penolakan" ini belum diketahui Wahyono, yang sudah keburu diganti akhir pekan ini. Yang jelas, katanya, "Setiap angkatan memang punya kriteria tersendiri." Lantas, siapa suruh berkacamata?Dwi S. Irawanto, Rihad Wiranto (Jakarta), dan Bambang Harymurti (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini