Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencermati Peringkat Bertajuk Dolar

Puluhan ribu mahasiswa lulus UMPTN tahun ini. Mereka boleh merasa beruntung, tapi kualitas perguruan tinggi negeri patut diwaspadai.

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKAN ini, 73.798 lulusan sekolah lanjutan atas diterima lewat ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). Mereka bangga tentu saja. Lulus UMPTN memang membawa gengsi tersendiri. Selain itu, biaya kuliah di universitas negeri jauh lebih murah ketimbang di perguruan swasta. Dalam kondisi ekonomi yang terpuruk, masuk perguruan tinggi negeri hampir sama dengan menang lotre.

Namun, para "pemenang lotre" kelak bisa saja merasa kecele. Soalnya, kualitas perguruan tinggi negeri (PTN) tidaklah secemerlang nama besar yang disandangnya selama ini. Menurut survei majalah Asiaweek edisi 30 Juni 2000, peringkat PTN di Indonesia—dibandingkan dengan institusi serupa di berbagai negara di Asia—berada pada posisi yang kurang terhormat. Survei Asiaweek tahun lalu juga mencatat rendahnya kualitas universitas negeri di Indonesia.

Empat universitas negeri terkemuka berada di bawah peringkat 50. Memang prestasi Universitas Indonesia (UI), Jakarta, naik 9 tingkat dari peringkat 70 ke 61, Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, naik empat tingkat ke 73, dan Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, naik 4 jenjang ke peringkat 75.

Ada beberapa penyebab utama yang bisa menurunkan peringkat. Pertama, sumber daya manusianya, kedua, keterbatasan dananya, ketiga, ketiadaan riset dan hasil karya yang dimuat dalam jurnal internasional, dan keempat, keterbatasan penggunaan internet. Hal itu diakui oleh semua pemimpin universitas yang diwawancarai TEMPO. Menurut Rektor Undip Profesor Eko Budihardjo, pihaknya terus berbenah diri untuk menaikkan mutu akademis. Dalam kaitan dengan itu, Undip hanya menerima sekitar 2.500 mahasiswa atau 4,5 persen dari 50 ribu calon mahasiswa yang mendaftar.

Yang tak kurang memprihatinkan adalah minimnya karya ilmiah dosen yang dipublikasikan di jurnal internasional. Menurut Rektor Unair Profesor Soedarto, hal itu disebabkan oleh rendahnya kemampuan para pengajar dalam berbahasa Inggris. Katanya, "Kemampuan yang rendah membuat para dosen kurang berani mengekspos hasil penelitiannya di kancah internasional." Padahal, hasil riset dosen-dosen Fakultas Kedokteran Unair tak kalah dengan karya pakar luar negeri. Hal itulah yang membedakan pakar Indonesia dengan pakar Malaysia, Singapura, dan India. "Mereka tidak punya hambatan bahasa. Jadi, indikator Asiaweek kurang tepat—membandingkan PTN Indonesia dalam situasi berbeda dengan perguruan tinggi pemerintah di luar negeri," ujarnya.

Soal sumber keuangan, Profesor Eko menilainya sebagai tolok ukur yang berbau kapitalis. "Kalau dikaitkan pada kemampuan keuangan, jelas kurang adil. Tolok ukur mereka dolar AS. Pasti kita selalu terpuruk di bawah," tutur Eko. Rektor Unair mengaku, gaji profesor di kampusnya, kalau dihitung dalam dolar, cuma US$ 100. "Ini sangat rendah sekali. Wong, 100 dolar AS itu hanya cukup untuk sewa kamar hotel semalam," ujarnya.

Kini Unair menggalang dana dari iuran orang tua mahasiswa. Unair juga bekerja sama dengan sejumlah perusahaan dan institusi pemerintah, seperti "menyewakan" master dan doktor untuk dimanfaatkan dalam pelaksanaan otonomi daerah, di samping memacu tingkat kecerdasan para birokrat.

Selain itu, penggunaan internet diakui masih terbatas. Menurut Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Profesor Doktor Ichlasul Amal, PTN-nya mengalami penurunan peringkat dari 67 ke 68 karena internet bandwidth tiap mahasiswa sangat rendah. "Kemampuan mahasiswa kami masih 64," kata Amal, "UI dan ITB sudah di atas 500. Apalagi dibandingkan dengan universitas luar negeri. Mereka sudah menggunakan sistem fiber optic, sedangkan kita masih analog."

Walau kalah prestasi, menurut Rektor UGM, beberapa hal sebenarnya bisa memotivasi komunitas kampus untuk bekerja lebih keras. Katanya, penurunan peringkat antara lain juga karena banyaknya universitas baru yang menyodok ke peringkat lebih tinggi. Universitas Pertanian Malaysia, misalnya, yang berubah menjadi Universitas Putra Bangsa, langsung masuk ke peringkat 40. Padahal, "Mereka masih meminta tenaga pengajar dari UGM. Dan medical science-nya baru saja berdiri. Jadi, masih lebih bagus milik PTN di Indonesia," demikian komentar Amal.

Institut Teknologi Bandung (ITB) sampai kini merupakan satu-satunya perguruan tinggi Indonesia yang masuk dalam kelompok Science and Technology Schools. Pada survei awal, ITB masuk peringkat 19, lalu naik ke 14, turun ke 15, dan turun lagi ke peringkat 21. Menurut Pembantu Rektor I ITB Widiyadnyana Merati, pihaknya terus melakukan perbaikan. Komposisi pengajarnya, misalnya, dari 1.300 dosen, kini 750 orang sudah bertitel S-3 alias doktor. Widi optimistis, ITB pada lima tahun mendatang akan bertengger di 10 besar.

Sebaliknya, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Satryo Soemantri Brodjonegoro, merasa pesimistis. "Lihat dari anggarannya yang kecil, bagaimana kita mau menggenjot mutu?" ia balik bertanya. "Bertahan saja sudah syukur. Yang penting tak terlalu jatuh amat," katanya mengingatkan.

Ahmad Taufik, Bandelan A., R. Fadjri, dan Rinny Srihartini (daerah)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus