Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencoblos itu wajib?

Ada ulama yang berpendapat bahwa mencoblos tanda gambar dalam pemilu hukumnya wajib. ada juga yang mengatakan tidak. menurut abdurrahman wahid, me- laksanakan pemilu wajib secara moral.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada ulama yang menyebut mencoblos dalam pemilu hukumnya wajib. Ada yang tidak. Bagi Abdurrahman Wahid, wajib secara moral. MENCOBLOS dalam pemilu, wajib atau tidak? Hampir setahun menjelang Pemilu 1992, pertanyaan ini sekarang muncul lagi. Ada yang berpendapat, mencoblos tanda gambar dalam pemilu hukumnya fardu kifayah. Artinya, kalau sebagian umat Islam sudah melakukannya, yang lain boleh tidak. Pendapat seperti ini diungkapkan K.H. Sahal Mahfudz, Rais Syuriah PBNU, ketika menghadiri acara halal bihalal keluarga besar K.H. Bisri Sjansuri, bekas Rais Am NU, di pondok pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur, tiga hari sesudah Lebaran. Pendapat Kiai Sahal ini tidak baru. Ia pernah mengucapkan hal yang sama menjelang Pemilu 1987. Tapi, sebagaimana biasa, tanggapan pun datang bermunculan. Antara lain, tanggapan dari K.H. As'ad Umar, pimpinan pesantren Darul Ulum Jombang, dan K.H. Shohib Bisri, pengasuh pesantren Mambaul Ma'arif Denanyar. Menurut harian Surabaya Post 1 Mei silam, kedua ulama NU ini mengatakan, "Mencoblos tanda gambar adalah fardu ain." Dengan kata lain, wajib hukumnya bagi setiap orang Islam untuk mencoblos. Bagi Shohib Bisri, alasannya cukup kuat. Ia merujuk ke Quran, hadis ushul fikih, dan alasan sejarah. Melalui Quran, misalnya, ia melirik pada ayat athiiulloha wa athiiur rosuula wa uulil amri minkum -- taatilah Allah dan rasulnya, dan ulil amri di antara kamu (Surat An Nisa, ayat 59). Ayat ini, oleh Shohib Bisri, dijadikan dasar hukum untuk menunjukkan pentingnya adanya waliyyul amri (penguasa pemerintahan) dalam sebuah negara. Karena itulah, menurut Shohib Bisri, setiap umat Islam wajib memilihnya. Tentu maksudnya memilih wakil rakyat melalui pemilu, yang antinya memilih kepala negara. Arti peningnya seorang kepala negara juga tergambar dengan dikukuhkannya kedudukan pimpinan negara menjadi Waliyul Amri Dharuris Bis Syaukati -- penguasa yang berkuasa penuh dalam satu pemerintah -- dalam Muktamar NU pada 1955. Pendapat ini oleh K.H. As'ad Umar diperkuat dengan ungkapan Khalifah Umar bin Khatab yang cukup populer, "Umat Islam harus berjamaah, jemaah harus disertai pemimpin, dan kepemimpinan harus disertai ketaatan." Fatwa yang dikeluarkan oleh kedua orang ulama dari Jombang itu sebenarnya bukanlah hal baru di kalangan Nahdlatul Ulama. Jauh sebelum itu, Muktamar Nahdlatul Ulama 1953 telah memutuskan: "Wajib hukumnya bagi umat Islam untuk ikut pemilu, baik untuk DPR maupun Konstituante." Ini dikeluarkan NU, yang ketika itu merupakan salah satu partai politik Islam, untuk menarik dukungan umat Islam dalam Pemilihan Umum 1955. Usaha serupa pernah juga dilakukan K.H. Bisri Sjansuri, Rais Am NU dan PPP, untuk menarik umat Islam memilih Partai Persatuan Pembangunan melalui Surat Edaran pada Januari 1977. Isinya kurang lebih: "... perjuangan PPP ... termasuk jihad fi sabillilah atau berjuang di jalan Allah. Karena itu ... wajib hukumnya bagi setiap peserta Pemilu 1977 dari kalangan umat Islam ... menusuk tanda gambar Partai Persatuan Pembangunan ...." Tentu saja, maksud fatwa K.H. Shohib Bisri dan K.H. As'ad Umar tidak sama dengan fatwa K.H. Bisri Sjansuri atau hasil Muktamar NU 1953. Fatwa kedua ulama Jombang itu, seperti diakui mereka, justru ada karena khawatir terhadap fatwa K.H. Sahal Mahfudz yang mengatakan fardu kifayah hukumnya untuk mencoblos tanda gambar dalam pemilihan umum. "Bila hukum nyoblos dinyatakan fardu kifayah banyak orang bisa menjadi golput," kata Shohib Bisri. Kiai As'ad Umar menandaskan, memilih lebih baik dari tidak memilih. Pendapat ini ia sandarkan pada dalil ushul fiqh: menghindari hal merusak lebih utama dari mencari hal yang baik. Jadi, kata As'ad Umar, tidak ada alasan bagi umat Islam untuk meninggalkan pemilu, selama itu dijalankan sesuai dengan konsensus. "Karena sistem pemilu merupakan konsensus, kita harus konsekuen melaksanakannya," kata As'ad Umar. K.H. Sahal Mahfudz, tokoh yang diserang, tetap tidak melihat landasan yang mengatakan mencoblos tanda gambar itu hukumnya fardu ain. Ia juga tidak melihat, bila fardu kifayah diterapkan untuk pencoblosan tanda gambar berarti akan memberi peluang untuk golput. Justru, katanya, hukum fardu kifayah itu tidak memberi peluang sama sekali untuk golput. Dalam hal ini, ia melihat hukum fardu kifayah untuk mencoblos tanda gambar berbeda dengan fardu kifayah dalam menyalatkan jenazah, yang bisa gugur hukumnya bila ada orang lain yang melaksanakannya. Berbeda dengan pemilu. Menurut K.H. Sahal, orang yang tidak melaksanakan haknya untuk mencoblos, di samping tidak mendapat pahala juga merugi. Di sini, sang kiai melihat hukum fardu kifayah itu disesuaikan dengan kepentinan. Artinya, hukum itu tak hanya berlaku seperti dalam menyalatkan jenazah. Memang, tidak semua orang bisa memahami sikap Kiai Sahal itu. Di antara yang bisa memahaminya adalah Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Tanfidziyah PB NU. Bahkan, Gus Dur mengakui bahwa ia berani menegaskan makna "fikiyah" dari pernyataan itu. Namun, ia tidak mau berpanjang-panjang dalam soal itu. Masalahnya, kata Abdurrahman Wahid, jangan dilihat dari sudut pandang agama saja, tapi juga dari peraturan negara yang mempunyai kekuatan sendiri. Bagi Gus Dur, melaksanakan pemilu bukan wajib secara politis atau fikih, tapi wajib secara moral. Kewajiban moral itu, katanya, masuk secara umum dalam kewajiban agama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara. Sikap ini pula yang tercermin pada sikap politik PB NU. Dalam edaran tertanggal 1 Mei 1991 itu, PB NU menyerukan pada warganya agar menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 1992. "Jadi, kami tidak mengaitkannya dengan hukum agama, apakah itu fardu atau tidak," kata Kiai Ma'aruf Amin, Katib Syuriah PBNU. Julizar Kasiri, Wahyu Muryadi (Jakarta), Kelik M. Nugroho (SurabAya), dan Nanik Ismiani (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus