Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tekanan terhadap pengkritik pemerintah Presiden Joko Widodo terus berulang.
Yang paling anyar, mahasiswa UI dan UGM pengkritik pemerintah mendapat tekanan.
Pola represi ini dinilai mirip cara-cara Orde Baru dalam membungkam kritik.
JAKARTA – Tekanan terhadap pengkritik pemerintah Presiden Joko Widodo terus berulang. Tak hanya melalui aparat keamanan, represi juga dilakukan oleh civitas academica. Pengekangan oleh rektorat Universitas Indonesia (UI) terhadap pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus ini merupakan yang paling anyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita represi ini terungkap dari testimoni Ketua BEM UI, Leon Alvinda Putra, kepada Tempo, kemarin. Ia menyatakan kaget ketika menerima surat mendadak dari pihak rektorat, yang mempersoalkan sikap organisasinya, pada Sabtu petang lalu. Rektorat meminta Leon menjelaskan ihwal kritik BEM UI yang menyebut Presiden Jokowi sebagai raja pembual atau dengan istilah “The King of Lip Service”. Kritik BEM UI ini diunggah di akun media sosial miliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat itu diteken Direktur Kemahasiswaan Universitas Indonesia, Tito Latif Indra, pada Sabtu, 27 Juni lalu. Isinya mengundang semua pengurus BEM dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UI datang ke gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Direktorat Kemahasiswaan UI pada pukul 15.00 WIB. Sedangkan surat tersebut baru sampai di tangan Leon pada pukul 15.07 WIB. “Kami sempat menanyakan kenapa mendadak. Katanya, ini sifatnya penting dan segera,” ucap Leon.
Ia sempat meminta rektorat menunda pertemuan itu pada Senin, kemarin. Apalagi, ketika itu, mahasiswa sedang menjalani libur akhir pekan. Tapi Tito dengan gusarnya berkukuh agar para pengurus BEM dan DPM UI wajib datang. Telat pun tak jadi soal, akan terus ditunggu, asalkan para mahasiswa datang ke ruang kerjanya.
Presiden Joko Widodo di Tangerang, 12 Maret 2019. TEMPO/Subekti
Satu jam kemudian, Leon bersama wakilnya dan dua pemimpin DPM UI baru tiba di rektorat. Di sana sudah berjejer sejumlah pejabat kampus. Di antaranya Tito, bersama Kepala Pengamanan Lingkungan Kampus (PLK), Kepala Sub-Direktorat Kesejahteraan Mahasiswa, dan Kepala Asrama UI.
Tanpa basa-basi, mereka memberondong sejumlah pertanyaan ihwal kritik “The King of Lip Service” yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. “Mereka meminta klarifikasi, menanyakan kenapa menaikkan propaganda itu, dasarnya apa,” tutur Leon menirukan ucapan pejabat rektorat tersebut.
Leon menjelaskan bahwa kritik itu merupakan hasil kajian akademis yang dibuat Barisan Garda Depan (Brigadi) UI, organ kecil di bawah naungan Divisi Propaganda BEM UI. Dia pun menjelaskan bahwa kritik tersebut merupakan hasil riset yang telah lama dibuat, yang membeberkan ihwal janji-janji Jokowi yang diingkari. Salah satunya janji penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kini justru dilemahkan.
Menurut Leon, rakyat memiliki hak untuk berharap dari setiap pernyataan yang dilontarkan Jokowi. Karena itu, apa pun yang disampaikan Presiden seharusnya sudah dihitung secara cermat dan matang.
Mendapat penjelasan itu, rektorat menanyakan kepada Leon apakah publikasi BEM dapat diturunkan atau tidak. BEM secara tegas menolak permintaan tersebut. Para pejabat kampus itu kemudian bercerita bahwa salah satu alasan rektorat memanggil pengurus BEM dan DPM adalah cuitan Staf Khusus Presiden Fadjroel Rachman di Twitter. Esok harinya, rektor meminta jajarannya memanggil para pengurus BEM dan DPM.
Fadjroel Rachman di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, 2019. TEMPO/Subekti
Fadjroel Rachman belum bisa dimintai konfirmasi ihwal dugaan permintaan ke Rektor Universitas Indonesia, Ari Kuncoro, agar menertibkan BEM UI yang mengkritik Jokowi. Panggilan dan pesan yang dikirim ke dua nomor ponselnya tak kunjung direspons.
Sebelumnya, Fadjroel sempat melontarkan pernyataan tentang BEM UI hanya beberapa saat setelah organisasi itu menerbitkan laporan “The King of Lip Service”. “Segala aktivitas kemahasiswaan di Universitas Indonesia, termasuk BEM UI, menjadi tanggung jawab pimpinan Universitas Indonesia,” cuit Fadjroel pada 27 Juni lalu.
Rektor Ari juga disinyalir memiliki konflik kepentingan dengan pihak Istana Presiden. Apalagi Ari tercatat memegang jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia. Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Universitas Indonesia, Amelita Lusia, enggan menanggapi dugaan konflik kepentingan yang dilakukan rektorat, sehingga pihak Istana Presiden dapat dengan mudah meminta Ari menghentikan kritik. “Saya rasa, apa pun pendapat orang itu wajar, dari perspektif masing-masing,” ucap Amelita, kemarin.
Amelita membenarkan bahwa kampusnya telah meminta keterangan dari pengurus BEM UI ihwal kritik terhadap Presiden Jokowi. Menurut dia, kampusnya menjunjung tinggi kebebasan berekspresi mahasiswa. Mereka juga memberi ruang bagi mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi ihwal hal-hal yang berkaitan dengan kerja-kerja akademik.
Sementara itu, ia menganggap bahwa poster Presiden yang dibuat BEM UI tidak mencerminkan kajian akademis. Justru itu berpotensi dapat ditafsirkan orang sebagai upaya merendahkan martabat kepala negara.
Selain itu, Amelita mempersoalkan penggunaan logo Universitas Indonesia dalam poster tersebut. Karena alasan itu, nantinya Direktorat Kemahasiswaan UI melakukan penilaian terhadap mahasiswa sesuai dengan aturan yang berlaku di kampus ini.
Belakangan, setelah mendapat represi dari birokrat kampus, sejumlah pengurus BEM UI mengalami peretasan akun media sosial, kemarin. Leon mengatakan salah satu korban peretasan adalah Kepala Biro Hubungan Masyarakat BEM UI 2021, Tiara. Akun WhatasApp-nya tak bisa diakses. Tertulis bahwa akun itu keluar dari telepon selulernya.
Wakil Ketua BEM UI, Yogie, menjadi korban kedua. Akun WhatsApp-nya juga kena retas. Muncul notifikasi bahwa akun WhatsApp miliknya digunakan di ponsel lain. Leon mengatakan akun koleganya itu sudah berhasil direbut lagi, kemarin.
Peretasan juga menimpa Koordinator Bidang Sosial Lingkungan BEM UI, Naifah Uzlah. Terdapat usaha masuk ke akun Telegram-nya pada tengah malam. Serangan pun dialami Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI, Syahrul Badri. Akun Instagram-nya mengalami “restriction” setelah mengunggah beberapa instastory soal pemanggilan fungsionaris BEM UI oleh pihak rektorat UI.
Imbasnya, akun itu belum bisa digunakan sampai sekarang. “Kami mengecam keras segala bentuk serangan digital yang dilakukan terhadap pengurus BEM UI,” kata Leon, kemarin.
Sepekan sebelum peristiwa represi rektorat Universitas Indonesia berlangsung, sebuah diskusi yang diselenggarakan mahasiswa magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) juga diawasi oleh Komando Resor Militer (Korem) 072/Pamungkas Yogyakarta. Pihak militer meminta Dekan Fakultas Hukum UGM mengirim berkas diskusi ihwal konflik di Papua itu. Diskusi daring pada 20 Juni itu bertajuk “Pasca-Penetapan KKB sebagai Teroris: Menakar Masa Depan Penyelesaian Konflik di Papua”.
Muhammad Maulana Hasnan Rasyid, moderator diskusi yang juga mahasiswa magister hukum di kampus itu, sempat kaget ketika Kepala Hukum Korem 072/Pamungkas Yogyakarta, Mayor Chk Zain Victori, meneleponnya sehari setelah webinar. Perwira menengah itu menanyai Hasnan ihwal posisinya sebagai moderator diskusi.
Tak lama kemudian, Zain kembali menelepon dan mengirim pesan yang isinya meminta Hasnan mengirimkan bahan materi webinar ke alamat e-mail Zain. Hasnan cemas karena nomor ponselnya yang tidak dia cantumkan di poster webinar tiba-tiba dikenali tentara. “Saya minta dia kirim surat ke dekan,” kata Hasnan kepada Tempo, kemarin.
Diskusi tersebut sebenarnya diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM bersama Ikatan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia. Kajian daring selama tiga jam itu mengundang enam pembicara. Mereka merupakan dosen dari beragam disiplin ilmu di UGM, UI, dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Ditambah peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua. Diskusi itu dibuat terbuka untuk publik dan diikuti 55 peserta.
Waswas terhadap telepon pejabat Korem Yogyakarta itu, Hasnan bergegas menghubungi sekretaris program studi Fakultas Hukum. Dekan Fakultas Hukum, Sigit Riyanto, kemudian menghubungi Hasnan untuk memberi dukungan. “Prof Sigit menenangkan dan meyakinkan saya, kalau terjadi apa-apa dengan saya dan panitia, Fakultas Hukum siap membantu,” kata Hasnan.
Sigit Riyanto menerima surat permohonan materi webinar itu pada 22 Juni. Surat tertanggal 21 Juni atas nama Korem Yogyakarta itu berisi permintaan materi soft copy atau hard copy bahan webinar dengan alasan mendukung tugas pokok dan fungsi staf hukum Korem Yogyakarta dan TNI AD.
Surat tersebut juga mencantumkan dasar Peraturan Kasad Nomor 33 Tahun 2015 Tanggal 6 Juli 2015 tentang Organisasi dan Tugas Komando Resor Militer Tipe A. Menurut Sigit, tindakan tentara masuk ke kampus itu mengganggu suasana kebebasan akademis. “Kalau mau belajar, ikut saja webinarnya. Toh, terbuka dan isinya bukan tentang kekerasan,” kata dia.
Sigit kembali menyatakan bahwa dia dan Fakultas Hukum pasang badan untuk melindungi mahasiswa dari berbagai gangguan kebebasan akademik. Menurut dia, kampus wajib mendukung kegiatan mahasiswa selama isinya tidak melanggar hukum serta tidak mengganggu ketertiban umum dan kesusilaan.
Webinar bertema konflik Papua, kata Sigit, biasa di dunia akademik sebagai bagian dari cara mahasiswa belajar. Mahasiswa perlu mencari informasi, menemukan kebenaran informasi, memperkuat argumen, dan berdebat.
Kepala Hukum Korem 072/Pamungkas Yogyakarta, Mayor Chk Zain Victori, mengatakan Korem meminta bahan materi webinar agar anggotanya bisa belajar. “Tugas militer di Papua. Siapa tahu butuh untuk bahan diskusi,” ujar dia.
Zain menyebutkan surat permohonan bahan materi itu merupakan inisiatif Korem Yogyakarta, bukan instruksi dari pimpinan TNI. Dia mengaku sempat mengikuti webinar itu meski tak sampai selesai.
Pengajar di Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengecam represi terhadap mahasiswa UI dan UGM ini. Menurut dia, tekanan itu menunjukkan adanya ancaman terhadap kebebasan akademik. Ia heran atas sikap pengelola kampus yang kebakaran jenggot atas sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintah.
Menurut Zainal, penindasan oleh aktor negara ini seperti memutar sejarah Orde Baru. Pola penindasannya pun sama. Penggunaan universitas untuk merepresi mahasiswa juga kembali berulang.
Zainal juga melihat bertahannya pola bahwa setiap kritik terhadap pemerintah dilawan dengan kekerasan. Yang membedakan, kata dia, saat ini aktor penindasnya bertambah satu lagi, yaitu buzzer. “Pengkritik dan aktivis sekarang dilindas negara menggunakan alat negara seperti Korem, ditambah lagi buzzer,” kata dia.
AVIT HIDAYAT | SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo