Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengincar generasi yang bingung

300 orang yang ditahan dalam peristiwa banteng, ternyata pelajar. keterlibatan para pelajar dalam kampanye merupakan gejala baru. menjadi salah satu sasaran para kontestan untuk digaet. (nas)

27 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERUSUHAN yang timbul menyusul kampanye Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, pekan lalu mengundang banyak pemikiran dan pertanyaan. Mengapa bisa timbul, berkembang dan meluas menjadi pengrusakan oleh massa? Yang lebih menarik lagi: mengapa sebagian besar yang terlibat dan ditahan adalah pemuda serta pelajar SLP dan SLA. "Yang jelas mereka ternyata cecunguk langganan Kopkamtib yang sudah-sudah. Semua ontestan pemilu sudah tahu," kata Pangkopkamtib Sudomo pada pers pekan lalu. Ia tidak, mengungkap apakah para pelajar tersebut termasuk kategori "cecunguk langganan Kopkamtib". Namun ia menjanjikan, dalam waktu dekat mereka -- yang katanya tertangkap "on the spot " (di tempat) karena membakar dan melempar batu-akan segera dibawa ke sidang pengadilan. Mereka umumnya berumur sekitar 17 tahun. Dengan kata lain, anak-anak itu masih mengedot di awal Orde Baru, tahun 1966. Keterlibatan para pelajar dalam kegiatan kampanye Pemilu 1982 memang merupakan gejala baru yang menarik. Sebagian pelajar SLA termasuk pemilih karena ber-usia di atas 17 tahun hingga menjadi salah satu sasaran para kontestan pemilu untuk digaet. Tapi ternyata banyak pelajar yang dibawa umur pun ikut melibatkan diri dalam kampanye. Banyak pelajar dilaporkan mendatangi pos komando (posko) kampanye PDI dan PPP di Jakarta, menawarkan diri membantu kedua parpol tadi memasang tanda gambar. Di hari pertama masa kampanye, 15 Maret misalnya, 65 pelajar SMA serta STM dan mahasiswa mendatangi rumah Ipik Asmasubrata, Ketua DPD PDI Jakarta. Mereka didaftar dan dibagi dalam beberapa kelompok dan menyebar untuk memasang tanda gambar PDI. Esoknya jurnlah yang datang bertambah. Bahkan pada 17 Maret sekitar 200 pelajar, masih dalam pakaian seragam sekolah, datang untuk membantu hingga Ipik terpaksa menyelenggarakan "kursus kilat politik" untuk mereka. Mereka juga menyatakan diri hendak menjadi saksi dalarn penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara di daerah masing-masing. Gejala yang serupa terjadi juga di tempat lain. Di Bandung, di hari-hari pertama masa kampanye, kantor PDI Kodya diserbu pelajar dan tukang becak yang ingin membantu kampanye. "Ini spontanitas saja, bukan karena suruhan atau anjuran siapa-siapa," ujar Memed yang mengaku pelajar kelas 11 SMP NU. "Saya belum punya hak pilih, tapi saya mau membantu yang lemah." "Kami ingin menolong kontesun yang kecil, itu pahala," kata Yusuf, pelajar kelas III SMP Muhammadiyah, yang seperti banyak pelajar lain datang ke kantor PDI membawa kaus sendiri untuk disablon tanda gambar Banteng. Bukan hanya PDI, menurut Yusuf banyak temannya yang membantu PPP berkampanye. "Kami membantu parpol bukan karena benci pada Golkar, tapi karena rindu keadilan. PPP dan PDI sangat kekurangan dana dan fasilitas. Golkar ùkan sudah banyak dibantu pemerintah," katanya. Di Yogyakarta gejala serupa juga muncul. Subandi, 18 tahun, pelajar suatu SMA swasta tatkala dijumpai di markas PDI menyebut, ia berniat berkampanye untuk PDI hanya karena ingin mengimbangi poster Golkar yang berbunyi: "Pelajar Pilih Golkar". "Saya ingin membuktikan tak semua-pelajar memilih Golkar," katanya. Benarkah para pelajar sekarang--setidaknya di beberapa kota besar--seperti diutarakan kedua pelajar Bandung tadi, memiliki kesadaran yang tampaknya cukup lumayan? "Mereka sesungguhnya punya kesadaran tinggi," kata Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, psikolog UI yang mengajar di beberapa perguruan tinggi. "Hanya para pelajar itu bingung mencari pilihan, sebab kedua parpol belum mempunyai tokoh yang patut didukung, sedang Golkar dianggap punya kelemahan. Hingga mereka kemudian mendukung parpol dengan tidak rasional." Reaksi begitu, menurut Sarlito, "bisa dimengerti". Para kontestan pemilu sendiri tampaknya memang "mengincar" para pelajar. Itu terlihat dari beberapa tanda gambar bertuliskan "Pelajar Pilih Golkar" atau "Pramuka Pilih Golkar". Toh jumlah pelajar yang "sadar politik" mungkin sekali tidak begitu besar. Kehadiran sebagian besar mereka di Lapangan Banteng pada 18 Maret lalu boleh jadi karena sebab yang lain. "Hari itu saya bolos sekolah bukan mau ikut kampanye, tapi karena kepingin melihat artis Safari dari dekat," tutur Krisnanto, 17 tahun, pelajar STM Budi Utomo sambil menyedot rokok kreteknya. Diakuinya, sekolahnya siang itu tidak libur, tapi banyak guru dan murid yang tidak datang. Krisnanto sendiri tidak tertarik untuk ikut kampanye. "Itu urusan negara, saya tidak mau ikutikutan. Ngeri efeknya, salah-salah nyawa bisa melayang," ujarnya. Absennya para guru dari sekolah masing-masing tatkala kampanye Golkar berlangsung pekan lalu bisa dimengerti. Mereka sebagai anggota Korpri dan PGRI memang diinstruksikan untuk menghadiri kampanye tersebut lewat kepala sekolah masing-masing serta diwajibkan mengisi daftar hadir. Hingga akibatnya pelajar sekolah siang yang "nganggur" hari itu. Berbagai atraksi kesenian yang ditampilkan dalam kampanye ternyata merupakan daya tarik besar bagi kehadiran para pelajar dan remaja. Belajar dari pengalaman kerusuhan di Lapangan Banteng, pimpinan Golkar DKI Jaya telah menginstruksikan pada semua wilayah agar tidak menonjolkan atraksi-atraksi dalam kampanye. "Ini terutama untuk mencegah para pelajar dan anakanak di bawah usia memilih berbondong-bondong datang menghadiri kampanye," ujar Ketua DPD Golkar DKI Jaya Achmadi. Dalam pertemuannya dengan ketiga kontestan pekan lalu, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo juga meminta agar pelajar di bawah usia 16 tahun tidak perlu ikut kampanye. "Itu memang disepakati parpol dan Golkar, tapi cuma khusus untuk Jakarta." kata Sabam Sirait, Sekjen DPP PDI Senin lalu. Menurut Sabam, untuk daerah lain ketentuan itu tidak berlaku karena memang tidak ada larangan bagi anak sekolah mengikuti kampanye. "DKI Jaya karena situasinya lain, parpol dan Golkat sepakat mengambil keputusan semacam itu," kata Sabam. Situasi Jakarta mungkin memang lain. Itu terlihat dari banyaknya perkelahian antarsekolah di Ibukota dalam beberapa tahun terakhir ini. "Para pelajar Jakarta sekarang lebih nekat dan agresif. Jika terjadi 'gerakan', mereka bisa lebih berbahaya daripada mahasiswa," ujar seorang perwira menengah ABRI. Maksudnya, para pelajar itu secara emosioal gampang dibangkitkan dibanding para mahasiswa yang mungkin lebih "dingin". Itu sudah terbukti pekan lalu. Apakah benar para pelajar dan remaja itu "cecunguk", ditunggangi, benar-benar sadar atau cuma sekedar ikut-ikutan saja, itu perlu diselidiki lebih jauh. Tapi yang pasti, cara penanganannya tentulah perlu lebih mengena Dalam kerusuhan kemarin yang melanda beberapa bagian Kota Jakarta, para petugas nampaknya tak banyak menggunakan peralatan yang lazimnya digunakan untuk menghalau para demonstran. Misalnya saja, gas air mata, salah satu "senjata" yang termasuk ampuh untuk menghalau kaum perusuh di mana pun, tak kelihatan digunakan. Kecuali di Lapangan Banteng, setelah ribut-ribut sulit dikuasai lagi. Seorang ahli psikologi di Jakarta, membandingkan kerusuhan-kerusuhan itu dengan yang sering terjadi di Amerika. "Lihat saja apa yang terjadi di Kota New York, ketika beberapa tahun lalu lampu padam total di sana: Perampokan, perkelahian, huru-hara." Seorang pengamat asing membenarkan: "Menurut saya, peristiwa semacam di Lapangan santeng itu lazim terjadi kalau ada festival lagu-lagu rock di Amerika. Selagi menonton dan dalam perjalanan pulang, banyak yang jadi histeris, lalu mengamuk, memsak apa saja yang terterlihat di depan matanya," katanya. Membandingkdn remaja di lndoncsia dengan anak-anak Amerika barangkali bisa dianggap mencari-cari. Seperti kata seorang pengamat di Jakarta, "latar belakang sosial dan budaya kedua negeri pasti, kerusuhan seperti itu, di mana pun, biasanya meledak dalam suasana massa yang bergerombol. Atau dalam kata-kata Pangkopkamtib Laksamana Sudomo timbulnya suasana "crowd" (gerombolan orang). "Suasana crowd itu yang membikin rambut saya bertambah putih," katanya setengah berkelakar. "Apa itu yang namanya Malari, Lapangan Banteng, apa pun, crowd selalu membuat saya khawatir," katanya. Suatu kekhawatiran yang tentunya dirasakan setiap orang tua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus