Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesibukan di Kota Ponorogo, Jawa Timur, berjalan seperti lazimnya. Padahal hari itu, Senin pekan lalu, ada hajatan besar di kota reog ini. Tetapi sebagian warga seolah tak peduli dengan pemilihan kepala daerah yang sedang berlangsung.
Nuraini, misalnya. Penduduk Banyudono, Kecamatan Ponorogo, itu memilih seharian nyanggong di kios koran miliknya. Baginya, mencari duit lebih penting daripada menghabiskan waktu di tempat pemungutan suara. Itu baru satu alasan. Alasan utama, dia merasa dilecehkan oleh salah satu pasangan calon. "Masa, waktu kami ke TPS (tempat pemungutan suara) hanya dihargai Rp 3.000," katanya.
Nuraini pun mulai bercerita. Seminggu sebelum coblosan, seseorang yang mengaku anggota tim sukses salah satu pasangan mendata hampir semua warga Banyudono. Selain menyalin data dari kartu tanda penduduk, tim sukses itu menyodorkan selembar kertas untuk diteken warga. Isinya, janji memilih calon tertentu dengan imbalan Rp 50 ribu. Pikir Nuraini, lumayan uang itu bisa mengganti setidaknya tiga hari kerja. Namun, malam menjelang pencoblosan, orang itu datang lagi dan hanya memberi uang Rp 3.000.
Kejengkelan warga tampak nyata ketika penghitungan suara. Saat nama pasangan yang membagikan uang Rp 3.000 mendapat suara, warga yang menonton meneriaki, "Tiga ribu..., sah!" Ledekan terus berlanjut. Salah seorang warga nyeletuk, "Kalau sampai jadi, dipanggil bupati tiga ribuan saja."
Ulah "bupati tiga ribuan" itu membuat pemungutan suara di TPS tempat Nuraini terdaftar hanya diikuti separuh dari sekitar 600 pemilih yang terdaftar. Padahal petugas sudah menghias TPS dan mereka berdandan seragam warok (baju kas Ponorogo) lengkap. Tetap saja upaya itu gagal menyedot minat pemilih menyumbangkan suara. "Mereka hanya antusias melihat, tapi ogah-ogahan mencoblos," kata Slamet Widodo, Ketua TPS IV Banyudono.
Kisah hampir sama terjadi di Sumenep, Madura. Makali, penarik becak di Kota Sumenep, memilih tetap menggenjot becaknya di hari pencoblosan. Lelaki 50 tahun ini mengaku tidak mengenal figur para calon bupati. "Kalaupun nyoblos, paling saya tetap jadi tukang becak," katanya datar. Apalagi dia tak kebagian tongket (setong seket/satu orang dibayar Rp 50 ribu), operasi yang disebar tim sukses beberapa calon. "Kalau dapat tongket, saya enggak usah narik becak," katanya.
Fenomena golput (golongan putih/pemilih yang tak memakai hak suaranya) dalam pemilihan kepala daerah kali ini jumlahnya memang cukup besar. Hasil penghitungan suara sementara di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Ponorogo, dari sekitar 721 ribu pemilih terdaftar, sekitar 35 persennya memilih golput. Kurang sosialisasi?
Agung Nugroho, anggota KPUD Ponorogo, menampiknya. Dia mengaku sudah menghabiskan dana sekitar Rp 80 juta untuk mengajak warga memberikan suaranya di TPS. Sebanyak 30 ribu poster tentang pentingnya pilkada sudah ditebar ke berbagai lokasi strategis. Pemutaran film juga sudah dilakukan di wilayah pedesaan. "Saat pemilu presiden lalu, golput hanya 15 persen. Tapi sekarang meningkat dua kali lipat lebih," kata Agung.
Menurut Koordinator Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat Ponorogo, Diono Suwito, warga memilih golput karena pelecehan yang dilakukan calon sendiri. "Masa, seorang hanya dikasih uang di bawah Rp 5.000," katanya. Padahal saat pemilihan kepala desa saja mereka biasa mendapat uang paling sedikit Rp 20 ribu sebagai ganti uang mangkir kerja sehari. Selain itu, menurut Diono, beberapa wilayah pedesaan Ponorogo sedang melakukan panen. Belum lagi masyarakat mulai bosan dengan janji-janji kandidat waktu kampanye yang ujung-ujungnya tidak pernah terwujud.
Jumlah golput yang melompati angka 30 persen terjadi di semua kabupaten di Jawa Timur yang menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) pekan lalu. Seperti di Banyuwangi, jumlah golput ditaksir mencapai 32 persen. Di Jember lebih besar lagi, 36 persen. Angka yang hampir sama terjadi di Sumenep, Situ-bondo, dan Ngawi. Saat ditanya penyebab naiknya jumlah golput, KPU ber-bagai daerah tersebut memberi jawaban hampir seragam: saat ini menjelang musim tanam atau panen raya.
Kondisi serupa bukan hanya terjadi di Jawa Timur. Tingginya jumlah golput juga dialami provinsi lain. Sebut saja di Kabupaten Kebumen dan Kota Pekalongan, Jawa Tengah, yang melaksanakan pilkada awal bulan ini, jumlah golput rata-rata 33,5 persen. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan pemilu presiden putaran kedua lalu yang hanya 25 persen. Yang mengejutkan terjadi di Bali, yang memilih empat bupati dan satu wali kota pada pilkada Sabtu pekan lalu. Angka golput di atas 40 persen. Bahkan di Kota Denpasar, ada satu desa di perkotaan padat, yakni Desa Dangin Puri Kelod, yang angka golputnya 70,17 persen.
Tingginya jumlah golput ini di luar perkiraan Departemen Dalam Negeri. Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri, Ujang Sudirman, sebelumnya menduga pilkada yang baru akan memicu minat masyarakat memilih sendiri pemimpinnya. Dia bahkan menduga angka golput akan sangat kecil, bahkan mungkin ada yang nol persen. "Masyarakat sudah menunggu pilkada, karena sebelumnya tak puas pada sistem keterwakilan," katanya akhir Mei lalu.
Akhirnya, masyarakat benar-benar memakai haknya. Termasuk hak untuk tidak memberikan suaranya alias golput.
Agung Rulianto, Sunudyantoro (Sumenep), Rohman Taufiq (Ponorogo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo