Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKMUN khusyuk bertadarus di pengungsian, rumah susun kompleks Pasar Induk Agrobisnis Puspa Agro, Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat pertama Juni lalu. Bocah 11 tahun itu duduk melingkar bersama puluhan anak lain pada hari ke-16 Ramadan 1436 Hijriah. Mengenakan oblong abu-abu, bersarung, dengan peci di kepala, ia duduk di saf paling depan. Meski tanpa pengeras suara, lantunan ayat-ayat Quran terdengar dari luar kompleks pasar yang berbentuk rumah toko itu. Makmun dan teman-temannya biasa melakukan hal ini seusai salat subuh, dan petang hingga menjelang azan magrib.
Bagi Makmun, ini tahun ketiga menjalani puasa di pengungsian, setelah kampung warga Syiah di dua dusun di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, diserang warga Sunni, Agustus 2012. Api membakar setidaknya 20 titik lokasi rumah dan rumpun rumah di wilayah perbukitan di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, yang masuk Kecamatan Omben, dan Dusun Gading Laok, Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang. Tak hanya membakar rumah, penyerang membakar ternak, tembakau di gudang, bambu, dan hutan akasia milik orang Syiah. Mochammad Kosim alias Abu Hamamah tewas di lokasi ketika serangan berlangsung. Sejumlah orang menderita luka bacokan dan lemparan benda keras.
Serangan laknat itu mengusir Makmun dan 306 warga Syiah lain dari kampung halaman mereka di kabupaten yang berada di Pulau Madura tersebut. Dari jumlah itu, mereka berhimpun dalam 74 keluarga dan menempati 84 kamar pada salah satu blok dari empat blok rumah susun di Jemundo. Mereka menempati rumah susun itu sejak Juni dua tahun lalu. Sebelumnya, sejak sehari setelah penyerangan, Makmun dan warga Syiah Sampang lainnya ditampung di Gelanggang Olahraga Sampang, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari kampungnya. "Di pengungsian, saya tidak bisa bermain di sungai bersama teman-teman," ujar Makmun.
Ingatan bocah kelas IV sekolah dasar ini tertuju pada sungai kecil yang mengalirkan air bening, membelah Karang Gayam dan Bluuran. Selain mengaji, Makmun dan teman-temannya biasa mengisi waktu puasa dengan mencari ikan di sungai dekat rumahnya sembari menunggu beduk magrib. Sebenarnya, ia bisa saja bermain di kali yang mengalir tak jauh dari rumah susun tempat dia mengungsi. Tapi Makmun merasa sungai itu bukan bagian dari kampung halamannya. Itulah sebabnya Makmun selalu punya keinginan kuat untuk bisa kembali ke Sampang, bermain lepas seperti dulu.
Di pengungsian, Makmun tinggal bersama kakek-neneknya, Tomi dan Amma—keduanya berusia 70 tahun. Ayah Makmun, Muhammad Anwar, bercerai dengan ibunya, Mahrudah. Kini Anwar telah punya istri baru, yang sama-sama bekerja di Malaysia. Sedangkan Mahrudah tinggal bersama suami keduanya di Sampang.
Kehidupan yang sumpek di pengungsian juga dirasakan Rosida. Menurut perempuan 30 tahun ini, tinggal di dalam sepetak ruang di rumah yang sempit membuat hidupnya seperti berhenti. Hidup serasa hanya untuk memasak, lalu tidur di kamar masing-masing yang jauh dari nyaman. Ia tidur beralas kasur tipis—bekas ia pakai ketika masih mengungsi di Gelanggang Olahraga Sampang—di kamar tak bersekat, bercampur dengan buntelan baju dan tas berisi barang-barang miliknya.
Jatah hidup per keluarga Rp 700 ribu yang diberikan pemerintah sebulan sekali tidak cukup untuk Rosida, yang punya lima anak—dua di antaranya anak angkat. Untuk menambah penghasilan, ia bekerja sebagai pengupas kelapa pada pedagang di Pasar Jemundo. Penghasilannya tak menentu, paling banter Rp 40 ribu per hari.
Pikiran Rosida pun menerawang pada peristiwa ketika orang-orang yang gelap mata menyerbu kampungnya tiga tahun lalu. Akibat serangan itu, lima petak sawah, dua rumah, satu kandang, dan musala kecil miliknya rata dengan tanah.
Kini Rosida rindu bisa bercocok tanam di kampungnya bersama Bonasar, suaminya. Ia ingin kembali menanam tembakau, jagung, kedelai, dan aneka tanaman lain. "Saking kangennya sama rumah, ia kerap bermimpi telah pulang ke Sampang," kata Rosida. Lebaran tahun ini, Rosida memastikan tidak mudik meski sejumlah anggota keluarganya masih tinggal di Sampang. Ia masih menderita trauma dan merasa tak ada yang menjamin keamanannya.
Di Nangkernang, semak belukar telah mengubur Pesantren Misbahul Huda milik pemimpin Syiah Sampang, Tajul Muluk alias Ali Murtadha, Kamis pertama Juni lalu. Kamar mandi, satu-satunya bangunan yang luput dari penghancuran, berselimut rumput dan tumbuhan merambat liar. Satu-satunya puing bangunan yang masih bisa dilihat dari kejauhan adalah langgar kosong di kompleks pesantren.
Dinding depan langgar masih tegak berdiri. Tulisan "Allah" dalam huruf Arab dari cat putih masih bisa dibaca. "Sejak pecah serangan, kami tak berani menyentuhnya," ujar Munawi, warga Nangkernang. Rumah Munawi berada di utara pesantren, hanya dibatasi sebidang tanah. Ia bukan penganut Islam Syiah sehingga tidak terusir dari kampung itu. Ketika kerusuhan terjadi, Munawi mengaku sedang merantau di Malaysia.
Tiga tahun lalu, Nangkernang merupakan dusun terpencil, tersembunyi di balik perbukitan dikelilingi sawah, tegalan, dan hutan. Rumah-rumah menempel di punggung bukit. Ada juga yang bersebelahan dengan sawah datar. Lorong kecil bertanah keras mengular ke dekat rumah-rumah penduduk. Kini lorong diperlebar dan beraspal. Sebagian lainnya ditutup bata berbahan semen. Di Balai Desa Karang Gayam, ada pos polisi Brigade Mobil. Mereka menjaga akses utama masuk Dusun Nangkernang. Orang yang bukan penduduk setempat wajib melapor ke pos Brimob.
Pemimpin umat Islam Syiah Sampang, Tajul Muluk, berharap pemerintah memperhatikan nasib pengungsi. Dia mempertanyakan akan sampai kapan jemaahnya hidup di pengungsian. Menurut Tajul, pilihan warga Syiah hanya satu, yakni kembali ke kampung halamannya. Ia menolak tawaran bedol desa ke tempat lain. "Di kampung kami sendiri saja kami tidak mendapat jaminan keamanan, apalagi jika kami tinggal di tempat lain," kata Tajul. Ia menyampaikan keinginan jemaahnya itu ke Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada Agustus tahun lalu. Pemerintah pun ekstra-hati-hati memecahkan masalah ini. "Kami terus berusaha memberikan solusi terbaik," ujar Lukman.
Tempo menyambangi kediaman Roisul Hukama', pemuka Islam Sunni di Nangkernang, yang berjarak hanya 500 meter dari bekas pondok milik Tajul Muluk. Roisul atau Rois adalah adik bungsu Tajul Muluk. Ia sempat dibawa ke meja hijau untuk diadili dengan dakwaan menjadi penghasut atas serangan itu. Namun Pengadilan Negeri Surabaya, yang menyidangkan kasus ini, menyatakan dakwaan itu tak terbukti. "Kiai Rois baru istirahat, tak bisa diganggu," kata Sofa Jumilah, istri keduanya.
Sunudyantoro (Jakarta), Nur Hadi (Sidoarjo), Musthofa Bisri (Sampang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo