Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu untuk membuat huruf Braille adalah mesin ketik merek Perkins. Mesin ketik ini dipakai penyandang disabilitas netra sejak 1961 untuk menulis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebelum ada pembaca layar pada komputer, tunanetra menggunakan Perkins untuk menulis surat, label, hingga buku," ujar Tri Winarsih, Kepala Bagian Umum Yayasan Mitra Netra kepada Tempo, Kamis 4 Januari 2019.
Sebagai penyintas yang sering mengurus keperluan surat menyurat penyandang disabilitas netra, Tri terbiasa menggunakan Perkins. Menurut dia, mesin ketik ini terkenal pada zamannya karena memiliki performa kerja yang sangat baik. "Titik titik timbulnya jelas dan kuat. Tuas pengetiknya juga ringan," ujar Tri.
Mesin ketik Perkins memiliki berat 4,8 kilogram, dengan tinggi 10 sentimeter, lebar 15 sentimeter, dan panjang 20 sentimeter. Layaknya mesin ketik biasa, Perkins terdiri dari beberapa fitur. Ada penjepit kertas, perata kiri dan kanan, serta beberapa tombol fungsional. Bila mesin ketik biasa menggunakan penghapus tinta, maka Perkins menggunakan bulatan perata titik timbul untuk menghapus huruf Braille yang salah.
Tombol fungsional pada Perkins terdiri dari pengetik berjumlah 6 buah. Tombol pengetik itu mewakili setiap nomor yang digunakan dalam formasi Braille. Bagian kiri tombol mewakili angka 1, 2, 3, dan bagian kanan mewakili angka 4, 5, dan 6. Alat ini juga memiliki tombol spasi di tengah, juga tombol pengembali spasi maupun perpindahan ke bawah.
Perkins Braille.
"Kami biasa menggunakan Perkins ketika masih di sekolah luar biasa tingkat dasar. Di sana kami memakai Perkins untuk mengerjakan tugas," ujar Fahri Rosa, tunanetra lulusan Sastra Jerman Universitas Indonesia. Menurut dia, Perkins sangat berguna bagi tunanetra untuk menulis atau melabeli benda tertentu. Terutama penulisan untuk keperluan penandaan atau butuh perabaan cepat.
"Saya biasa menggunakan Braille untuk menandai obat atau bumbu dapur," ujar tunanetra lainnya, Juwita Maulida. Lulusan Komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, ini juga terbiasa menggunakan label Braille untuk memberi tanda pada koleksi bukunya yang berjumlah ratusan.
Sebelum ada pembaca layar, tunanetra yang menempuh pendidikan tinggi selalu membawa Perkins kemana pun, layaknya pengguna laptop saat ini. Tri mengatakan mesin ketik Perkins yang lawas lebih berat dari yang sekarang. "Dulu, beratnya bisa sampai 7 kilogram," ujar Tri.
Saat ini Perkins lebih banyak digunakan di sekolah luar biasa dan sekolah inklusi. Pada beberapa negara, mesin ketik Perkins masih digunakan secara intensif untuk menunjang informasi berformat Braille. Alat ini menjadi salah satu alat yang direkomendasikan oleh World Blind Union atau WBU sebagai alat penunjang aksesibilitas, terutama untuk tunanetra yang belum bisa menggunakan teknologi pembaca layar.