Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Milad GAM, Simak Sejarah Gerakan Ini

Komiter Peralihan Aceh meminta seluruh eks kombatan GAM untuk memperingati ulang tahun gerakan ini dengan ziarah dan menyantuni anak yatim.

4 Desember 2020 | 13.08 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menurunkan bendera Bintang Bulan usai dikibarkan selama sekitar tiga jam dalam rangka memperingati Milad GAM di Kantor Mes Wali Nanggroe Aceh, Banda Aceh, 3 Desember 2015. ANTARA FOTO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat, Muzakir Manaf atau Mualem, menginstruksikan seluruh eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperingati milad atau ulang tahun pada hari ini, Jumat, 4 Desember 2020 dengan doa bersama. Selain itu, KPA Pusat juga meminta eks kombantan menyantuni anak yatim, dan berziarah ke makam pejuang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru bicara KPA, Ahzari mengatakan peringatan hari ini agar masyarakat Aceh tidak lupa terhadap sejarah. Apalagi tanggal itu merupakan sejarah masa lalu yang membekas di masyarakat Aceh bahkan dunia hingga saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"4 Desember suatu sejarah yang terjadi di Aceh dan wajib, tidak bisa dilupakan. Wajib dikenang dan 4 Desember ini kita peringati seperti biasa, doa, zikir, dan ziarah," ujar Azhari seperti dikutip dari Antara, Kamis, 3 Desember 2020.

Tepat 41 tahun lalu, pada 4 Desember 1976, GAM secara resmi berdiri. Hasan Tiro mendeklarasikan perlawanan kepada pemerintah Indonesia di Perbukitan Halinon, Pidie. Hasan mengangkat dirinya sebagai Wali Nanggroe (kepala negara).
Pemicu Konflik ini adalah kemarahan atas penyelenggaraan pemerintahan Aceh yang didominasi orang Jawa dan eksploitasi atas kekayaan alam Aceh yang tidak memberikan hasil yang adil bagi masyarakat Aceh.

Harry Kawilarang dalam bukunya yang berjudul, Aceh: Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, menyebut kepemimpinan rezim orde baru di bawah pimpinan Soeharto menimbulkan kekecewaan terutama di kalangan elit Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1 persen dari anggaran pendapatan nasional dengan kontribusi 14 persen dari GDP nasional. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh diambil oleh pembentuk kebijakan di Jakarta.

Meningkatnya produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 milliar dolar Amerika tidak memperbaiki kehidupan sosial masyarakat Aceh. Sebagian besar dari pendapatan di Aceh diserap oleh petinggi pemerintahan di Jakarta.

Setelah mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro membuktikan perannya dalam upaya memerdekakan bangsa Aceh. Ia keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976-1979 untuk melawan pemerintah Indonesia. Pada 1979, karena serangan tentara Indonesia yang tak tertahan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di Stockholm, Swedia.

Pada pertengahan tahun 1980-an, perlawanan gelombang kedua datang dari personel GAM yang kembali dari pengasingan. Mereka merekrut para anggota baru untuk diberi pelatihan militer sebagaimana mereka pernah berlatih di luar negeri. Beberapa ada yang dilatih militer Libya. Negara sosialis di bawah komando Muammar Khadafi itu, plus Iran dan sejumlah negara serta lembaga donor lain, membantu pendanaan dan persenjataan GAM dalam gelombang perlawanan kedua ini.

Menyambut perlawanan GAM, Rezim Soeharto bertindak semakin keras dengan mendeklarasikan Aceh Menjadi Daerah Oprasi Militer (DOM) pada 1989. Perlawanan balik dari pemerintah Indonesia di gelombang kedua lebih berdarah-darah. Pelaksanaan DOM  melibatkan puluhan batalion pasukan elit untuk menangkap sekitar 5.000 anggota GAM. 

Eskalasi konflik meluas sekaligus membuat jumlah korban luka-luka, pengusiran dari tempat tinggal, serta yang meninggal lebih banyak dibanding perlawanan gelombang pertama. Warga sipil lebih banyak yang menjadi korban ketimbang kedua pihak yang berseteru. Menurut berbagai versi, total korban jiwa berada di kisaran 2.000-10.000, baik dari kelompok milisi maupun warga sipil.

Usai kejatuhan Soeharto, Presiden Habibie menarik pasukannya dari Aceh sebagai realisasi komitmen menjaga amanat reformasi. Namun, situasi ini dimanfaatkan GAM untuk mengkonsolidasi kekuatannya yang tersisa. Mereka merekrut kaum muda Aceh dengan mengeksploitasi narasi brutal tentang kelakuan militer Indonesia selama pemberlakuan DOM di Aceh.

Perlawanan di Aceh digelorakan lagi oleh GAM pada akhir 1999 dengan menyasar pejabat pemerintahan lokal dan penduduk pendatang dari Jawa. Modal gerilya baru didapat dengan cara menyelundupkan senjata ilegal dari Thailand. Pemerintah RI kembali menerjunkan lebih banyak tentara ke Aceh, terutama di era pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Akibatnya represi kepada warga sipil Aceh pun kembali meningkat, korban jiwa juga semakin banyak.

Pembicaraan terkait perdamaian sebenarnya sudah dilakukan antara GAM dan pemerintah sejak 1990-an, namun tak pernah mencapai kesepakatan damai yang ideal. Bencana tsunami raksasa yang menyapu Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi faktor penting yang membuat GAM kian lemah usai pemerintah Indonesia mematahkan gelombang perlawanan ketiga mereka. 

Pada 27 Februari 2005, perwakilan GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari berperan sebagai fasilitator.

Setelah melewati perundingan yang rumit selama setengah tahun, dan terakhir pada perundingan putaran kelima, GAM akhirnya setuju tetap berada di dalam Republik Indonesia. Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Helsinki, Finlandia pada 17 Juli 2005. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005.

Salah satu syaratnya, warga Aceh dibolehkan mendirikan partai lokal dan pemberian amnesti bagi anggota GAM. Seluruh senjata yang berjumlah 840 pucuk dipindah kepemilikannya dari GAM kepada AMM, dan prosesnya selesai pada 19 Desember 2005. Tanggal 27 Desember di tahun yang sama, GAM melalui juru bicara militer Sofyan Dawood menyatakan bahwa sayap militer mereka telah dibubarkan secara formal.

Semua sikap GAM itu di bawah kendali Malik Mahmud al-Haytar, 67 tahun. Hasan di Tiro, pucuk pemimpin GAM yang ketika itu sudah tua dan dikabarkan sakit-sakitan, bermukim di Swedia dan menunjuk Malik menjadi perdana menteri. Praktis, sehari-hari Malik menjadi orang ”nomor satu”. Malik adalah Menteri Negara GAM sejak kelompok pemberontakan itu berdiri pada 1976. Di bawah kendalinya, sejarah politik gerakan itu berubah: memilih damai dan bertarung lewat jalan demokratis. ”Rakyat Aceh sudah terlalu menderita akibat konflik dan juga bencana tsunami,” ujar Malik dalam wawancaranya dengan Tempo, kala itu.

Pada Oktober 2008, Hasan Tiro pulang ke Aceh. Ia menetap di tanah kelahirannya hingga meninggal dunia tanggal 3 Juni 2010. Sampai saat ini, hasil paling nyata dari kesepakatan damai Helsinki adalah pembentukan partai-partai politik lokal Aceh. Beberapa elit GAM dan eks kombatan mendirikan partai dan mereka terjun langsung ke dunia politik praktis.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus