Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AHAD 4 Desember lalu adalah hari penghabisan bagi Saur Dame Sipahutar merasakan kemesraan si bungsu. Ketika itu, sepulang dari Gereja Bethany Bekasi, Sondang Hutagalung, anak keempat Saur Dame, mencabuti uban yang mulai merimbun di kepala perempuan setengah baya tersebut. "Kalau di rumah, ya, kerjaannya bercanda. Nyabutin uban sambil meminta Mama mengecat rambut," ujar Bob Crispianza Hutagalung, kakak tertua Sondang. Dirawat tiga hari setelah nekat melakukan aksi bakar diri di depan Istana Merdeka, 7 Desember lalu, Sondang akhirnya wafat. Tubuh pemuda 22 tahun itu melepuh dan sulit dikenali. Luka bakar meliputi 98 persen tubuhnya.
Aksi Sondang baru pertama kali terjadi di Tanah Air. Pelbagai reaksi bermunculan: yang bersimpati ataupun yang menyayangkannya. Hanya beberapa jam setelah Sondang menyulutkan api ke tubuhnya, puluhan orang yang menamakan diri Jaringan Kampus bersama kelompok Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) langsung menggelar demo di lokasi kejadian.
"Kami yang pertama kali menyatakan solidaritas," kata Adian Napitupulu, aktivis mahasiswa 1998 dan pendiri Bendera. Adian mengaku tak kenal atau pernah berhubungan dengan Sondang. Meski begitu, ia yakin dengan pesan yang hendak disampaikan lewat aksi itu. "Ini adalah puncak kekecewaan terhadap pemerintahan SBY-Boediono. Simbol harapan yang tak ada lagi."
Partai oposisi dan politikus yang selama ini kerap berseberangan dengan pemerintah menyatakan hal senada. Mereka menghubungkan aksi itu dengan kejadian serupa di Tunisia. Ketika itu, pada 17 Desember 2010, Muhammed Bouazizi, pedagang sayuran berumur 26 tahun, membakar diri karena polisi menggaruk dagangannya. Aksi itu memicu gerakan rakyat, yang menumbangkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali.
Istana cepat menangkap sinyal itu. Setelah menyampaikan dukacita, Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyatakan cara-cara yang dilakukan Sondang tak boleh ditiru pemuda atau mahasiswa lainnya. "Pemuda berjuang harus berani hidup, bukan berani mati," kata Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia angkatan 1978 itu.
Tak cukup itu saja. Secara khusus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutus politikus Partai Demokrat yang juga Menteri Perhubungan, E.E. Mangindaan, menemui keluarga Sondang, Selasa malam pekan lalu. "Presiden memberikan simpati karena keluarga Viktor Hutagalung kehilangan putranya. Bukan sebagai penghargaan atas aksi bakar diri almarhum," kata Dipo.
Sampai akhir pekan lalu, Saur Dame masih syok dan tak bisa ditanyai. Viktor Hutagalung, suaminya yang bekerja sebagai sopir taksi, cuma mau bicara pendek. "Saya yakin Sondang melakukan aksi tersebut untuk tujuan yang baik," katanya.
ORANG-ORANG terdekat tak ada yang menduga Sondang bisa begitu nekat mengakhiri hidup. Setelah ia mencabut uban ibunya pada Ahad itu, tak ada yang istimewa terjadi. Sondang tak menitip pesan khusus sebelum pergi.
Hal tak biasa baru disadari setelah beberapa hari ternyata Sondang tak pulang tanpa memberi kabar. Selama ini, kalaupun ada kegiatan atau menginap di rumah teman, ia selalu memberi warta. "Dia sering menginap di kos-kosan saya di Jalan Talang, Menteng," kata Anang Prasetya, kawan Sondang, Selasa pekan lalu. "Dia sangat tertib. Kalau makan harus berdoa dulu, mau pergi ke mana pun pasti izin abangnya."
Kawan-kawannya mengenal mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno angkatan 2007 ini sebagai aktivis yang penuh semangat. Sondang adalah Ketua Himpunan Advokasi dan Studi Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (Hammurabi). Ia juga bergabung dalam jaringan Sahabat Munir—biasa berkumpul di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jalan Borobudur, Jakarta.
Chrisbiantoro dari Staf Divisi Advokasi Kontras mengatakan sudah satu setengah tahun lebih Sondang aktif dalam kegiatan Sahabat Munir. Hampir saban pekan, dia menemani para ibu korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi yang menggelar aksi Kamisan di depan Istana Merdeka. Biasanya Sondang memayungi ibu-ibu yang umumnya sudah sepuh itu. Dia tak pernah absen mendampingi T.M. Gurning, janda pejuang kemerdekaan yang terusir dari rumahnya di Menteng, saat beperkara di pengadilan. Ketika tahu Sondang tewas, nenek itu menangis histeris. Sekitar pertengahan September lalu, Sondang masih terlibat dalam demonstrasi teatrikal menentang penembakan di Papua.
Sejak dua bulan lalu, Sondang menghilang. Kepada beberapa teman, dia pamit menyelesaikan skripsi—penelitian tentang pemerkosaan dalam berbagai peristiwa politik. "Dia sempat konsultasi ke sini untuk konsep awal," kata Chris. Sebagai senior di Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Chris dijadikan Sondang sebagai mentor. "Sehabis itu, ia tak jelas entah ke mana."
Rizky Pratama, mantan Ketua Hammurabi yang digantikan Sondang, juga merasakan ada yang tak beres dengan adik kelasnya itu. Sejak pamit menyelesaikan skripsi, Sondang sulit dihubungi. Telepon tak pernah dijawab, pesan pendek tak dibalas. "Ada teman yang mengatakan sempat melihat Sondang ngumpul dengan mantan aktivis mahasiswa yang lebih senior," ujar Rizky. "Kami tak tahu apa yang terjadi padanya dalam dua bulan itu," kata Novia Astriani, kawannya yang lain di Hammurabi.
Sintaro Bangsawan, teman sekelas Sondang di kampus, sempat bersua dengan Sondang di bioskop Megaria, Cikini, 28 November lalu. Ketika itu Sondang sedang bersama Putri Andaningrum, mahasiswi baru yang setahun terakhir dipacarinya. "Tapi dia tak cerita apa-apa," ujar Sintaro. Empat hari kemudian, Sondang mengirim pesan pendek kepada Darma Silalahi, wakilnya di Hammurabi. Dalam pesan ini, ia menitipkan pengelolaan organisasi kepada Darma. Selanjutnya, Sondang tak bisa dihubungi.
Pada Rabu malam, saat orang mulai ramai membicarakan peristiwa bakar diri di depan Istana, kawan-kawan Sondang ini berkumpul di kantor Kontras. Mereka juga ikut membahasnya. Tak ada yang menduga si pelaku adalah Sondang.
Baru esok harinya, Putri menghubungi Saur Dame: mengabarkan sang pacar dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo setelah membakar diri. Saur menelepon kantor Kontras untuk meneruskan kabar. Siang itu juga Chrisbiantoro meluncur ke rumah sakit untuk mengidentifikasi korban. Sorenya, keluarga memastikan pemuda itu Sondang.
Dari mana Putri mendapat informasi? Menurut sumber Tempo yang mengikuti proses penyelidikan, kepada polisi, Putri mengaku dihubungi Robi—mahasiswa Universitas Gunadharma, teman Sondang satu SMA di Bekasi. "Robi bilang selama ini Sondang sering cerita ingin melakukan aksi bakar diri. Makanya ia menduga yang di depan Istana itu dia," kata sumber itu mengutip keterangan Putri dan Robi kepada polisi. Persoalannya, Robi dan Putri tak lagi bisa dihubungi. "Saat pemakaman juga tak ada," kata sumber itu.
Polisi tampaknya enggan memperpanjang urusan, apalagi menelusuri kecurigaan bahwa Sondang telah "dicuci otak" oleh kelompok tertentu. Juru bicara Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Komisaris Besar Baharuddin Djafar, pagi-pagi telah mengunci pintu. Katanya, "Tak ada pidana di situ."
Y. Tomi Aryanto, Aryani Kristanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo