Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REKAMAN video yang diputar Rabu pekan lalu itu membuat sekitar 20 anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat tercengang. Dalam gambar terlihat seorang korban berdiri tegak tanpa kepala. Lengan kanannya terikat di tiang listrik. Rekaman selanjutnya menunjukkan mayat tanpa kepala tergeletak di teras rumah. Dua kepala manusia diletakkan di atas truk pickup berwarna merah. Tak ada keterangan waktu dan tempat kejadian rekaman tersebut.
Penjelasan datang dari Saurip Kadi, yang bersama Pong Hardjatmo mendampingi warga Mesuji, Lampung, mengadu ke DPR. Menurut Saurip, pembantaian itu terjadi pada 2009-2011 dan menewaskan sedikitnya 30 warga. Kekerasan terjadi karena konflik lahan perusahaan sawit dengan penduduk. "Manusia dipotong seperti binatang," kata Pong Hardjatmo.
Konflik lahan Mesuji, yang juga dikenal sebagai Register 45, sudah lama terjadi. Pada 1997, warga datang dari berbagai penjuru menempati lahan yang mereka klaim tak bertuan. Di sana, mereka membangun desa, jalan, sekolah, rumah ibadah, dan lahan pertanian. Belakangan, PT Silva Inhutani mengklaim area tersebut sebagai bagian dari wilayah konsesinya. "Mereka masuk setelah lahan mulai produktif," ujar Kayat, warga Desa Moro-moro, Kabupaten Mesuji, Lampung. Hal serupa terjadi di Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Bentrokan tak terhindarkan. Warga berusaha mempertahankan milik mereka. Sedangkan perusahaan datang dengan pasukan pengamanan swakarsa bersenjata. Dalam beberapa kasus, pasukan itu bahu-membahu dengan aparat mengusir warga. Misalnya penggusuran paksa warga pada 8 September lalu di Desa Pekat Raya, Mesuji, Lampung. "Saya lihat ada Brimob, polisi, dan tim perusahaan," kata Hadiman, salah seorang warga, kepada Ira Guslina dari Tempo.
Dalam setahun belakangan, sedikitnya tiga bentrokan antarkubu terjadi. Pada 21 April, bentrokan di Sumatera Selatan antara petugas keamanan PT Sumber Wangi Alam dan warga menewaskan tujuh orang. Di Lampung, bentrokan antara PT Barat Selatan Makmur Investindo dan warga terjadi pada September dan menewaskan dua orang. Dua bulan kemudian, bentrokan terulang dan seorang warga tewas.
Saurip menuding aparat tidak netral dan memihak perusahaan dalam konflik-konflik tersebut. "Alat negara digunakan untuk kepentingan modal," ujar purnawirawan mayor jenderal TNI ini. Dalam rekaman video tadi, terlihat memang ada aparat menggunakan seragam polisi dan tentara di lokasi pembunuhan. Namun tak terlihat upaya mencegah kekerasan.
Temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebutkan hal yang sama. Aparat keamanan kerap represif dan melakukan kriminalisasi terhadap warga ketika terjadi konflik dengan perusahaan. Komisioner Ridha Saleh meminta polisi mengevaluasi pola pengamanan oleh aparat, termasuk keberadaan pasukan pengamanan swakarsa bentukan perusahaan. "Pemerintah juga harus segera menyelesaikan konflik pertanahan semacam ini," ujar Ridha. "Tak hanya di Mesuji, tapi di mana-mana."
Kepolisian membantah keterlibatan aparatnya dalam pembunuhan warga Mesuji. "Kasus gorok-gorokan itu tidak dilakukan oleh aparat," kata Kepala Kepolisian Lampung Brigadir Jenderal Joodie Rosseto. Untuk kasus pembunuhan yang terjadi pada 21 April, polisi sudah menangkap enam pelaku—lima dari perusahaan dan satu orang warga. Delapan lainnya masih jadi buron. Tempo belum berhasil mendapatkan konfirmasi dari pihak perusahaan.
Pengungkapan video di DPR itu membuka mata dan membuat perhatian tumpah ke Mesuji. Komisi Hukum Dewan bereaksi dengan membentuk tim investigasi Mesuji. "Fokusnya bagaimana Register 45 dari tanah adat bisa jadi tanah perusahaan," ujar ketua tim, Azis Syamsuddin. Istana juga memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto serta Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo membentuk tim. "Untuk membuktikan fakta dan mencari kebenaran," kata juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha.
Tito Sianipar (Jakarta), Nurochman Arrazie (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo