Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

MK Hapus Ambang Batas Presiden, Pakar Nilai Kapabilitas Bisa Jadi Syarat Pencalonan

Pakar menilai perlu ada tambahan syarat pengalaman sebagai pemimpin pemerintahan dan politik setelah MK menghapus ketentuan ambang batas presiden.

6 Januari 2025 | 08.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo didampingi anggota Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 Januari 2025. Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. ANTARA/Fauzan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand) Prof Asrinaldi memandang kapabilitas seseorang perihal kepemimpinan di pemerintahan bisa menjadi salah satu syarat pencalonan presiden dan wakil presiden imbas dari Mahkamah Konstitusi atau MK menghapus ketentuan ambang batas presiden.

Ambang batas persentase minimal pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold itu dihapus berdasarkan Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024.

“Saya pikir perlu ada tambahan terkait dengan pengalaman sebagai pemimpin, pengalaman dalam memimpin pemerintahan dan politik. Misalnya, seorang calon presiden itu ya perlu punya pengalaman terkait dengan itu. Jadi, bukan ujug-ujug,” kata dia saat dihubungi dari Jakarta pada Ahad, 5 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.

Asrinaldi juga mengatakan kapabilitas dalam memimpin perlu dipertimbangkan karena sebelumnya MK juga telah mengeluarkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan itu mengatur syarat seorang warga negara dapat maju sebagai calon presiden dan wakil presiden bila berpengalaman sebagai kepala daerah.

“Walaupun itu akan jadi perdebatan, persyaratan itu perlu diatur, dan itu akan menguntungkan bahwa yang jadi presiden dan wakil presiden itu adalah orang-orang yang memang punya pengalaman politik dan pemerintahan tadi ya,” ujarnya.

Menurut dia, kapabilitas dalam memimpin juga dapat menyaring dan menghasilkan calon yang mempunyai visi kebangsaan, dan bisa membangun bangsa menjadi lebih baik lagi.

“Ya, saya pikir perlu ada diskusi yang mendalam lagi terkait dengan ini gitu, karena ini juga akan menjadi persyaratan politik yang akan ditambahkan,” katanya.

Sebelumnya, MK menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.

Suhartoyo mengatakan norma pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2017 nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6109 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Serta tidak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Hakim MK Saldi Isra menyebutkan penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable secara nyata bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Karena itu, hal tersebut menjadi alasan menurut MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi.

Dia mengatakan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini juga bertentangan dengan beberapa pasal. Salah satunya pasal 6A ayat 2 UUD NRI Tahun 1945.

Permohonan ini diajukan oleh empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, dkk. Para Pemohon mendalilkan prinsip “one man one vote one value” tersimpangi oleh adanya presidential threshold.

Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip “one value” karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama. Idealnya, menurut para pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan.

Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi. Karena itu, hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.

M. Raihan Muzzaki dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Dimulai Hari Ini, Berikut 4 Hal yang Perlu Diketahui soal Program Makan Bergizi Gratis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus