Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian peromohonan pada perkara Nomor 126/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan pemohon atas nama Wanda Cahya Irani dan Nicholas Wijaya. Salah satu permohonan yang dikabulkan MK ialah mengenai perubahan desain surat suara bagi pemilihan kepala daerah yang diikuti pasangan calon tunggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua MK Suhartoyo mengatakan putusan mengubah ketentuan desain surat suara menjadi model plebisit ini akan berlaku pada Pilkada 2029, di mana surat suara pada pilkada calon tunggal akan melampirkan kolom kosong yang di bagian bawah kolom memuat pilihan setuju atau tidak setuju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Menyatakan Pasal 54C ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan/ketetapan, Kamis, 14 November 2024.
Pada dalil permohonan para pemohon ihwal desain surat suara, kata Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah menyoroti keterangan dalam surat suara yang digunakan pada pilkada calon tunggal saat ini yang bertuliskan "Coblos pada: Foto pasangan calon atau kolom kosong tidak bergambar".
Menurut Saldi, keterangan tersebut bukan suatu bentuk narasi yang utuh dan komprehensif dalam penyajian suatu pilihan. Sebab, keterangan tersebut tidak dilengkapi dengan narasi yang menggambarkan implikasi dari masing-masing pilihan.
Saldi Isra mengatakan, Mahkamah menilai keterangan yang dimuat pada surat suara kali ini berpotensi menimbulkan mispersepsi bagi pembaca. Mengingat tidak semua pemilih mengetahui jika kolom kosong merupakan kanal untuk menyatakan pilihan.
"Dalam hal ini yang lebih diuntungkan adalah pilihan yang lebih banyak memuat informasi, seperti pilihan kolom yang memuat foto pasangan calon, lengkap dengan nama calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, sehingga cenderung lebih menarik para pemilih," kata Saldi.
Pada perkara ini, Mahkamah juga menyatakan Pasal 54D ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan penghelatan Pilkada ulang.
Dalam putusannya, Mahkamah memerintahkan dilakukan pemilihan ulang apabila dalam pemungutan suara kotak kosong dinyatakan sebagai pemenang atau memiliki perolehan suara terbanyak dari pasangan calon yang berlaga.
"Pemilihan berikutnya dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 tahun sejak hari pemungutan suara dan kepala daerah/wakil kepala daerah yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan berikutnya tersebut memegang jabatan sampai masa dilantiknya kepada daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan serentak berikutnya, sepanjang tidak melebihi masa waktu lima tahun sejak pelantikan," kata Suhartoyo.