Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSAMUHAN para petinggi Partai Golkar di rumah Aburizal Bakrie, Rabu malam pekan lalu, itu mulus belaka. Setelah Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Golkar Jakarta Prya Ramadhani memaparkan hasil survei Indobarometer dan Lingkaran Survei Indonesia tentang calon gubernur Ibu Kota, rapat memutuskan partai kuning itu mengusung Alex Noerdin.
Padahal data yang disampaikan Prya menempatkan Alex di posisi kedua, setelah Fauzi Bowo. Jika pemilihan digelar hari ini, orang Jakarta akan memilih Foke. Keterpilihan Alex hanya 30 persen, sementara Fauzi 40 persen—angka yang kecil untuk calon inkumben. Tapi, "Alex lebih memberi harapan kemenangan," kata Ade Komaruddin, yang ikut rapat malam itu.
Ade didapuk sebagai Ketua Pemenangan Pemilu Golkar untuk wilayah Jawa 1, termasuk Jakarta. Seusai rapat, tuan rumah yang juga Ketua Umum Golkar itu meminta Ade menghubungi Alex, dan mengumumkan keputusan itu ke media, malam itu juga. Keputusan memilih Alex hanya lanjutan dua pertemuan petinggi Golkar di Wisma Bakrie di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Berkali-kali Ade mengontak, telepon Alex selalu tersambung ke mesin penjawab. Alex baru menghubungi balik Ade pada dinihari. Golkar pun baru mengumumkan pilihan itu ke media pada Kamis pagi. Malamnya, Golkar mendeklarasikan pencalonan itu di Hotel Sultan. Alex disandingkan dengan Nono Sampono, jenderal marinir bintang dua.
Aburizal menelepon Ade soal pemilihan Nono, keesokan harinya. "Nono dipilih karena dalam survei ia di urutan ketiga," kata Ade, tanpa memungkiri pemilihan itu diputuskan secara cepat dan mendadak. "Dia juga tentara." Golkar menjadi partai pertama yang mengumumkan calonnya ketimbang partai besar lain, seperti Partai Demokrat atau Partai Keadilan Sejahtera.
Menurut Ade, para petinggi Golkar yang hadir malam itu—Agung Laksono, Theo Sambuaga, Muladi, Cicip Sharif Sutardjo, dan Mahyudin—kepincut pada Alex karena Gubernur Sumatera Selatan itu punya konsep jelas mengurai kemacetan dan banjir, dua problem utama Jakarta. Kepada wartawan, sehari sebelumnya, Alex memang sesumbar bisa membereskan kemacetan dalam tiga tahun.
Di luar soal konsep, menurut Ade, Alex juga berhasil menggaet dukungan dari Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Damai Sejahtera. Dua partai ini punya tujuh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta. Modal ini dianggap lebih dari cukup karena syarat calon asal partai harus didukung 15 kursi.
PPP menjadi kunci dalam koalisi ini. Menurut seorang petinggi Golkar, PPP dinilai punya modal kuat karena sudah membangun jaringan ketika Djan Faridz berniat mencalonkan diri jadi gubernur. Djan kini Menteri Perumahan Rakyat, tak mungkin lagi bersaing memperebutkan kursi DKI-1.
Adapun Nono dinilai akan meraup suara PDI Perjuangan. Nono dikenal dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. "Jadi, dua calon ini menjadi mesin Golkar paling kuat," kata sumber itu.
Para petinggi Golkar menilai Alex berhasil di Sumatera Selatan. Kebijakannya populis dan disukai warga Palembang. Ia dinilai bisa mengendalikan media di sana, sehingga punya citra yang baik. "Dan yang paling penting, uang dia banyak," sang sumber menambahkan.
Manuver Golkar ini membuat partai lain harus mengubah strategi. "Sekarang semua jadi berubah," kata Selamat Nurdin, Ketua Dewan Pimpinan Partai Keadilan Sejahtera Jakarta. Nurdin mengakui partainya sudah berancang-ancang berkoalisi dengan PPP untuk mengusung Triwisaksana, anggota DPRD. Bergabungnya PPP ke Golkar membuat PKS harus mencari pasangan lain.
Demokrat masih bimbang, hendak mengusung Fauzi Bowo atau Nachrowi Ramli. Sumber Tempo di Demokrat mengatakan skenario yang disiapkan setelah deklarasi Golkar itu adalah berkoalisi dengan PKS, dengan Foke dan Triwisaksana. "Kemungkinan itu ada," kata Nurdin.
Kartika Candra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo