Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=2 color=#FF0000>PDI Perjuangan</font><br />Perang Tanding Anak Banteng

Dua anak Megawati digadang-gadang menjadi penerus trah Soekarno di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pecah kongsi Mega-Taufiq Kiemas.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SPANDUK hitam terpampang di pagar dekat gerbang belakang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta, Senin pekan lalu. Meski satu ujung kain tersebut terlepas ikatannya, orang yang melintas di Jalan Gelora bisa membaca pesan itu.

Lambang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dicetak tepat di tengah kain. Di sebelah kiri gambar banteng ada tulisan ”Koalisi” berwarna putih dengan tanda panah di bawahnya menunjuk dua nama: Taufiq Kiemas dan Puan Maharani. Sedangkan tulisan ”Oposisi” di sisi lainnya juga diser­tai panah yang menunjuk Megawati dan Prananda. Di atas lambang partai tertera sebuah pertanyaan: ”Anda pilih yang mana?”

Kaum Muda PDIP, lembaga yang bernaung di bawah partai banteng, mengaku memasang spanduk itu. ”Kami lakukan untuk menghadang kubu pragmatis yang dikomandani Taufiq dan Puan,” kata Mustar Bonaventura, aktivis Kaum Muda PDIP. ”Mereka ngebet berkoalisi dengan pemerintah,” katanya lagi. Sayangnya, belum sampai sepekan, spanduk yang disebar di beberapa sudut Ibu Kota itu sudah lenyap. ”Wah, sudah disapu bersih oleh lawan,” kata Cepi Budi Mulyawan, aktivis Kaum Muda PDIP lainnya.

Aksi perang spanduk ini memanaskan suhu politik di partai banteng bermoncong putih itu, yang pekan ini menggelar kongres ketiga di Bali. Setelah mayoritas pengurus daerah menyatakan dukungan kepada Megawati agar kembali menjadi ketua umum dan tetap meminta PDIP menjadi oposan pemerintah, pertarungan kini bergeser ke kandidat penerus Mega.

Sejumlah sumber Tempo di partai ini menyebutkan ada dua calon kuat yang disiapkan menjadi petinggi PDIP dan kelak akan menggantikan Mega. Keduanya sama sama anak Megawati: Puan Maharani dan Muhammad Prananda Prabowo. Disebut sebut, Taufiq Kiemas cenderung mendukung Puan.

Penyokong Prananda adalah politikus senior partai yang kurang sreg dengan Puan. ”Mereka yang lebih tua merasa tak dihormati Puan,” kata seorang sumber. Puan membantah tudingan ini. ”Saya dan kakak saya tidak bersaing,” ujarnya.

Taufiq Kiemas menuding sebagian politikus partai mengadu kedua anak. ”Sah saja jika ada yang ingin mengajukan keduanya menjadi petinggi partai, tapi jangan diadu,” kata Taufiq. ”Masak, ingin jadi orang (pemimpin partai—Red.), lalu berlindung di balik anak saya.”

l l l

OKTOBER 2009, kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Sebuah Alphard hitam perlahan memasuki pelataran parkir. Megawati turun dari mobil. Tak seperti biasanya, tak ada motor polisi mengawal orang nomor satu di partai banteng itu. Seorang anak muda, 30 an tahun, turun dari kursi pengemudi. Sebentar kemudian, ia duduk di te­ras kantor sambil menyeruput kopi.

Tak banyak yang mengenal pria muda itu. Ia adalah Muhammad Prananda Prabowo, yang akrab disapa Nanan. Putra kedua Megawati dari pernikahan dengan (almarhum) Letnan Satu Pener­bang Surindro Suprijarso itu memang tak aktif di partai. Tapi belakangan, ketika kader PDIP terbelah perihal pilihan koalisi atau oposisi, Nanan dimunculkan. ”Nanan diajak masuk ke arena politik karena dianggap berani melawan Taufiq Kiemas,” ujar seorang politikus PDIP. Taufiq adalah suami megawati, ayah tiri Nanan. Ia merupakan pentolan partai yang sangat ingin PDIP merapat ke pemerintah.

”Dari samping ia mirip Soekarno muda. Ia juga menguasai pemikiran Bung Karno,” kata politikus PDIP, Ganjar Pranowo. Kader lain bahkan menyebut pe­ngelola situs Inter­net yang memuat pidato pidato Bung Karno ini sebagai kamus marhaenisme berjalan.

Namun pengalam­an politik pebisnis tek­nologi informatika ini hanya sebatas mengurus situs kampanye ibunya ketika bertarung dalam pemilu presiden tahun lalu. Ia jauh tertinggal ketimbang cucu Soekarno lainnya, seperti Puti Guntur Soekarno, yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan Puan, yang kini menjadi salah satu Ketua PDIP.

Dalam panitia kongres PDIP di Bali, Nanan diberi kursi di jajaran panitia pengarah. Ia juga disiapkan menjadi salah satu ketua dewan pimpinan pusat. Nantinya pengurus pusat partai akan berjumlah 33 orang—enam orang lebih banyak dibanding kepengu­rusan sebelumnya. Ada kabar penambahan kursi itu untuk memperbanyak suara pengurus pusat jika terjadi voting. Sayang, melalui orang dekat, Nanan menolak diwawancarai. ”Orangnya low profile,” kata seorang pengurus partai.

Kebalikan dari ka­kaknya, Puan Maharani tak sungkan muncul ke publik. Soal tawaran menjadi wakil ketua umum partai, ia berseru, ”Saya siap!” Puan sesumbar dukungan untuknya melimpah ruah.

Pengurus PDIP Jawa Tengah, kata Puan, sudah menyatakan diri menyo­kong. Pengurus partai dari kampung Taufiq Kiemas, Sumatera Selatan, juga memberikan dukungan. ”Kami mendukung Puan Maharani menduduki jabatan wakil ketua umum atau pelaksana harian,” kata Gantada Aliandra, Sekretaris PDIP Sumatera Selatan. Menurut Gantada, Nanan belum matang untuk dipilih mendampingi Mega. ”Prananda itu belum banyak berkiprah di PDIP,” ujarnya.

Sumber Tempo di panitia kongres menyebutkan, jika Puan berhasil menduduki kursi wakil ketua umum, peluangnya menjadi orang nomor satu PDIP pada 2015 akan terbuka lebar.

Karena itu, penyokong Nanan di panitia pengarah langsung memasang blo­kade. Saat panitia pengarah membahas anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan agenda kongres, usul mencipta­kan jabatan wakil ketua umum langsung dipersoalkan. Dalam kepengurus­an saat ini, Megawati memang tak didampingi wakil. ”Jabatan wakil ketua­ umum belum perlu karena struktur yang sekarang masih efektif,” kata Gan­jar Pranowo, anggota panitia pengarah.

Keputusan soal perlu tidaknya kursi wakil ketua umum baru akan ditentukan dalam kongres. ”Tapi, dari pengalaman kongres sebelumnya, struktur partai tak jauh berbeda dengan yang direncanakan,” kata Ganjar lagi.

Ganjar membantah sikap keras penolakan jabatan wakil ketua itu untuk menjegal Puan dan memberikan jalan buat Nanan. Ia juga menampik tudingan bahwa panitia pengarah dipenuhi ka­der partai pendukung Nanan. ”Dia tidak akan langsung ke atas. Dia harus dari bawah dulu,” ujar Agnita Singedikane, anggota panitia pengarah lainnya.

Menurut Ganjar,­ PDIP menganut sis­tem formatur tunggal. Jadi, ketua umum terpilihlah yang nanti memilih nama pejabat teras partai. ”Siapa pun bisa mengajukan diri, tapi nanti ketua umum yang menentukan,” katanya.

Seorang sumber menyebutkan Mega tak setuju adanya jabatan wakil ketua umum. ”Itu menyalahi tradisi partai,” ujar sumber ini menirukan putri sulung Bung Karno tersebut. Mega kabarnya lebih memilih semua anaknya bertarung secara seimbang dan membuktikan diri apakah mampu menjadikan PDIP pemenang Pemilu 2014. ”Setelah itu, baru bicara jabatan,” kata sumber ini.

Oktamandjaya Wiguna, Munawwaroh (Jakarta), Arif Ardiansyah (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus