Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mengenang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, kelompok masyarakat pro demokrasi mengorganisir aksi besar di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, yang berlokasi dekat dengan Monumen Vredeberg Serangan Umum 1 Maret. Warga memutuskan untuk menduduki lokasi tersebut selama enam jam, mirip dengan kejadian pada Serangan Umum 1 Maret 1949. Aksi ini bertujuan menolak pemilu curang dan mendukung hak angket DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Massa yang mengatasnamakan Paguyuban Penggerak Demokrasi-Masyarakat Jogja Istimewa (PPD-MJI) dan Gerakan Penegak Kedaulatan Rakyat (GPKR) menggelar unjuk rasa di Nol KM Jogja, menuntut diadakannya hak angket di DPR RI. Mereka mengkritik pelaksanaan pemilu yang dianggap curang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayu Malam, perwakilan PPD-MJI, menyampaikan bahwa kondisi demokrasi belakangan ini dianggap kacau, kedaulatan rakyat dianggap sebagai permainan oleh penguasa. Mereka berkomitmen untuk terus menyuarakan bahwa situasi saat ini darurat dan DPR perlu mengambil tindakan konkret.
Bayu Malam menegaskan bahwa unjuk rasa akan terus dilakukan hingga tercapai konsensus dengan DPR dan pihak yudikatif. Ia menyoroti sejumlah kecurangan, seperti dukungan Presiden kepada salah satu kontestan Pilpres dan aksi pembagian sembako yang disinyalir mengarahkan masyarakat untuk mendukung kontestan tertentu.
Dalam tuntutannya, PPD-MJI menekankan perlunya hak angket digulirkan oleh DPR RI. Bayu Malam menyatakan bahwa jika partai pendukung calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 dan 3 bersatu di DPR RI, maka hak angket dapat terwujud, dan segala kecurangan pemilu akan terbongkar.
Perwakilan GPKR, Rhodik, menjelaskan bahwa dalam unjuk rasa tersebut, pihaknya mengeluarkan petisi yang memuat sejumlah tuntutan kepada pemerintah. Petisi tersebut mencakup penolakan terhadap hasil Pemilu 14 Februari 2024 dan pemecatan serta pengadilan terhadap komisioner KPU dan Bawaslu. Mereka juga mendesak DPR-RI untuk menggunakan hak angket, serta menyerukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk kembali ke jalan konstitusi dan semangat reformasi sebagai amanat rakyat yang tak bisa ditawar.
3 Poin Petisi Jogja
- Penyalahgunaan kekuasaan
- Hak Angket untuk politisi bansos
- Hak Angket untuk pelanggaran pemilu (termasuk kecurangannya)
Pilihan Editor: Wawancara Prof Koentjoro: Lahirnya Petisi Bulaksumur UGM, Jokowi Mencla-mencle, Tak Rela Dibodohi, Apa Langkah Selanjutnya?