Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Namanya Sumbangan Keikhlasan

Pungutan yang dikenakan terhadap petani cengkeh di sulawesi utara. pemda menolak dengan sebutan pungutan liar, yang benar adalah sumbangan keikhlasan atau sumbangan partisipasi.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGGAL 23 September baru lalu Propinsi Sulawesi Utara merayakan ulangtahun ke- 13. Tak ada yang menyangkut-pautkan angka itu dengan kesialan, sebab toh pesta dirayakan cukup meriah di berbagai tempat. Namun di sela-sela kebisingan pesta, gema pungli tetap mengganggu telinga penduduk propinsi itu. Maklum masing-masing orang dapat membayangkan angka sekian milyar rupiah di balik produksi 18.000 ton cengkeh dalam panen besar tahun ini --meskipun Gubermlr Worang pernah menyebut produksi tahun ini hanya 10.000 ton dengan alasan musim yang kurang baik. Benar atau tidak kemerosotan hasil cengkeh itu, tapi di banyak tempat petani masih tetap kewalahan memetik hasil tanaman itu. Sehingga karena lebatnya buah di pol1on sedang tenaga pemetik kurang, tak sedikit pula cengkeh yang terlambat dipetik. Menurut drs. K. Lapa dengan, Ketua Puskud Sulawesi Utara, bahkan sejak semula sebanyak 8.900 ton cengkeh sudah dikonrakkan kepada 14 pedagang. Dari jumlah itu sebanyak 2.800,24 ton sudah dibeli para pedagang pada BUUD/KUD. edangkan yang sudah dibeli oleh BUUD/KUD pada petani sebanyak 2.884,24 ton. Berapa pun juga angka pasti hasil cengkeh propinsi itu tahun ini, namun gema pungli dari daerah itu semakin keras terdengar setelah Menteri Perdagangan Radius Prawiro sendiri secara terbuka menyebut bahwa Pemda Sulawesi Utara melakukan pungutan liar terhadap petani cengkeh. Sebab, menurut Radius, di samping pungutan sebesar Rp 1 00/Kg yang dilakukan BUUD/KUD setiap kali membeli cengkeh dari petani - sesuai dengan Keppres No.50/1976-Pihak pemda juga masih mengenakan pungutan tambahan sebesar Rp 200/Kg dengan mengatas-namakan partisipasi. Pungutan yang terakhir ini dilakukan oleh Yayasan Manguni Rondor yang dibentuk oleh Pemda Sulawesi Utara. Tapi Gubernur Worang segera membantah. "Tak ada pungli di Sulawesi Utata" ucapnya, "kalau Opstib mau periksa silakan datang." Lalu drs. P. Kepel Asisten Bidang Ekonomi dan Keuangan Gubernur Worang, kepada TEMPO di Manado mengungkapkan. "Yang benar adalah sumbangan keikhlasan di atas surat pernyataan oleh 12 pengusaha di Manado." Kepel tak mau memperinci sudah berapa banyak sumbangan itu sampai sekarang. Tapi yang pasti sumbangan itu masih berlangsung hingga sekarang karena menurut Kepel batas waktu tak ditentukan hingga kapan. Diakui dari hasil sumbangan itu maka beberapa kegiatan di bidang sosial budaya dapat dibiayai. Misalnya untuk pelaksanaan MTQ X, PON IX dan Jambore di Sibolangit. Begitu pula gubernur juga menyumbang pembangunan proyek-proyek desa dengan biaya dari sumbangan itu, karena tak sedikit kepala desa yang datang langsung kepada Worang untuk meminta bantuan. Semua hasil sumbangan para pengusaha itu dipungut dan disalurkan oleh Yayasan Manguni Rondor (YMI). Yayasan yang dibentuk oleh Pemda Sulawesi Utara tahun 1976 dimaksudkan-untuk memanfaatkan sumbangan-sumbangan yang selama ini diterima langsung oleh pejabat-pejabat daerah itu. Proyek-proyek yang biayanya tipis dari Pemerintah Pusat, banyak dibantu YMR. Bahkan ketika gaji para pegawai Pemda Sulawesi Utara pernah terlambat -- dengan alasan terlambat dikirim dari Jakarta - yayasan ini pernah meminjami. "Pernah sampai Rp 3,2 milyar dipinjam dari yayasan untuk membayar gaji pegawai selama 5 bulall' tutur Bonny Lengkong, residen pensiunan yang menjadi pembantu khusus Gubernur Worang di bidang ekubang. Tapi. tambah Lengkong, semua pengeluaran yayasan dimasukkan dalam APBD. Tapi adalah Bonny Lengkong pula yang mengakui bahwa dari setiap kontrak pembelian cengkeh pada BUUD/KUD para pedagang dipungut sumbangan keikhlasan sebesar Rp 200/Kg. Pedagang cengkeh yang beroperasi di Sulawesi Utara sekarang berjumlah 14 pengusaha di antaranya 11 pedagang yang menandatangani sumbangan ikhlas tadi. Tapi drs. P. Kepel membantah bahwa pengusaha-pengusaha itu harus punya rekomendasi dari Pemda. Begitu juga, kata Kepel, tak ada monopoli oleh beberapa orang pedagang saja. Sementara itu menurut sumber TEMPO di Manado 3 pengusaha (di luar yang 11 tadi) mendapat prioritas khusus dari Pemda dalam hal pembelian cengkeh. Hal ini mereka terima karena pihak Pemda menganggap partisipasi mereka sudah cukup besar dan pantas dihargai - antara lain mereka pernah menyumbang Rp 600.000 untuk biaya MTQ (TEMPO 6 Agustus 1977). Tapi kabarnyadengan sumbangan itu ke-3 pedagang tadi dibebaskan dari pungutan Rp 200 per Kg tadi. Oleh karena itu, demikian sumber TEMPO di Manado, ke 3 pedagang tadi mendapat jatah pembelian cengkeh yang jauh lebih banyak dalam kontrak mereka dibanding 11 pengusaha lainnya. Tak 1 Sen pun, Tapi Tapi, "kami hanya menjalankan dan mengamankan Keppres No.50/1976 tentang tataniaga cengkeh" Kepel menjelaskan lagi. Maksud pembuatan kontrak katanya lagi, agar dapat dikontrol daerah operasi masing-masing pengusaha dan berapa jumlah produksi. Dan tentang pungutan yang bernama mage untuk BUUD/KUD dan Puskud (pusat KUD) diakui memang ada. Dalam rapat Puskud 31 Agustus lalu ditetapkan marge untuk BUUD/KUD sebesar 3o dari harga dasar (Rp 3.500), yaitu Rp 105 untuk tiap Kg. Menurut drs. Lapa dengan, "sebenarnya kami boleh ambil 11%, menurut ketentuan Ditjen Koperasi." Sebelum rapat itu memang berlaku pungutan sebesar Rp 150 yang dibagi Rp 100 untuk BUUD/KUD dan sisanya untuk Puskud. Dengan marge yang baru itu, ditentukan Rp 78,75 untuk BUUD/KUD dan Rp 26,25 untuk Puskud. Pungutan langsung pada petani cengkeh di desa-desa memang masih mudah dijumpai di propinsinya Worang ini walaupun tak diakui sebagai pungli. Di desa Kiawa (Kecamatan Kawangkoan) misalnya, sekarang sedang dibangun balai desa bertingkat tiga. "Tiap petani harus memberi 2«% dari hasil panen" ungkap kepala Desanya M. L. Suak, kepada TEMPO. Tentu alasannya karena kesepakatan dalam rembuk desa. Di desa Kolongan, Sonder pungutan serupa bernama partisipasi. "Tapi di sini sukarela, tak ditentukan jumlahnya" kata seorang petani dengan bangga karena sebentar lagi akan menikmati air bersih dari hasil partisipasi itu. Begitu pula para pengusaha cengkeh, merasa tak pernah dikenakan pungli terhadap mereka - walaupun pungutan Rp 200/Kg sudah diakui pihak Pemda. Sutikno Mailoa alias Tek dari Pr Kencana Tulus dan Benteng Tulus pengusaha cengkeh yang tergolong kakap di Manado --misalnya, membantah keras. "Tidak ada satu sen pun yang saya berikan kepada Pemerintah daerah dan perusahaan saya tak pernah diistimewakan" kata pedagang yang sering disebut memegang monopoli dan mendalat prioritas pembelian cengkeh itu." Kalau bantu MTQ itu benar ada" tambahnya, "tapi itu karena pemerintah daerah perlu mungkin sebagai kredit." Nah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus